Terdengar ledakan keras diikuti teriakan-teriakan kesakitan para makhluk yang mengejar kami. Tepat ketika suara mereka menghilang, pintu yang baru kami lalui pun lenyap begitu saja. Sesaat kemudian, aku terkejut mengetahui kami sekarang berada di depan gerbang kos Feli. Aku mengucap syukur berkali-kali, menyadari bahwa kami kini telah selamat. Perlahan aku berlutut dan meletakkan bagian bawah tubuhnya di tanah dan kepalanya di pelukan tangan kiriku. Ia menggeliat dan merintih. Anehnya, piyama dan wajahnya yang tadi berlumuran darah kini terlihat bersih. Kutepuk lembut pipinya mencoba menyadarkannya.
Perlahan ia membuka matanya dan tersenyum. "Terima kasih, Nan." Aku balas tersenyum sembari membelai rambutnya. "Ada dimana kita, Nan..?" Ia melanjutkan tanyanya sembari meringis kesakitan. Sepertinya walaupun luka fisiknya kini tak terlihat lagi namun rasa sakit yang diakibatkan masih dirasakan olehnya.
"Di depan gerbang kosmu," jawabku.
Ia mengernyitkan dahi dan matanya melirik ke sekitar kami. "Lho, kok bisa ya?"
"Aku juga nggak ngerti, Fel. Tadi Di yang…" Aku menyadari sesuatu.
Eh…?!
Di..! Kemana dia?
"Yang nolong kita tadi itu si Di? Dia sekarang dimana?" tanya Feli.
"Terus bagaimana bisa kalian tiba-tiba datang nolong aku?" berondongnya lagi.
Aku hanya menatap matanya dalam diam, sulit untuk menjelaskannya karena aku pun tak tahu bagaimana semua ini terjadi. Apalagi ia kini benar-benar sudah pergi. "Selamat jalan, Di.." desisku lirih.
Aku bangkit berdiri sambil memapah tubuh Feli yang masih lemah. Keadaan di sekeliling kami masih gelap, sepertinya masih dini hari. Hanya satu yang kupikirkan yaitu aku harus segera membawa Feli pergi meninggalkan rumah ini, terlalu berbahaya baginya. Mungkin aku akan membawanya ke kosku untuk sementara, sambil aku mencari tempat tinggal untuknya. Hanya itu yang ada di benakku. Aku bahkan belum tahu apa yang akan aku katakan pada Ibu Kos tentangnya. "Tahan ya, Fel, kita cari taksi atau becak," ucapku.
"Kita mau kemana, Nan?"
"Sementara kita ke kosku dulu ya, yang penting kita pergi dari sini."
Jalanan tampak lengang bahkan tak terdengar suara kendaraan sama sekali padahal biasanya tidak pernah sesepi ini. Kutahu dari pengalaman sering melewati daerah ini pada dini hari, dulu sepulang nongkrong dugem bersama teman-teman satu geng. Kemudian kulihat sinar lampu mobil dari kejauhan menuju ke arah kami. Semoga saja taksi yang lewat, seandainya bukan pun aku akan tetap mencoba memberhentikannya agar kami dapat secepatnya pergi dari sini. Sinar lampu itu semakin mendekat dan aku melambaikan tangan memberikan isyarat supaya ia berhenti.
Benar dugaanku, tulisan "Taksi" terbaca pada lampu yang menyala di atas kap kabinnya. Namun taksi itu sama sekali tidak menghentikan lajunya dan melewati kami dengan kecepatan cukup tinggi. "Taksiii..! Pak.. Paakk..!" teriakku tanpa hasil. Untunglah, tak begitu lama terpaut, terlihat lagi sinar lampu mobil melaju. Tekadku, kali ini harus berhasil menghentikannya. Aku memapah Feli sehingga kami berdua berdiri sedikit ke tengah jalan lalu kuhadangkan tangan kiriku yang bebas ke arahnya. Dalam posisi ini, pasti si pengendara akan melihat kami dan berhenti, kecuali dia memang sengaja mau menabrak kami. Sinar lampu di depan kami semakin mendekat dan aku menyadari bahwa ia tidak melambatkan lajunya. Dengan panik kupapah Feli menyingkir dari jalan, walaupun aku tahu terlambat sebab dengan laju sekencang itu kami tak akan sempat menghindar. Secepat kilat aku berbalik memeluk tubuhnya dan menghadapkan punggungku ke laju mobil itu. "Aaaaaa..!" teriak kami bersamaan ketika mobil itu menghantam kami.
Tetapi.. Lho..?!
Aku masih berdiri memeluk tubuh Feli yang juga memeluk tubuhku kencang dengan kepala dibenamkan di dadaku. "Nan, mana mobil tadi?" bisiknya dalam pelukanku. Kuputar pandanganku dan tak melihat apapun selain jalan aspal yang kembali lengang. Mobil tadi menghilang!
"Nggak ada, Fel. Mobil tadi hilang!" jawabku dengan perasaan bersyukur sekaligus bingung. Ia menghembuskan nafas lega lalu mengangkat kepalanya dari dadaku dan turut memutarkan pandangannya.
"Nan, kamu ngerasa aneh nggak sih?" Mata indahnya menatapku.
"Iya, Fel. Aneh banget. Kok bisa mobil tadi tiba-tiba hilang begitu aja?"
Tak sampai sedetik kemudian, tiba-tiba berhembus angin yang sangat kencang bagaikan topan melanda bumi. Kami berdua sampai terhuyung-huyung menahan terpaannya. Apa lagi ini..?! Hanya berlangsung sejenak, deru topan tiba-tiba berhenti dan berganti dengan kabut tebal yang dengan cepat menutupi pandangan sekitar. Di tengah kebingungan kami, sayup terdengar suara seperti bunyi bel sepeda mini.
Kring.. Kring..!
Suara bel disusul bunyi kayuhan pedal sepeda dan suara anak kecil sedang berdendang lagu yang asing di telinga, terdengar semakin mendekat lalu mengitari kami berulang-ulang tanpa terlihat wujudnya tertutup kabut tebal.
"Om, mau kemana?" Tiba-tiba di tengah kabut yang terkuak, muncul seorang bocah lelaki kecil berpakaian Sekolah Dasar, hanya beberapa langkah di depan kami. Anak itu duduk di atas sadel sepeda mini berwarna merah dengan kedua kaki turun ke bawah. Ia memandang kami yang kebingungan. "Om, mau kemana?" tanyanya lagi dan lagi dengan kalimat yang sama, semakin cepat di setiap pengulangannya.
"Aku antar yuuk..!" Aku sama sekali tak melihat kapan ia melompat dari sepedanya, tetapi kini ia sudah berdiri hanya selangkah di depanku. Ia mendongakkan kepalanya melihat kami dengan kedua mata yang hanya berbentuk dua rongga hitam. Dan ia menyeringai lebar dengan bibir yang robek mulai ujung bibir hingga ke pangkal telinganya. Mengerikan sekali!
"Aaaa..!" Feli berteriak ngeri sementara aku tercekat tak dapat mengeluarkan suara. Sontak kami mundur menjauh dari bocah mengerikan di depan kami ini. Ia hanya berdiri diam memperhatikan kami dengan rongga matanya yang berlubang lalu perlahan ia menggerakkan kepalanya ke kanan terus sampai menghadap ke belakang seratus delapan puluh derajat, sesuatu yang mustahil dilakukan manusia normal. Dan ternyata ia masih terus memutar kepalanya sampai kembali lagi menghadap kami di depannya. Lalu ia membuka mulutnya yang robek itu dan berlari memburu kami, "Haaaaa..!"
Nafasku hampir copot seketika melihat makhuk halus berbentuk bocah itu berlari cepat mendekati kami. Refleks langsung kupeluk Feli untuk melindunginya. Mungkin hanya sejengkal lagi sebelum menyentuh kami berdua, ia menghilang. Lenyap begitu saja. "Nan, kita ada dimana sih, Nan?" tanya Feli dengan nafas tertahan.
Belum sempat kujawab pertanyaannya, dari balik kabut munculah seorang perempuan tengah menggandeng anak perempuan. Mengenakan busana putih panjang, mereka melangkah perlahan menuju tempat kami berdiri. Tanpa kepala!
Aku tertegun ketakutan sementara Feli memelukku semakin kencang dan menyembunyikan wajahnya di dadaku. Mereka melangkah perlahan bergandengan tangan. Kedua leher mereka meneteskan darah yang membasahi busana putihnya, dengan menenteng kepala masing-masing di tangan yang bebas.
"Fel.. Fel.. Lari!" Segera saja kuseret Feli menjauh.