Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 17 - Nanta

Chapter 17 - Nanta

"Indigo? Nggak lah, kalau aku Indigo, udah dari kecil aku bisa ngeliat hantu segala macem atau jenius kaya Einstein. Lha ini, kalkulus aja ngulang tiga kali," jawabku geli.

"Ya juga ya, Fel. Mana makannya banyak lagi.." ucap Nanta tanpa dosa.

"Nantaa..!"

"Kalau kamu, Nan. Kamu pernah ngeliat si Di lagi?" tanyaku berbisik sambil menengok kanan kiri. Seram juga kalau "dia" mendengar.

"Hmmhh, enggak sih." Ia memandang langit-langit kamarnya sejenak, sepertinya tengah mengingat-ingat. "Malam itu doang. Tapi kalau dimimpiin sih pernah berapa kali gitu," sambungnya.

"Oh ya? Gimana mimpinya, serem nggak?" kejarku ingin tahu.

"Nggak. Dia cuma senyum. Yah, mungkin karena waktu itu aku masih kepikiran dia aja.."

"Tapi itu dulu, Fel. Nggak usah cemburu gitu dong!" godanya.

"Diih, siapa juga yang cemburu?" cibirku.

"Emang enggak?" Ia mengerlingkan matanya.

"Enggak lah!"

Kini ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Kedua tangannya mengatup di dadanya seakan memohon. "Cemburu doong.."

Aku tertawa kecil sembari mendorong tubuhnya. "Yee, maksa.."

Kami berdua terbahak dan sejenak ia beralih mengajakku ngobrol hal lain yang lucu. Tak lama kemudian ia terdiam seperti mengingat sesuatu, aku pun turut terdiam. Ia menatapku, menjentikkan jarinya dan berkata, "Oh ya Fel, baru inget. Ada lagi satu teori yang pernah aku baca. Kalau nggak salah namanya Residual Energy"

"Pada intinya, alam dapat merekam kejadian-kejadian yang punya energi kuat positif maupun negatif, biasanya tragedi atau kecelakaan. Kejadian itu bisa terekam karena energi negatif atau efek traumanya kuat sekali. Nah, pada saat tertentu, juga dengan frekuensi yang tepat, kita bisa melihat rekaman kejadian itu." Ia menjelaskan dengan raut muka serius, bagai dosen sedang menguliahi mahasiswa.

Aku terkagum-kagum dengan penjelasannya. "Terus, maksudnya?" tanyaku kemudian.

"Bisa aja kamu mengalami tadi itu, kamu ngeliat residual energy yang mereka tinggalkan di kos."

"Tapi kok aku doang yang gitu, anak kos yang lain enggak?"

"Ya itu tadi, nggak semua orang bisa ngeliat atau punya frekuensi yang sama. Frekuensimu mungkin sering klop sama mereka."

Aku manggut-manggut setuju dan dalam hati kurasa semakin kagum padanya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Bentar, Nan. Tadi kamu bilang apa? Jimat ya?"

"Iya, jimat. Kenapa?"

"Kalau keris itu termasuk jimat nggak ya?" tanyaku lagi.

"Tergantung. Kalau keris biasa yang dijadiin koleksi aja ya bukan. Beda lagi kalau sengaja diisi sama orang pintar dan dipercaya punya khasiat, ya jadi jimat. Tapi aku juga nggak begitu ngerti hal kaya gitu"

"Oh.." jawabku pendek.

"Emang kenapa?"

Memori itu terputar jelas sekarang. "Tante Santi…"

Nanta terkesiap mendengar ucapanku. "Heh, kenapa Tante Santi?"

Aku teringat beberapa waktu lalu, ketika Mbok Jum tengah mengambil bungkusan hijau di bekas kamar Mbak Lastri dan membawanya ke lantai atas, seperti pesan Tante Santi padaku. "Barang apa sih ini, udah seminggu lebih disimpen disini nggak diambil-ambil?" Mbok Jum berkata sendiri saat keluar dari kamar saat itu.

Aku tidak terlalu memperhatikan bungkusan itu, tapi sekilas kulihat ada gagang kayu yang menyembul di celah ikatan kain hijau yang membungkusnya. Ya, kini aku yakin itu adalah gagang keris. Mirip seperti yang kulihat di rumah Pak Singo, mandor Papa, waktu dulu Papa pernah beberapa kali mengajakku ke rumahnya dimana ia memiliki banyak koleksi keris di rumahnya yang ditunjukkan pada kami dan selalu ia tawarkan pada Papa untuk memiliki salah satu keris tersebut tetapi Papa selalu menolak dengan alasan khawatir tidak bisa merawatnya.

"Jangan-jangan keris itu yang bikin perkara ya, Nan?" kutanya Nanta yang duduk terdiam setelah mendengar ceritaku.

"Belum tentu Fel, bisa aja itu keris biasa."

"Tapi waktunya kok pas ya, Nan?"

"Hmm, mungkin kebetulan aja, Fel."

"Duh, aku jadi takut pulang ke kos nih," isakku.

"Ya udah, bobo sini aja," jawabnya sambil nyengir nakal.

"Hus, ngaco!"

"Udah, nggak usah dipikirin. Semakin kamu mikir yang enggak-enggak, kamu semakin narik energi negatif. Toh, kamu selama ini cuma menampakkan diri aja kan? Nggak sampe kenapa-kenapa," ucapnya membesarkan hatiku.

Sontak aku memprotes ucapannya barusan. "Cuma menampakkan diri aja katamu..?! Itu serem tauu..!"

"Lha, serem mana sama aku? Muter keliling Jogja lho," tukasnya.

"Iya.. Iyaa..yang kangeen..," jawabku menyindir.

Lalu kami tertawa terbahak-bahak bersama.

Tawa yang absurd.

Tok..tok..tok..!

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar Nanta dan dilanjutkan suara Fay memanggil dari luar. "Fel, lagi ngapain?" Sedetik kemudian kepalanya muncul dari celah pintu yang terbuka sebagian.

Nanta mendongakkan kepala dan melempar senyum pada Fay. "Lagi ngobrol lah, emang ngapain?"

"Iya, iyaa. Ngobrolin masa depan kaan?" Fay terkekeh.

"Mmm, aku maunya sih gitu, Fay. Ngga tau si Feli nih..," jawab Nanta sambil melirik nakal padaku. Aku cuma menjulurkan lidah mendengarnya.

Ah, paling itu juga yang kamu ucapkan ke cewek lain yang deket sama kamu.

Lima menit kemudian, kami berempat sudah bersiap meluncur kembali ke kos. Fay dibonceng Tomas dan aku bersama Nanta. Sesaat sebelum aku naik ke boncengan motornya, aku melihat seorang gadis berdiri di balkon rumah ibu kos mereka yang berada di depan deretan kamar kos. Gadis itu menatapku dan tersenyum. Kuingat-ingat, senyumnya seperti salah seorang pemeran film tahun delapan puluhan. Oh iya, mirip Btari Karlinda, pemeran adiknya Boy. Hmm, mirip Btari Karlinda. Aku seperti pernah dengar seseorang bercerita padaku soal itu.

Nanta..! Ya, Nanta yang cerita. Apa berarti…itu…gadis itu Di ?!

Aku menepuk bahu Nanta dan tergagap memanggilnya, "Nan-Nantaa…"

"Kenapaa?" jawabnya tertutup berisiknya suara lalu lintas di sekitar kami.

Lalu aku tersadar, bisa saja yang kulihat tadi hanya halusinasiku saja. Dan segera saja kuurungkan niatku memberitahunya. "Eh, ng-nggak. Nggak ada apa-apa."

Selain itu jika memang tadi benar yang kulihat, sebagian hatiku tak ingin ia kembali terkenang akan Di lagi. Aku tak ingin hatinya kembali hancur.

Halah, ngomong aja kamu takut kehilangan dia kaan..

Ω Ψ Ω

"Mbok, sini deh," panggilku sore harinya saat Mbok Jum lewat depan pintu kamarku yang tidak tertutup. Ketika kami sampai di kos, Fay langsung masuk ke kamarnya dan merebahkan diri. Ia beralasan ingin meneruskan tidur paginya yang tadi kuganggu padahal aku masih ingin mengajaknya ngobrol. Aku pun tak ingin mengganggunya lagi dan beralih menyapu dan membersihkan kamarku.

Mbok Jum menghentikan langkah dan menyandarkan gagang sapu di dinding depan kamarku seraya berkata, "Iya, Mbak, kenapa?"

"Tante Santi ada?" tanyaku lirih.

"Pergi, Mbak. Biasa ke rumah Timoho," jawab Mbok Jum.

"Oh. Eh, Mbok, inget nggak tempo hari yang Mbok suruh mbawa bungkusan ijo ke atas?"

"Yang mana to, Mbak? Mbok lali iki.."

"Itu lho, yang dari kamar ujung itu."

Ia berusaha mengingat-ingat dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Oh iya, udah Mbok taruh atas. Kenapa, Mbak?"