Kemudian dengan mengecilkan volume suara, aku bercerita kejadian demi kejadian yang kualami, mulai dari A sampai Z. Nanta semakin mendekatkan posisi duduknya sampai hampir menempel denganku.
Raut wajahnya ikut berubah-ubah, kaget, takut, lega, kaget lagi, dan seterusnya. Seirama dengan penuturanku. "Aku capek, Nan, kaya gini terus. Ketakutan sendiri, nggak bisa cerita siapa-siapa."
"Hiks…" Air mataku tak terbendung lagi. Kulihat dari sudut mataku, Nanta terdiam sesaat melihatku sesenggukan.
"Ya udah, keluarin aja Fel. Nangis aja, biar lega.." Tiba-tiba tangan kirinya merengkuh bahuku untuk merapat ke tubuhnya, sembari tangan kanannya mengusap tanganku di meja. Serasa seperti ribuan volt listrik menyengat diriku. Panas tapi nyaman sekali. Hal yang telah lama sekali tidak kurasakan. Lama dia memelukku, sampai aku puas menangis.
"Aku cengeng ya, Nan..? Maaf yaa.." ucapku sambil mengusap air mata dengan punggung tanganku.
Ia bangkit dari duduknya kemudian kembali dengan beberapa helai tisu wajah di tangannya. "Ini Fel, sorry cuma dikit. Barusan minta sama Mbak itu di belakang."
What..?!
"Ih, Nanta, malu-maluin.." Tetapi kuambil juga tisu itu dan menghapus air mata dari wajahku.
"Nggak papa, nggak ketemu lagi ini sama orangnya, daripada pakai tisu makan?!" jawabnya enteng dan kembali duduk.
"Makasih ya, Nan, dah mau dengerin. Aku nggak tahu lagi mau cerita ke siapa. Ke Mama nggak mungkin, aku nggak mau Mama khawatir dan mengira anaknya mulai nggak waras. Cerita sama anak-anak kos, bisa-bisa kabur semua ntar.."
"Iyaa, tenang aja. Mau cerita sampe besok juga gak papa, aku dengerin."
Mas penjual pecel lele lewat lagi di depan kami. "Bejo pancen kowe, Mas" ucapnya pada Nanta.
"Maksude?" tanya Nanta bingung.
"Mbak'e kae, malem mingguan diajak mangan pecel lele wae wis seneng."
Bajigur..!!
"Kita pindah, yuk!" Nanta menggamit lenganku kemudian membayar makanan kami ke Mas pecel lele yang masih tersenyum tidak jelas itu.
Duh, ini anak udah main pegang-pegang aja.
Lanjutkan…hihihi.
"Kemana, Nan?"
"Babarsari. Ada yang jual susu murni, enak banget."
"Hah? Kamu belum kenyang?"
"Kenyang sih, tapi nggak papa, kita lesehan aja di sana," terangnya.
"Aku juga mau cerita sesuatu ke kamu.." Raut wajahnya berubah serius.
"Ayo deh, tapi jangan malem-malem ya pulangnya! Malem minggu jam sebelas batasnya." Aku mengingatkan. Bisa berabe soalnya kalau kemalaman pulang ke kos.
Lalu kami melaju di atas GL Pro lamanya itu. Sesampainya di daerah Babarsari, ia mengajakku duduk di tikar yang berada di trotoar di sebelah gerobak penjual susu murni dan roti bakar yang dituju.
"Pak'e, susu coklat kalih, roti bakar coklat setunggal, nggih." Setengah berteriak ia memesan ke penjualnya, seorang pria setengah baya.
"Beres Mas. Suwi ra mrene sampean?" balas si bapak penjual dengan nada akrab.
Nanta tersenyum sembari membetulkan posisi duduknya. "Biasa Pak'e, sibuk."
"Mbak Di karo Mbak Ratna kok yo wis suwi ora mampir?" Bapak itu bertanya lagi sementara kedua tangannya sibuk meracik bubuk coklat untuk dicampurkan ke dalam susu murni di gelas. Kulihat Nanta hanya tersenyum mendengar ucapannya. Untungnya ia tidak melanjutkan pertanyaannya lagi.
"Nah Fel, sekarang giliranku cerita," ucapnya setelah kami berdua duduk di tikar. "Tapi janji juga ya?"
"Eh, janji apaan nih?" tanyaku.
"Janji.. Eemm.." Ucapannya terhenti.
"Apaan?" uberku.
"Janji.. Ah, nggak jadi dah.."
Bukk..! Tinjuku mendarat di bahunya.
"Aduh..! Beneran ih mukulnya..!" protesnya.
"Habis, kesel.."
Ia tertawa sejenak lalu menatapku dengan pandangan serius. "Oke. Langsung ke cerita aja deh. Gini, aku juga pernah ngalamin kaya kamu, Fel."
Aku terperanjat mendengar ucapannya. "Maksudnya? Kamu ngeliat hantu juga?"
"Iya. Di." jawabnya singkat.
"Di? Diana maksudnya?".
"Iya. Aku udah cerita ke kamu kan kalau Di kecelakaan bareng pacar dan temen-temennya di Kaliurang?"
Aku mengangguk.
Sampe hafal aku, Nan, sama ceritamu.
Di lagi, Di lagi yang kamu bahas.
"Terus..?"
"Tau nggak? Malam waktu kejadian itu, aku sempat ketemu Di."
"Malam kapan? Sebelum kecelakaan?" Aku semakin penasaran.
"Sesudah, Fel."
"Oh ya..?!" Aku langsung merinding.
"Malem itu, aku ketemu si Di di depan kosnya. Kulihat dia berdiri sendirian. Aku sapa dia, eh, ternyata si Di malah deketin aku dan ngajak jalan," jelas Nanta menceritakan kejadian yang ia alami sebelum ia melanjutkan berkisah apa saja yang terjadi dan bagaimana mereka berdua pergi berkeliling kota Jogja malam itu.
"Sampai speechless deh aku. Bayangin aja sekian lama cuma bisa ngeliatin dan ngagumin dari jauh, tiba-tiba jalan bareng sama dia." Nanta menghembuskan nafas panjang sebelum meneruskan.
Aku terdiam menyimak ceritanya, ada rasa sedih dan sedikit cemburu bergelut dalam hatiku.
Tunggu dulu! Cemburu..? Inikah yang kurasakan?
"Besoknya aku tahu dari Ratna, kalau ternyata Di dan Jon pacarnya itu kecelakaan masuk jurang kemarin siang dan baru malam ditemukannya. Ya malam aku jalan bareng Di itu. Ternyata dia cuma mau pamitan sama aku." Dengan nada sedih ia mengakhiri ceritanya lalu terdiam memandang ke bawah.
"Ya ampun Nan, sedih banget yaa.." Aku mendekatinya penuh rasa sedih. Kuraih tangannya, kugenggam erat dan tanpa kusadar aku mengecup tangannya.
Astaga! Feli!
Ia mendongakkan wajahnya dan tersenyum melihatku. "Terima kasih ya," ucapnya lembut dan balas menggenggam erat tanganku. Dan kembali ia merengkuhku dalam pelukannya.
"Monggo, Mas, roti bakarnya." Bapak penjual susu murni itu tiba-tiba muncul sambil meletakkan roti bakar pesanan kami.
Bapaaakk..!
Ω Ψ Ω
Aku berlari secepat kilat masuk ke kos. Saat sampai di depan gerbang tadi hanya dua menit kurang dari pukul sebelas malam, batas jam malam kos setiap malam minggu. Lebih dari itu, siap-siap menerima omelan dari Tante Santi, apalagi kalau dia sedang bawel. "Pokoknya Tante laporin orang tua kalian ya kalau ada yang melanggar peraturan kos ini!" Begitu lah ancamannya pada kami semua. Lain waktu jika hatinya sedang baik, terutama di awal bulan saat menerima pembayaran kos, ia bisa dengan santainya berkata pada kami, "Yah, lewat-lewat dikit nggak papa lah, Tante juga pernah muda. Kalian udah gede udah bisa tanggung jawab." Dan sekarang akhir bulan, sedang galak-galaknya!
"Fiuuuhh. Amaan.." ujarku lega saat melalui pintu dapur dan menuju kos di belakangnya. Ketika membuka kunci pintu kamarku, dari sebelah kamar terdengar suara pintu kamar Lia terbuka. Ia muncul dengan wajah sembab, diiringi Fay di sebelahnya.
"Felicia Putri! Jam segini baru pulang? Tante laporin orangtua kamu yaa..!" hardik Fay bertolak pinggang, menirukan gaya Tante Santi kalau sedang sewot.
"Habis pacaran Tante. Weeek." Aku menjawab sambil menjulurkan lidah ke mereka berdua.
"Felii…" Lia menghambur memelukku sambil menangis sesenggukan.
Aku kebingungan. "Kenapa nih, Fay" bisikku pada Fay yang berdiri di balik tubuh Lia.
Fay menempatkan telunjuk di depan bibir, "Ssstt..," sambil menggeleng pelan.
"Pras selingkuh, Fel…" Lia berkata lirih dalam tangisnya.
Waduh..