"Iya, bikin special."
"Siipp Mas. Bentar ya," jawab pegawai itu dan berlalu ke bar yang berada tidak jauh dari tempat duduk kami.
Kembali kulayangkan pandangan ke para dancer tadi. Sebentar kemudian, dua gelas minuman telah terhidang di mejaku. "Temennya mana, Mas?" tanyaku.
"Nggak tahu, paling-paling ngilang ke atas," jawabnya sambil menyeringai nakal. Sudah menjadi rahasia umum kalau lantai dua diskotik ini sering digunakan oleh para pengunjung yang ingin mencari kenikmatan bersama pasangannya atau dengan para wanita malam yang tersedia. Aku sendiri selama ini tak pernah mau diajak ke lantai atas, jadi tak tahu persis dan tak ingin mencari tahu juga.
"Ayo, minum lagi, Rin.."
Aku menolak halus tawarannya. "No thanks, Mas. Udah tadi."
"Ayolah, udah aku pesenin yang spesial lho." bujuknya.
Kulirik gelasku yang sudah kosong di meja. Hati kecilku berkata untuk menolak tawarannya tetapi kemudian ia menyorongkan segelas minuman yang tadi ditawarkannya padaku. Kemudian kupikir tak ada salahnya tambah segelas, hitung-hitung sambil menunggu Gustav bangun. Akhirnya kuambil gelas itu dan meneguknya. Beberapa menit kemudian kurasakan kepalaku ringan sekali dan tubuhku bagai melayang. Lalu gelap.
Ω Ψ Ω
Hawa dingin membangunkanku dari tidur. Aku menggeliat dan tanganku meraba mencari selimut di posisinya dan tak kunjung menemukannya. Aku membuka mata dan terkejut menyadari bahwa aku tidak sedang berada di kamarku. Lebih terkejut lagi, aku dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali dan kurasakan perih di bagian kewanitaanku. Darah!
Mataku langsung membelalak seketika menatap sesosok pria setengah telanjang yang tengah duduk menatapku. "Mas Leon! What have you done to me..?!" teriakku histeris. Aku meraih selimut yang berantakan di lantai untuk menutupi tubuhku yang telanjang.
"Maaf, Rin. Aku nggak bermaksud begini." Ia menggeser duduknya mendekatiku.
"Jahat kamu, Mas! You're evil..!" Aku berteriak kesetanan.
Plaakk..!
Tangan kananku melayang ke pipinya kemudian kedua tanganku memukuli tubuhnya. Ia hanya terdiam, tak ditangkisnya satu pun pukulanku. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Maaf, aku nggak nyangka jadi gini.. Aku pikir kamu…," ucapnya lama kemudian.
"Kamu pikir aku apa, Mas? Cewek gampangan? Iya..?!" potongku.
Ia kembali menunduk.
"Terus misalnya aku cewek gampangan, kamu bisa lakukan itu seenaknya? Damn you..!"
"Maaf…"
"Enak banget kamu ya, maaf..maaf..setelah kamu ambil kegadisanku."
"Coba apa kata Mbak Lastri kalau tahu kamu begini sama aku?" lanjutku geram.
"Tadinya aku juga nggak mau gitu ke kamu, Rin. Aku sama Felix tadi pagi bawa kamu ke sini soalnya kamu mabok banget dan temenmu pulang ninggalin kamu," jelasnya dengan suara lirih.
"Terus, kenapa bisa kaya gini?"
"Aku juga nggak tahu, Rin. Tadi kamu ngoceh sambil meluk dan cium aku. Aku..aku..khilaf.."
Aku tak peduli lagi dengan penjelasannya. Segera kupungut pakaianku yang berserakan di lantai dan mengenakannya tanpa mempedulikan dia yang masih duduk di kamar itu. Yang kupikirkan hanya segera pergi dari tempat itu secepatnya.
"Tunggu, Rin, mau kemana?" Tiba-tiba tangannya kuat memegang tanganku saat aku hendak membuka pintu.
"Lepas nggak?! Aku teriak nih.." ancamku sambil berusaha melepaskan tanganku.
"Iya, aku lepas. Tapi tolong jangan bilang ke Lastri," pintanya memelas.
"Huh..," dengusku.
"Please, dia punya sakit jantung bawaan dari kecil." Ia kembali memohon.
"Kamu boleh lakuin apa aja, Rin. Aku cuma minta satu hal, tolong jangan kasih tahu Lastri."
Lama aku hanya berdiri mematung dengan pikiran hampa. Rasa sayang pada Mbak Lastri yang telah begitu baik padaku selama ini, sejenak meluluhkan amarah dan luka hatiku. Akhirnya aku menjawab, "Ya, buat saat ini. Nggak tahu nanti."
Leon, lelaki terkutuk itu sontak memelukku erat. "Terima kasih, Erin."
Belum sempat aku meronta melepaskan pelukannya, terdengar suara pintu kamar terbuka.
Klak..!
Mbak Lastri terperanjat melihat kami berdua. "Mas Leon..?! Erin..?! Kaliaan...?!"
Ω Ψ Ω
Air mataku kembali mengalir deras. Buru-buru kuambil tisu dari dashboard mobilku dan meneruskan mengemudi ke kantor. "Hello, may I speak to Aunt Mary?" tanyaku di sambungan telepon internasional, sesampainya di ruanganku di kantor.
Daddy bersikeras memintaku memegang kantor cabang perusahaannya yang bergerak di bidang ekspor furniture di Yogyakarta ini setelah aku melahirkan Erina. Ia dan Mami juga lah yang mati-matian mencegahku menggugurkan kandunganku waktu itu.
"Come on Erin, she is my granddaughter after all. Kamu perlu hidup yang layak buat dia," ucapnya ketika aku menolak memegang kantor cabangnya itu. And here i am.
"Hai Erin, how are you, Dear?" Terdengar suara Aunt Mary menjawab ramah di telepon.
"You want to talk about Erina, right?" lanjutnya sebelum aku sempat menjawab salamnya. Selama bertahun-tahun ini, Aunt Mary menjadi semacam narasumber sekaligus konselor kami untuk hal-hal yang menyangkut Erina dan bakat istimewanya. Kemudian aku menceritakan apa yang dikatakan Erina padaku tadi pagi dengan nada panik.
"You don't need to worry about her. She can't hurt her," jawabnya singkat kemudian menutup teleponnya.
"But...aah!" keluhku lalu menutup teleponku juga.
Siang harinya aku setengah mengebut pulang ke rumah. Setelah memarkirkan mobil, bergegas aku masuk ke dalam rumah setelah Tanti membukakan pintu. Kulihat Erina sedang membaca buku di kamar kami. Ia telungkup di lantai masih mengenakan seragam taman kanak-kanaknya. "Hai sayang, baca apa tuh? Serius banget sih?" Aku mendekatinya dari belakang. Lalu aku tersadar. Itu bukan Erina..!
Anak itu menoleh ke belakang. Memutar kepalanya sampai seratus delapan puluh derajat. Matanya hanya berupa dua lubang hitam. Ia berucap, "Hai Tante..."
"Mau main sama aku?"
Bocah itu tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan tubuhnya menghadapku. Kepalanya yang terbalik posisinya kembali berputar. Saat menghadapku ia tersenyum, kedua tepi bibirnya mulai merekah melebar hingga robek sampai ke telinga.
"Aaaaaa..!" Aku spontan berteriak dan berlari menjauhinya.
Buukk..!
Aku menubruk sesuatu sampai jatuh terduduk. Ah, rupanya Tanti. Benturan tadi membuat kami sama-sama terjatuh di lantai.
"Ibu.." Tanti menatapku sembari mengangkat tubuhnya. "Kenapa, Bu, kok teriak?" tanyanya bingung.
Aku menoleh ke kamar dan menarik nafas lega mendapati bocah tadi sudah tidak ada di sana. "Oh, tadi Ibu lihat ada tikus lari." Aku terpaksa berbohong supaya Tanti tidak takut, sebab sulit mencari pengasuh anak sebaik dia. "Erina mana, Ti?"
"Tadi di kamar, Bu."
"Lho, barusan nggak ada. Adanya..eh.." Kuhentikan ucapanku. Hampir saja keceplosan.
"Mamiii.. Kok udah pulang, kan masih siang?" Erina menghambur keluar dari kamar depan yang berfungsi sebagai kamar untuk tamu.
"Lho, tadi…" Tanti memandang bingung ke kamar utama lalu ke kamar depan.
"Ya udah, Ti. Nggak papa kalau kamu mau pulang sekarang."
"Terima kasih, Bu. Erina, Mbak pulang dulu ya," pamitnya lalu melangkah menuju pintu depan.
"Ntar gerbang tolong tutup sekalian ya, Ti!" teriakku sebelum ia keluar..
Erina menarik tanganku dan berbisik, "Mami, sini deh Erina bilangin!"