"Eh, tapi kasihan lho dia," ucap Fay kemarin pagi.
"Kasihan kenapa?"
"Kalau kata Tomas, dia pernah suka sama cewek anak kos depan. Tapi cewek itu udah punya pacar.."
"Ya lagian, cewek punya pacar disenengin..," cibirku.
"Lha, namanya juga suka, gimana? Tapi dia nggak ngejar-ngejar juga, suka doang."
"Gitu doang kasihan?" tanyaku.
Fay menatapku dan berkata dengan suara lirih. "Ceweknya meninggal..".
"Haah..?!" Kaget juga aku mendengarnya.
"Iya. Kecelakaan."
"Ya ampun.."
"Shock banget dia Fel. Kasihan."
"Kata Tomas, sejak suka sama cewek kos depan itu, dia jadi anak baik. Tadinya playboy banget, gonta-ganti pacar," tambahnya.
"Lha, sekarang gimana?" tanyaku penasaran.
"Jadi lebih diem gitu. Nggak kedengeran playboy-nya lagi. Anak ibu kosnya yang nguber-nguber aja dicuekin."
Penjelasan Fay sedikit banyak membuatku ingin tahu juga tentang cowok yang ia maksud. Tapi bukan karena aku ingin punya pacar lho ya! Just curious aja. "Emang seganteng apa sih dia, Fay? Jadi penasaran.."
Fay tersenyum girang mendengar ucapanku. "Besok ya kalau pas ketemu aku kenalin. Dia ada kuliah yang sekelas sama aku, kadang aku suka numpang kalau Tomas nggak bisa jemput."
"Wah, jangan-jangan kamu nih yang suka sama dia," tuduhku.
"Ngawur! Nggak lah," tangkisnya cepat.
"Ngomong-ngomong, siapa namanya?"
"Besok aja sekalian kenalan. Biar lebih mesra..Hahahaha.."
Ω Ψ Ω
And here we are. Tenyata ini cowok yang diceritain Fay.
"Kamu kuliah sini ya? Sipil apa Arsitek?" tanyanya padaku.
Otakku butuh waktu loading sejenak. Lalu aku tersadar, aku masih menggenggam tangannya. "Eh, i-iya.. Sipil," jawabku dengan canggung serta melepaskan jabatan tanganku. Kulirik Fay tengah pura-pura mengalihkan pandangan sembari tersenyum simpul. Awas Lu yaa!
"Wah, sama kita.." ucapnya senang.
"Oh ya? Kok nggak pernah liat?"
"Aku di Atma. Dulu nggak keterima disini, UMPTN nggak lolos. Hehehe…" Ia nyengir memamerkan lesung pipinya lagi.
"Oh, pantesan."
"Fel, kamu mau kemana tadi?" Fay tiba-tiba menyela.
"Nyari makan, laper tahu.." jawabku sambil mengusap-usap perutku.
Nanta menatap kami berdua dan berkata cepat, "Ya udah, kita bertiga makan bareng yuk! Ke Kolombo mau? Di situ ada yang enak."
Aku dan Fay saling berpandangan. Hampir serempak kami bertanya, "Kolombo? Jauh kan..?"
"Masa si Feli suruh jalan sendiri sampai sana?" tanya Fay lagi.
"Ya enggak lah, ceng lu aja kita," jawab Nanta enteng.
Busyet, ceng lu! Bonceng telu alias boncengan bertiga!
"Yang bener aja, Nan! Muat apa motormu?" tanya Fay.
"Muat, asal mau mepet aja kalian berdua. Paling lima menit lah lewat Selokan Mataram," jawab Nanta lagi masih dengan nada enteng.
Aku dan Fay kembali saling berpandangan sekali lagi. "Gimana, Fel? Mau nggak..?" Ia berbisik.
Aku berpikir keras, antara menolak karena malu dan mau karena sudah lapar sekali. Tapi perut sudah tidak bisa ditawar, harus segera diisi. "Mmm, ya ayo deh. Tapi kamu tengah ya Fay," jawabku akhirnya.
"Kamu tengah Fel, kamu kan mungil." Fay berkilah.
Nanta tersenyum sambil menghampiri motornya. Kalau tidak salah, jenis sepeda motor GL Pro model lama, mirip seperti motor operasional pegawai kantor Papa dulu.
Huh, senyam-senyum. Menang banyak ya kamu!.
"Tenang aja, aku maju kok, nggak mepet banget." Ia menghidupkan sepeda motornya dan mengambil posisi duduk di ujung depan jok motor supaya kami berdua bisa naik di belakangnya. Seolah ia dapat membaca pikiranku barusan.
Setengah melompat, aku duduk di tengah diapit Fay yang menyusul naik di belakang. "Nggak ada polisi nih Nan?" tanya Fay was-was.
"Udah tenang aja, ntar kalau ada kamu turun, Fay."
"Bajigur kowe, Nan.." Fay mengetok helm Nanta.
Dan kami meluncur, diiringi tatapan banyak mahasiswa lain yang berlalu lalang.
Ω Ψ Ω
Sejak sore itu kami jadi akrab. Kadang ia mengantarku pulang dari kampus, padahal kampusnya di daerah Babarsari sedangkan kampusku terletak di daerah Sinduadi, di komplek gedung kampus UGM. Memang sama-sama di Sleman tetapi cukup jauh jaraknya. "Kebetulan lewat sini, sekalian lah," begitu ucapnya selalu. Dan betul kata Fay, kami cocok sekali, di bidang makanan! Seleranya hampir sama denganku, pokoknya tempat makan yang porsinya banyak tapi harganya miring pasti kami datangi. Rasa nomer sekian, yang penting kenyang. Hehehe...
Seperti siang ini. Begitu aku berjalan keluar dari kampus, kutemui ia tengah bertengger di sepeda motornya yang terparkir di tepi jalan. Aku jadi heran bagaimana ia tahu jam kuliahku? Apakah dia mencaritahu dari Fay? Kalau iya, untuk apa? Apakah dia suka kepadaku? Hei, Feli! Kamu suka cowok playboy begitu? Huh! Nggak deh.
Aku sih senang-senang saja sering dijemput pulang ke kos. Kan jadi irit tenaga dan ongkos. Sudah begitu, dia sering membayariku makan juga sehingga aku merasa enak, eh…sungkan. Emang gua cewek apaan?!
"Udah aku aja, nggak papa.."
"Jangan ah, Nan. Aku ngga enak dibayarin terus."
"Gampang kali, Fel. Nanti aja di kos itung-itungannya," Ia selalu mencegahku membayar kemudian langsung nyelonong membayar makanan kami berdua ke empunya warung. Dan begitu sampai di kos, dia akan langsung pamit tanpa menyinggung hitung-hitungan makan tadi. Kira-kira seperti itulah yang terjadi setiap dia mengajakku makan bersamanya.
"Cieee, Feli. Dianterin melulu nih ya pulangnya sama Yayang," goda Lia di teras ketika aku hendak masuk ke rumah. Pras, pacarnya, turut nyengir meledek.
"Ih, apa sih Yayang Yayang? Peyang kali.." balasku sambil berlalu masuk ke rumah. Sehabis mandi, aku mematut diri di depan kaca cermin yang tergantung di dinding kamarku. Terlihat di situ wajahku yang bulat, sekilas mirip Siti Nurhaliza kata beberapa teman di kos dan di kampus. "Tapi sekilas aja lho yaa ngeliatnya, kalau kelamaan jadi ngga enak diliat," ledek Lia suatu kali. Bajigur...
Kusisir perlahan rambutku yang panjangnya sedikit di bawah bahu sambil bersenandung sekenanya. Dan kembali teringat tentangnya. Ya, Nanta. Kuakui pria satu ini mulai membuat hatiku bergetar. Hal yang telah lama tak kurasakan lagi sejak dikhianati Nando di semester awal kuliah dulu. Satu yang kusuka darinya ialah saat ia tertawa, lepas sekali terdengarnya. Ia juga bisa membuatku tertawa dengan cerita-cerita konyolnya dan mampu membuatku teralih dari beban dan masalah yang tengah kualami. Namun ada juga hal darinya yang kurang kusukai. Ia beberapa kali menceritakan kisah kasih tak sampainya dengan Diana, gadis idamannya yang meninggal dalam kecelakaan tragis. Mungkin ia tak bermaksud dengan sengaja membagi kisahnya itu padaku, namun tetap saja hal itu sedikit banyak menggangguku. Ingin sekali aku menolak atau menghindar jika ia mulai menyebut nama Diana di hadapanku. Tapi, aku kan bukan siapa-siapa kamu, Nan. Atau kamu cerita gitu biar aku kasihan lalu menerima kamu gitu? Hihihi…
Aku tersenyum sendiri dan menatap diriku di dalam cermin, mengutuki kebodohan pikiranku barusan. Lalu aku menyadari sesuatu yang ganjil. Kulihat aku masih menyisir rambutku sembari tersenyum padahal aku telah selesai bersisir dan telah bergeser dari dudukku di depan cermin! Belum habis rasa terkejutku, tiba-tiba "Aku" dalam cermin melirik ke arahku. Senyumnya semakin lebar.
"Aaaaaaaaa....!!" teriakku kaget bercampur takut.