NANTA FERNANDO
"Aku langsung ya, Fel. Nggak mampir. Ada pe-er belum kelar," ucapku setelah ia turun dari boncengan motorku.
"Siapa juga yang nawarin mampir? Week.." Gadis mungil yang belakangan mengisi hari-hariku itu menjulurkan lidahnya. "Terima kasih ya, Nan. Hati-hati pulangnya," tambahnya memamerkan senyum manisnya yang selalu kurindukan.
Duh, kaya disenyumin Siti Nurhaliza rasanya.
"Iya. Inget, nggak usah mikir macem-macem yaa," pesanku seraya memutar arah motorku dan melaju kemudian. Dari kaca spion kulihat Felicia melambaikan tangannya lalu berbalik masuk ke halaman kosnya. Sampai di kosku, hari telah berganti senja. Kulihat motor Tomas sudah nangkring di posisinya. Rupanya dia sudah sampai terlebih dahulu setelah tadi sama-sama mengantar Feli dan Fay pulang ke kos mereka. Kuparkir motorku dan melangkah menuju kamar ketika sebuah suara cempreng menghentikanku. "Mas Nanta, Nia sebel iih!" Nia, anak Ibu Kos, tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
"Eh, Nia, kaget aku. Kenapa kok sebel..?"
Ia melipatkan tangannya di dada dan mendengus. "Huh, Mas Nanta sombong deh, mentang-mentang punya cewek baru."
"Lah..? Sombong gimana? Lagian, cewek baru yang mana sih?" tanyaku bingung.
"Itu, yang tadi sore."
"Ooh, Feli. Itu temen, sekos sama Mbak Fay."
"Iyaa, temen. Kaya dulu si Ira, Nancy, Anggi.. Terus siapa tuh yang anak kos samping Suharti, yang nangis-nangis kesini habis Mas putusin?" cerocosnya sambil melotot lucu memamerkan mata bulatnya.
Aku nyengir kuda sambil menggaruk kepalaku salah tingkah. "Kamu kok inget sih, Ya. Aku aja dah lupa?"
"Huh, dasar!"
"Eh, Mas. Ntar maleman bantuin Nia ya bikin tugas." Tiba-tiba suaranya berubah merdu. Huh, pasti ada maunya nih anak!
"Tugas apaan, Ya?"
"Menggambar Struktur Bangunan," ucapnya menyebutkan mata kuliah dasar dan wajib untuk mahasiswa tingkat satu jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur.
Tuh kan, bener!
"MSB? Udah sampe mana emang?"
"Denah dan tampak udah. Mas tolongin gambar detail-detailnya"
"Walah, itu sih bukan bantuin, Ya. Namanya nyuruh nggambarin..," protesku sementara Nia hanya tersenyum lebar tanpa dosa. Nia, bungsu dari tiga bersaudara anak Ibu Kos, mahasiswi jurusan Arsitektur bersebelahan kampus denganku. Entah kenapa dia sangat akrab denganku sejak dia masih SMA sewaktu aku masih anak baru di kos ini. Mungkin karena usia kami tidak berbeda jauh dibandingkan anak kos lainnya yang sangat senior, kecuali Tomas yang juga sepantaran denganku.
Malamnya, sekitar jam setengah delapan Nia mengetuk pintuku dan mengajakku ke ruang tengah rumahnya dimana satu set meja gambar berdiri disitu.
"Maaf ya, Nan. Si Nia suka ngerepotin gitu," sapa Ibu Kos yang sedang membereskan meja makan tidak jauh dari kami.
"Mami, apaan sih? Enggak repot kan ya, Mas..," Nia mengerjap-ngerjapkan mata manja. "Lagian, Mi.. Mas Nanta seneng kok bisa deket-deket Nia," godanya.
"Niaa..!" Ibu Kos geleng-geleng kepala menatap tingkah anak bungsunya.
Seiring keakraban Nia denganku, Ibu Kos seolah mempercayakan padaku setiap hal yang berhubungan dengan Nia. Mulai dari menemaninya nonton bioskop, mengerjakan tugas dan konyolnya bahkan aku pernah menemaninya memutuskan pacarnya. "Biar dia takut sama kamu, Mas, nggak mohon-mohon balikan lagi,"
"Ya udah, Ibu naik dulu ya, Nan. Nia, jangan malem-malem kamu ya. Kalau dah ngantuk terusin besok," pesan Ibu Kos sebelum berlalu menaiki tangga ke lantai dua.
"Siap, Bos. Nggak malem kok, pagi sekalian," jawab Nia cengengesan. Ibu Kos kembali melotot padanya.
Tanpa terasa waktu sudah melewati tengah malam ketika aku dan Nia bergantian mengerjakan tugas gambarnya, bergelut dengan kertas kalkir, mistar dan pena rapido.
"Ya, detail pintu jendela udah nih. Gantian kamu, tinggal detail toilet kurang dikit," ucapku melirik sekilas ada Nia yang sedang duduk di sofa kecil di belakangku. Lalu pandanganku beralih ke meja gambar lagi untuk merapihkan beberapa coretan garis di gambar. "Ya, Niaa.. Malah bengong sih?" ucapku tanpa menoleh ke arahnya.
"Nanta, apa kabar?"
Aku tersentak. Suara itu. Suara lembut itu..?! Aku langsung memutar posisi tubuhku ke belakang menghadapnya. "Di..?!"
Tubuhku merinding seketika mendengar suara yang telah sekian lama tidak pernah kudengar lagi sejak kepergiannya. Aku turun dari kursi dan menatap ke sekeliling ruangan mencari sosoknya. Tetapi tak ada seorang pun selain aku dan Nia. Kulihat Nia duduk bersandar di sofa dengan posisi kepala miring bersandar kepada bantalan tepi sofa. Kedua matanya terpejam dan nafasnya berhembus teratur. Rupanya dia sudah tertidur nyenyak.
Apa tadi salah denger? Tapi jelas banget tadi. Itu suara Di.
Baru saja aku hendak berbalik menghadap meja gambar kembali, tiba-tiba tubuh Nia bergerak dari posisinya semula. Kini ia duduk tegak walau kedua matanya masih terpejam. Bibirnya mengucap pelan, "Nanta.." Suara lembut yang keluar dari mulutnya berbeda sekali dengan suara asli Nia yang cempreng.
Ya benar, itu suara Di!
Aku terjajar beberapa langkah ke belakang sampai membentur kursi yang tadi kududuki. "Di..? Diana..?" Bibirku bergetar mengucapkan nama itu.
"Iya, Nan. Maaf aku pinjam badan Nia untuk bicara sama kamu." Di menjawab dari dalam tubuh Nia yang masih duduk dengan mata terpejam.
"Ya Tuhan, Di.. Ini benar kamu?" tanyaku nyaris terisak dengan kerinduan yang meluap tiba-tiba.
"Iya, Nan. Tapi aku nggak bisa lama-lama, aku harus segera kembali ke cahaya atau.."
"Atau apa, Di?"
"Aku akan terperangkap selamanya di sini," jawabnya.
Aku melangkah mendekatinya. Ingin rasanya aku merengkuhnya sekarang namun aku sadar bahwa itu bukan tubuhnya tetapi tubuh Nia.
"Aku cuma mau kasih tahu kamu, Nan. Sekarang ini orang yang kamu sayangi dalam bahaya."
"Hah?! Siapa maksudmu, Di?"
"Felicia," jawabnya singkat.
"Feli..! Gimana kamu..," Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia mengangkat telunjuknya dan menempelkan di bibirnya. "Kamu nggak perlu tahu gimana. Yang jelas dia dalam bahaya."
"Oh ya? Bahaya gimana? Dimana?" uberku.
"Pemilik rumah kosnya itu. Dia nggak sadar udah menyimpan benda yang bukan main jahatnya. Sepertinya dia dijebak pemilik asli benda itu supaya celaka."
Aku langsung teringat hal yang Feli ceritakan padaku sebelumnya. "Tante Santi.. Tapi apa hubungannya sama Feli?"
"Dia istimewa. Dia nggak sadar kalau dia punya kemampuan besar antara dua dunia. Itulah kenapa para makhluk gaib tertarik padanya. Makhluk jahat ingin menguasai kemampuannya sedangkan makhluk yang baik ingin melindunginya."
"Aku nggak ngerti maksudmu, Di.." Aku mencoba mencerna penjelasannya.
Ia tak menjawabku sementara tubuh Nia tampak bergetar, semakin lama semakin kencang. "Aku.. Aku harus segera pergi, Nan. Kasihan Nia. Waktuku pun udah nggak banyak lagi."
Aku bergegas memegang bahu Nia mencegah supaya ia tidak terjatuh ke lantai.
"Tenagaku udah hampir habis, Nan. Kalau kamu memang sayang sama aku, tolong selamatkan Feli." Terdengar suara Di semakin melemah.
"Tapi gimana caranya, Di?"