Secepat kilat kuraih gagang pintu kamar dan melompat keluar. Di selasar Lia yang keluar dari pintu kamar sebelah menyambutku dengan wajah bingung. "Kenapa Fel..?"
"I-itu..." Kalimatku terhenti, hampir saja aku ceritakan apa yang kulihat dan aku tersadar jika aku lakukan itu maka anak kos lain akan ketakutan. Jika itu terjadi, kemungkinan besar mereka akan pindah dan aku akan sendirian. "Ee.. Ba-barusan ada cicak jatuh ke lantai sebelahku." Aku terpaksa berbohong.
Lia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oalah, teriaknya kaya apaan aja..."
Namun tiba-tiba, "Aaaaaaa....!!" terdengar teriakan dari kamar mandi.
Braakk..!!
Terdengar suara daun pintu kamar mandi yang terbuka dengan kencang sampai membentur dinding. Fay menghambur keluar, masih dengan hanya berhanduk dillilitkan di tubuhnya yang gemetar. Wajahnya pucat pasi.
"Kenapa, Fay..?" tanyaku ikut gemetar.
"Ba-barusan, di dalem, kaya ada yang megang badanku dari belakang.."
"Ah, yang bener, Fay?!" tanya Lia panik.
"Iya, beneran, makanya aku teriak. Serem ih."
"Mungkin perasaan kamu aja, Fay. Aku juga pernah gitu, tapi nggak ada apa-apa kok. Kadang kulit kita suka bereaksi gitu habis keadaan basah ke kering," karangku membesarkan hati Fay. Aku bertekad, apapun yang terjadi aku harus mempertahankan teman-temanku supaya tetap betah di kos ini.
"Mmm, iya kali. Ya udah, aku ganti baju dulu." Kemudian ia melangkah masuk ke kamarnya.
Ω Ψ Ω
Terbukti beberapa hari berikutnya menguji tekadku tadi. Sejak kejadian bertemu dengan Mbak Lastri, kini aku selalu tidur dengan lampu dinyalakan dan radio dalam keadaan menyala sampai pagi. Aku tidak mau merasa ada sesuatu atau seseorang lain dalam kamarku saat gelap.
Bahkan pintu kamar juga tidak kukunci dengan anak kunci, hanya diselot saja, supaya gampang keluar jika terjadi sesuatu di kamarku. Benar-benar paranoid kamu, Fel.
Malam itu aku sedang belajar untuk persiapan ujian semester minggu depannya. Mata kuliah ini selalu jadi ganjalan, sampai terpaksa mengulang ketiga kalinya, yaitu Kalkulus 3. Aku belajar sambil tiduran di kasur. Sekilas kudengar penyiar di radio mengucapkan waktu saat itu jam setengah satu tengah malam ketika tiba-tiba kurasakan ingin buang air kecil. Kutahan beberapa waktu meneruskan belajarku sampai akhirnya rasa itu tak tertahan lagi. Kupasang telinga mendengarkan suasana di luar yang sedang dalam keadaan sepi. Sepertinya semua anak kos sudah lelap dengan tidurnya masing-masing. Sempat terbersit ide untuk membangunkan Lia atau Fay, tapi kuurungkan niat itu. Kasihan mereka.
Akhirnya, kubuka pintu dan keluar menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur. Kulangkahkan kaki dengan menyeret sandal agar menimbulkan suara keras supaya tidak terlalu sepi. Sampai di depan kamar mandi, kulihat kedua ruangannya kosong. Terlihat dari ventilasi di atas pintu yang tertutup, lampu kamar mandi dalam kondisi mati. Setelah menyalakan lampu, aku masuk ke kamar mandi sebelah kanan. Beberapa saat di dalam, kudengar suara sandal diseret dan pintu kamar mandi sebelah dibuka kemudian ditutup. Lega rasanya mendengar ada kawan yang juga memakai kamar mandi.
"Fay ya..?" Aku berkata ke kamar mandi sebelah. Ia tak menjawab. Hanya terdengar suara kecipak air beradu dengan gayung dilanjutkan dengan suara air dari tangki flush membilas kloset. Buru-buru aku juga menyiram kloset, membersihkan diri dan merapihkan bajuku kembali.
Keluar kamar mandi, aku menengok ke ruang sebelah. Kulihat pintunya masih dalam keadaan tertutup. Mungkin dia masih di dalam, pikirku. Tetapi dari ventilasi terlihat gelap di dalamnya. Penasaran, aku mendekati pintu dan memanggil pelan, "Fay.. Lia.. Dev.."
Namun tidak ada jawaban. Bunyi siraman air pun tidak terdengar lagi membuatku bertanya-tanya apakah dia sudah keluar duluan dan sudah kembali ke kamarnya? Secepat itu kah? Tapi kuamati tidak ada jejak basah yang ditinggalkan di lantai. Penasaran, aku membuka pintu kamar mandi sebelah. Ternyata lantai keramik di kamar mandi dalam keadaan kering. Kulayangkan pandangan ke bak, terlihat gayung merah bertengger di bibir bak air, juga kering. Untuk kesekian kalinya di kos ini, bulu kudukku merinding sejadi-jadinya.
Tergesa-gesa kututup kembali pintu itu, berbalik dan berlari ke kamarku.Lalu langkahku terhenti di tengah koridor. Saat kulihat sesosok bayangan hitam, besar sekali, sedang berdiri di depan pintu dapur yang hanya sekitar tiga meteran dari tempatku berdiri. Aku terpaku, tak bisa bergerak apalagi melangkahkan kaki. Sosok besar hitam itu bergerak maju ke arahku.
Lari! Lari! Otakku memerintahkan kakiku untuk bergerak tetapi mereka seperti ditanam di lantai, tak bisa bergerak sedikitpun. Sementara sosok hitam itu semakin dekat!
"Feli..." Kini terdengar suara bisikan itu lagi. Aku menoleh ke asal suara dan aku melihatnya. Mbak Lastri..!
Ia tiba-tiba muncul di depanku, berdiri melayang dengan posisi menyamping menghadap ke arah dapur. Tangan kanannya menunjuk ke sosok hitam besar yang terus bergerak maju. Lalu sosok hitam itu terhenti seperti tertahan sesuatu. Adegan menyeramkan itu berlangsung beberapa detik sampai akhirnya kedua makhluk yang tak pernah kubayangkan akan kutemui itu menghilang.
Aku ambruk bersimpuh di lantai. Air mataku tak dapat kutahan lagi. Aku menangis sendiri dalam ketakutan.
Ω Ψ Ω
"Nan, kamu percaya kalau hantu itu ada?"
Mata beningnya memandangku, seolah hendak memastikan pertanyaan itu keluar dari mulutku. "Kenapa nanya gitu, Fel..?"
"Enggak papa. Kamu jawab dulu deh, percaya nggak?"
Nanta menghela nafas. "Iya, percaya" jawabnya singkat.
"Kenapa memangnya, Fel?"
Aku terdiam bingung, Nanta menggeser duduknya mendekat hingga sikunya bersentuhan dengan lenganku. "Ayo, cerita deh," bujuknya.
Aku menoleh menatap matanya dan berucap, "Tapi janji ya.."
"Janji? Janji apa..?"
"Janji nggak nganggap aku gila..?"
"Ya enggak lah," Ia menjawab cepat.
"Tuh kaan, nggak mau janji.."
"Eh, bukan gitu. Maksudnya iya, aku nggak akan nganggap kamu gila."
"Masa aku suka sama orang gila," lanjutnya.
"Iih, apa sih kamu..." Aku menonjok bahunya disambut tawa renyahnya.
Mas penjual pecel lele di depan kami geleng-geleng kepala. "Kok ditonjok, Mbak? Peluk kenapa..?" godanya.
Aku melotot sewot. Tapi dalam hati aku memang berharap.
Halaah.. Kenapa aku jadi ngerasa gini ya sama dia?
"Jadi mau cerita nggak?" tegur Nanta membuyarkan lamunanku.
"Eh..iya, jadi.."
Aku menarik napas dan menghembuskan perlahan sebelum mulai bercerita. "Gini Nan, aku rasa…kosan ku ada hantunya!"
Nanta mengangkat alis matanya. "Oh ya..? Kok kamu bisa ngomong gitu?"
"Fay kayanya nggak pernah cerita aneh-aneh tentang kosan. Duluan Fay kan sama kamu?" lanjutnya.
"Iya bener. Aku juga nggak ngerti, Nan. Apa mungkin aku aja yang gila?!"
"Hussh! Katanya nggak mau dianggep gila?" sergahnya. "Terus, gimana ceritanya?"