"Mami, kenal yang namanya Tante Lastri..?" tanyanya pagi tadi. Pertanyaan Erina tepat sehari setelah ulang tahunnya yang kelima sontak mengejutkanku. Pisau yang kupegang untuk menyiapkan sarapan roti sandwich langsung terlepas dan jatuh berdenting di lantai. Nama itu telah terkubur sekian lama bersama masa laluku. Bagaimana bisa kini aku mendengarnya, dari putriku pula?
Kupegang kedua bahunya dan kudengar suaraku bergetar saat berkata padanya, "Erina, ka-kamu tahu darimana nama Tante Lastri?"
"Mami.. Sakit.." Erina meringis sambil menggerakan bahunya, berusaha melepaskan genggaman tanganku. Aku langsung tersadar telah mencengkeramnya begitu kuat dalam panikku. Buru-buru kulepaskan tanganku dari bahunya.
"Iya, Mi. Katanya dia dulu temen Mami," jawabnya kemudian.
"Hah?! Kap-kapan Erina ketemu Tante Lastri?" tanyaku semakin panik.
"Tadi malam, Mi, dalam mimpi. Dia pake gaun putih, cantiik sekali. Tapi, Mi... Mmm." Erina ragu-ragu meneruskan ceritanya.
"Tapi apa, Sayang?"
"Kok dia bilang Mami akan ngerasain apa yang dia rasakan waktu itu. Maksudnya apa ya, Mi? Erina nggak ngerti." Bola matanya yang berwarna hijau kebiruan lekat menatap mataku.
Ya Tuhan.
Benar ini Mbak Lastri..!
"Oh, itu kan cuma mimpi, Sayang. Nggak ada maksudnya." Aku memeluknya erat sekali. Masih tak percaya rasanya mendengar hal yang ia tuturkan tetapi aku tahu ia tak mungkin berbohong padaku. Lalu apa arti dan maksudnya? Apakah Mbak Lastri menyimpan dendam padaku?
"Tapi, Mi..."
"Ssst, udah dulu ya ceritanya. Sekarang Erina sarapan dulu sama Mami yuk! Biar Mami nggak telat kerja," potongku cepat menutupi kegugupanku.
Ia mengangkat bahunya lalu mengambil setangkap sandwich yang telah kusiapkan dan mulai menyantapnya.
Ting Tong...!
Bel pintu rumah kami berbunyi.
"Nah, itu pasti Mbak Tanti," ucapku. Erina segera berlari ke pintu depan dan membukanya.
"Pagi, Mbak, pas deh datengnya. Mami udah mau berangkat tuh," sapanya kepada Tanti, pengasuhnya di rumah dan sekolah taman kanak-kanak selama aku tinggalkan bekerja. Aku cukup percaya padanya mengingat ia masih saudara dari Kepala Satpam kompleks perumahan tempat kami tinggal.
"Erina yang pinter ya sekolahnya, Sayang. Mami kerja dulu," pamitku sembari memeluk dan mengecup kedua pipinya yang langsung dibalas hal serupa olehnya. "Tanti, titip Erina ya. Bekal Erina udah Ibu siapin di meja. Ibu nanti pulang cepat ya, mungkin jam dua," pesanku pada Tanti yang dijawab anggukannya.
Pembicaraan dengan Erina barusan begitu mengguncangku dan menimbulkan banyak sekali pertanyaan di benakku. Kujalankan mobilku perlahan sembari pikiranku melayang ke masa itu.
Ω Ψ Ω
"Erin udah punya pacar?" tanya Mas Leon ketika untuk ketiga kalinya aku ikut menumpang mobilnya dari kos ke kampus. Seperti biasa ia habis menemui Mbak Lastri siang itu. Sinta yang biasanya ikut bersama denganku kali ini membolos kuliah. "Aku sakit perut nih, Rin, lagi dapet. Titip tanda tangan ya," pesannya tadi.
Aku sebenarnya bingung kalau ada yang bertanya hal seperti Mas Leon barusan. Aku dekat dengan beberapa teman pria, sering dugem dan hang out bareng, namun tidak satupun dari mereka yang kuanggap kekasih. Kamu suka, aku suka, ya udah kita jalan. Tapi pacaran, hmmm…No.
Aku masih belum mau terikat pada komitmen.
"Banyak, Mas. Hehehe," jawabku nakal.
"Hah? Seriusan..?"
"Mau tauu ajaa…" Kujulurkan lidah padanya dan dia tergelak. "Thank's ya, Mas. Sorry nih sering ngerepotin," ucapku kemudian sembari turun dari kursi depan mobilnya.
"Santai aja, Rin, tiap hari juga nggak papa kok." Ia mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Ih, Mas Leon genit. Udah yaa..byee.."
Cukup seringnya Mas Leon menemui Mbak Lastri di kos membuatku dapat bersikap akrab dengannya. Atau memang pada dasarnya aku yang gampang akrab dengan orang lain, terutama para pria. Kadang aku merasa lebih nyaman bergaul bersama mereka dibandingkan sesama wanita. Mereka lebih fair, setidaknya menurutku begitu. Mereka juga tidak bergosip, hal yang selalu kuhindari. Dan yang pasti, they are much better than my parents. They've never been there for me.
"Hati-hati, Rin," kata Sinta suatu kali.
"Hati-hati apa sih?"
"Cowok cowok Lu itu." Logat Jakarta-annya mulai keluar, pertanda ia mulai kesal pada lawan bicaranya.
"Gua nggak punya cowok!"
"Yah, whatever lah. Jangan sampai Lu dibilang cewek gampangan."
"Sintaa..!" Tensiku meninggi tiba-tiba mendengar ucapannya. "You know me, right?!"
"Justru karena Gua ngerti Elu, Rin. Gua nggak mau Lu dibilang kaya gitu sama orang-orang," cerocosnya dengan nada suara tak kalah tinggi denganku.
"Dan nggak semua cowok itu baik, Rin. Ada aja cowok yang brengsek, di depan Lu baik kaya malaikat tapi di belakang Lu cerita bangga-banggain diri udah gini gitu sama Elu, malah mungkin dia tambah-tambahin," tambahnya.
Aku langsung tersentak mendengar ucapannya barusan. "What..?! Siapa tuh orangnya, Sin?"
"Nggak tahu. Mungkin belum. But who knows, Rin."
Aku terdiam merenungkan kata-kata Sinta itu. Selama ini aku selalu mengandalkan penilaianku sendiri dalam bersikap dan bertindak. Prinsipku, aku lakukan yang menurutku baik dan nyaman buatku, yang penting kan tidak mengganggu atau merugikan orang lain.
"Lagian kita hidup di budaya timur, Rin. Kita perempuan, mesti pinter-pinter bawa diri."
Ah, lagi-lagi kalimat klise itu. "Wow! Are you a saint or what?" sindirku.
"Gua juga nggak suci-suci amat, Rin. Tapi…."
"Ok, enough, Sin. Nggak usah diterusin, daripada kita berantem," potongku sebelum dia kembali menguliahiku.
Ω Ψ Ω
Dentuman house music menghentak lantai diskotik dimana aku dan Gustav menghabiskan malam. Menjelang dini hari kami bersandar di sofa melepas lelah sehabis gila-gilaan sejak pintu diskotik dibuka. "Rin, kamu mau make nggak?" Gustav yang nampak fly, menawarkan benda di saku kemejanya.
Aku menggeleng. "No, thanks, Tav."
Biarpun suka ke diskotik tetapi aku tidak pernah menyentuh barang semacam itu. Aku lebih suka menenggak sedikit coctail atau wine. Kuacuhkan juga sapaan dan tawaran bergoyang bersama dari beberapa pria di sekitar sofa tempat kami duduk.
"Cantik banget.. Indo, Dab!"
"Bisa nggak tuh? Berapaan ya..?"
Kata-kata semacam itu telah banyak kudengar meluncur dari mulut mereka namun aku tak mau ambil pusing selama mereka tidak menggangguku secara fisik.
Saat memandangi pengunjung lain yang asyik menikmati goyangan para dancer cantik berbusana minim yang meliuk-liuk menggoda di kedua sudut stage yang didesain seperti kurungan, sebuah suara yang tidak asing berteriak menyapa di antara riuhnya bunyi musik. "Erin, kamu di sini juga?"
Kulihat ke sumber suara dan langsung mengenalinya. "Mas Leon..?! Sama siapa kesini?" teriakku.
"Sama temen."
"Lho, nggak sama Mbak Lastri?"
Ia langsung mengambil tempat duduk di sebelahku. Gustav sudah benar-benar fly, tertidur dengan kepala menelungkup di meja. "Enggak, Rin. Habis pulang dari proyek langsung ke sini."
Seorang pegawai diskotik berjas hitam melangkah mendekati kami. "Halo Mas, yang biasa?" Kudengar sekilas ia bertanya pada Mas Leon.