Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 18 - Mereka Mendatangiku

Chapter 18 - Mereka Mendatangiku

"Di atas mana, Mbok? Kamar Tante?"

"Waktu itu di depan kamar Ibu. Tapi sekarang sepertinya disimpan Ibu di lemari kaca deh."

"Memang kenapa to, Mbak?" tanyanya lagi.

"Ooh, nggak papa, Mbok. Nanya aja. Oh iya, isinya apa sih, Mbok?"

"Isinya sih gulungan kain, dan di dalemnya ada keris."

Ternyata benar kan dugaanku. "Itu barang punya siapa, Mbok?" kejarku.

"Yang Mbok tau, Ibu dikasih sama temen bisnisnya. Ibu suka manggil dengan sebutan Pakde gitu."

"Oh gitu, kapan ngasihnya? Terus kok bungkusannya ditaruh di kamar belakang?" tanyaku semakin penasaran.

Untungnya Mbok Jum tidak keberatan aku bertanya-tanya hal yang seharusnya bukan menjadi urusanku. "Kapan ya? Dua mingguan lalu kalau nggak salah, Mbak. Ditaruh belakang soalnya Ibu kayanya kurang suka dikasih barang kaya gitu, jadi dia nyuruh Mbok simpen. Ya Mbok simpen aja di kamar belakang," jelasnya.

"Lagian, si Pakde itu orangnya agak genit. Ibu kadang nggak nyaman kalau dia bertamu kesini. Suka nggoda Ibu gitu. Mbok yang ngeliat aja risih," katanya lagi sambil bergidik.

"Ooh, memangnya dia nggak punya istri?"

"Wah, akeh Mbak. Dan kayanya dia lagi ngincer si Ibu!" seru Mbok Jum.

Wah, kisah ini sepertinya menarik dan semakin membuat rasa ingin tahuku membuncah. "Kok Tante masih mau aja nemuin orang model begitu?"

"Pakde itu temen bisnis sejak Bapak masih ada. Kalau kata Ibu, si Pakde ini yang ngajarin Bapak usaha. Jadi Ibu masih menghormati gitu lah sama orangnya."

Aku manggut-manggut. "Oh, begitu rupanya."

Mbok Jum tiba-tiba tersentak dan menepuk keningnya. "Eh, ini kenapa to Mbak nanya-nanya gitu? Mbok sampe keceplosan cerita.." Ia terkekeh sendiri.

Aku menggaruk-garuk kepalaku, salah tingkah. "Ng-Nggak papa. Nanya aja, Mbok."

"Udah ya, Mbok nyapu dulu," pamitnya seraya berlalu ke dapur.

Duh, besok besok, ngga usah cerita apa-apa sama Mbok Jum. Bahaya.

Ω Ψ Ω

Malamnya karena perasaanku kurang enak dan tak ingin sendirian, aku menumpang tidur di kamar Lia. Aku beralasan ingin menemaninya supaya tidak sedih seperti kemarin. "Oh, so sweet banget sih kamu, Fel..," begitu sambutnya. Kembali kami mengobrol sampai jatuh tertidur.

Dug.. Dug.. Dug..!

Suara benturan seperti seseorang memukul tembok berkali-kali membuat aku terbangun. Dengan mata masih setengah terpejam, kuraih selimut di sampingku.

Dingin. Keras. Lho..?!

Aku membuka mata dan memandang sekelilingku. Sedetik kemudian aku meloncat berdiri. Bagaimana bisa aku berada di lantai ruang utama dalam rumah Tante Santi..?! Otakku berpikir keras mencerna bagaimana mungkin aku bisa ada di ruangan ini? Hanya sendirian di dalam keremangan dengan lemari kayu besar dan jam lonceng yang menyeramkan tiap kali berbunyi di sekelilingku.

"Lari.. Lari.." Kini terdengar suara bisikan halus sekali di telingaku. Aku menengok ke kanan dan kiri mencari sumber suara itu. Kembali suara itu berbisik, "Lari.. Lari.."

Belum sempat aku melangkah, kali ini terdengar suara yang tadi membangunkanku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu, ke atas tangga oval menuju lantai dua dan aku tak mempercayai penglihatanku atas apa yang ada di sana. Sesosok makhluk tinggi besar sampai hampir menyentuh langit-langit dan berbulu hitam di sekujur tubuhnya, sedang melangkah menuruni anak tangga menuju ke arahku. Mata merahnya yang seukuran kepala manusia tengah melotot lebar dan dua taring besar mencuat di samping deretan giginya yang tajam. Mendadak tercium aroma seperti ketela atau ubi bakar namun sangat kuat berkali-kali lipat.

"Lari.. Lari.." Bisikan itu kembali terdengar. Aku melangkah mundur dan membentur sesuatu di belakangku. Spontan aku berbalik dan menyaksikan hal lain yang tak kalah menyeramkan.

Sosok seorang perempuan berwajah rusak dan mengenakan kain putih penuh noda darah dengan kulit leher dan tangannya yang tidak tertutupi kain putih terlihat terkelupas dan meleleh. Sosok mengerikan itu melangkah terseok-seok mendekatiku.

Aku terpaku tak bisa bergerak. Kucoba berdoa sebisaku memohon perlindunganNya. Lalu kusadari makhluk hitam tinggi besar tadi sudah tepat selangkah di belakangku, dengusnya kencang menghembus rambutku. Sementara perempuan berwajah rusak itu dengan langkah tertatih namun pasti mengulurkan tangannya yang berbau nanah busuk berusaha menggapai tubuhku. Aku berteriak sekeras-kerasnya tetapi tidak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutku.

Tangan perempuan itu sudah menjamah bagian depan tubuhku yang langsung kutepis sebisa mungkin. Tetapi kini tangannya mencengkeram kuat bajuku. Makhluk besar di belakangku pun sudah hendak memegang kepalaku dengan tangannya yang besar. Aku memejamkan mata pasrah menunggu nasib.

Dan entah muncul dari mana, tiba-tiba sosok wanita bergaun putih itu kembali hadir. Mbak Lastri!

Ia langsung mendekapku dan kurasakan tubuhku ikut melayang ke atas bersamanya. Aku memejamkan mata ketakutan saat dia membawaku menembus langit-langit. Anehnya, aku tak merasakan sakit apapun. Ya, bahkan ketika badanku menembus langit-langit dan atap rumah! Aku melihat ke bawah dan kusaksikan di bawah, atap dan langit-langit yang telah kulalui menghilang dari pandangan. Kini pandanganku langsung menembus dan tertuju ke ruangan di mana makhluk hitam besar dan perempuan berwajah rusak tadi kutemui.

Kurasakan pelukan Mbak Lastri mengendur dan terlepas. Ia melesat ke bawah. "Tunggu.. Tunggu, Mbak!" ucapku panik. Aku memejamkan mata bersiap untuk terjatuh. Tetapi anehnya, tubuhku tetap melayang di mana Mbak Lastri meninggalkanku.

Kulihat di bawah sana, Mbak Lastri tengah merentangkan tangannya kepada makhluk hitam besar di satu sisi dan perempuan berwajah rusak di sisi lainnya.

Blaaarrrr...!

Terdengar bunyi dentuman keras bagaikan bunyi ledakan ribuan petasan dinyalakan sekaligus. Keduan makhluk mengerikan itu terpental menjauh kemudian menghilang dari pandangan. Tak berapa lama kemudian sosok Mbak Lastri juga turut lenyap. Sekarang aku dapat melihat lagi atap rumah di bawah tubuhku yang masih melayang di udara.

Mati aku!

Lalu pandanganku berputar tiba-tiba. Terasa berangsur kencang dan semakin kencang. Menyaksikan pemandangan dunia berputar dengan kecepatan tak terbayangkan ini langsung membuatku mual dan pusing luar biasa. Sekejap kemudian hanya kegelapan pekat yang ada dalam pandanganku.

Saat tersadar, aku mendapati diriku masih terbaring di atas tempat tidur di kamar Lia. Sekujur tubuhku terasa basah oleh keringat. Rupanya aku bermimpi buruk.

"Ya ampun, mimpi apa tadi?" Aku bergumam pada diriku sendiri.

Dong.. Dong.. Dong..!

Jam lonceng di rumah Tante Santi tiba-tiba berbunyi tiga kali, pertanda waktu menunjukkan jam tiga pagi.