Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 3 - Beradaptasi

Chapter 3 - Beradaptasi

Baru saja aku hendak melampiaskan kekesalanku, tiba-tiba sudut mataku melihat ada bayangan seseorang yang berdiri di belakangku. Aku sampai terloncat saking terkejutnya. Untung aku tak punya riwayat penyakit jantung. Entah sejak kapan ia—seorang gadis cantik berambut panjang yang mengenakan setelan kaos putih dan celana panjang berbahan kain—telah berdiri di sana. Ia tersenyum. "Kaget ya?"

"Eh, se-sedikit, Mbak," jawabku antara gugup dan berpikir keras mencoba mengingat siapakah gadis yang tengah berbicara denganku ini.

Ia menatap gagang telepon di tanganku. "Itu cari siapa?"

"Oh, ini… Katanya sih, dia cari yang namanya Lastri, Mbak."

"Mmm, Mbak anak kos sini juga?" lanjutku.

"Aku Lastri. Kamarku yang ujung itu." Ia menunjuk kamar di ujung ruangan, salah satu kamar yang penghuninya belum pernah kutemui.

Wah, kebetulan..

"Oh, Mbak Lastri..?! Kebetulan. Ini, Mbak. Silahkan." Aku menyorongkan gagang telepon kepadanya. Namun ia hanya berdiri diam tak menyambutnya.

Tuuutt..!

"Yaah. Udah mati teleponnya, Mbak," seruku. Segera aku meletakkan gagang telepon dan bermaksud meneruskan pembicaraan kami namun begitu membalikkan badanku, Mbak Lastri sudah berlalu. Hanya kulihat punggungnya saat ia membuka pintu kamar dan menutupnya kembali.

Orang aneh…

Perasaanku tiba-tiba mulai tidak enak.

Ω Ψ Ω

Untunglah, keesokan hari dan hari-hari berikutnya, dering telepon di waktu tengah malam itu tidak terdengar lagi.

Hingga pada suatu malam…

"Fel, harpitnas besok ikut aku pulang, yuk. Ke Purwokerto," ajak Fay sore itu.

Baru saja aku hendak membuka mulut, Lia menyela, "Ikut aku aja, lebih deket, ke Semarang doang."

"Harpitnas"—hari kejepit nasional—disukai sebagian besar orang karena berarti ada tambahan hari libur. Termasuk juga bagi Dynamic Duo ini, Fay dan Lia. Kenapa aku namai mereka begitu? Sebab mereka dinamis sekali alias tidak bisa diam. Kalah deh bola bekel.

"Mmm, gimana ya? Aku lagi banyak tugas anak-anak yang belum diperiksa nih." Padahal itu hanya dalihku saja. Uang kiriman dari Mama hanya pas-pasan untuk membayar kos dan makan dengan menu standar selama sebulan, kadang kurang. Untunglah mulai semester lalu aku terpilih menjadi Asisten Tugas di kampus, uang sakunya lumayan untuk tambahan jajan.

"Iya deh, yang Asisteenn…," sindir Fay. Aku hanya menanggapinya dengan senyum, walaupun pahit sebenarnya.

"Kamu yakin nggak mau ikut? Atau jangan-jangan kamu mau pulang juga ke Jakarta?" tambah Lia.

"Pulang Jakarta? Tanggung lah cuma libur tiga hari, capek di jalan."

"Lu naik pesawat kali. Naik bis ya tua di jalan, Lu."

Lucu juga mendengar Lia mengucapkan kalimat tadi dengan logat Semarangnya, apalagi kalau Fay yang bicara. Aku selalu tak dapat menahan reflek tawaku jika mendengarnya bicara Banyumasan. Ternyata bukan aku saja, kawan-kawan yang lain juga begitu. Tetapi hal itu tak pernah mengganggunya, bahkan ia sangat bangga berbicara demikian di hadapan orang banyak. Tipikal orang Cilacap, Banyumas dan sekitarnya.

"Aku ora bali, nang kene wae."

Sekarang mereka yang gantian menahan tawa, seperti setiap kali mereka mendengarku berbahasa Jawa. Papa dan Mama memang berdarah Jawa namun mereka sudah tinggal di Jakarta jauh sebelum aku lahir. Di rumah kami pun mereka hampir tak pernah berbicara menggunakan bahasa daerah sehingga bisa dibilang penguasaan bahasa Jawaku minim sekali.

Namun tiga tahun tinggal di Jogja di mana percakapan sehari-hari antar teman di kampus banyak menggunakan bahasa Jawa membuatku sedikit banyak menguasainya, tentu dengan logat yang berbeda.

"Tenanan? Sendirian lho di kosan, yang lain biasanya pada pulang juga kalau libur agak panjang gini."

"Iya, Tante juga suka pergi nengok cucunya. Paling Mbok Jum yang stand by," lanjut Lia.

"Ya udah kalau gitu, ntar kamu pegang kunci kamarku aja, nonton tivi di kamar daripada bete sendirian." Fay menunjuk anak kunci yang tergantung di pintu.

"Iya bener, Fel. Daripada kamu nonton tivi di dalem rumah Tante, serem sendirian. Apalagi pas enak-enak nonton, jam loncengnya bunyi. Doong..doong..doong. Hiiii…!" seru Lia dengan menirukan suara dentang lonceng jam di ruang utama sambil bergidik.

"Iya, iyaa. Makasih ya sobat-sobatku yang paling bawel sedunia."

"Atau… Hmm, aku tahu! Kamu mau nge-date ya? Siapa, Fel? Ayo kenalin!" Fay menggodaku disusul tawa Lia.

"Sorry ya. Nggak ada waktu ya buat cowok. Week.." Kujulurkan lidahku membalas mereka.

Ω Ψ Ω

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua telah memesan taksi menuju ke terminal bus. Agak siang, Devi, Maria dan anak kos lainnya pun menyusul satu persatu pergi dari kos ini. Sepertinya hanya tinggal Mbok Jum yang tinggal, terakhir kulihat ia sedang menyapu halaman depan. Tante Santi? Sudah dua atau tiga hari ini tidak tampak di rumah, mungkin pergi menengok cucunya atau mengontrol kos-kosan lainnya.

Sendirian di kos sesiangan itu membuatku bosan. Komik Lucky Luke kesayangan sampai kucel bolak-balik kubaca. Aku melangkah masuk ke dalam rumah utama, maksudnya hendak mengobrol dengan Mbok Jum. Sepi sekali di dalam. Kudekati pintu kamarnya yang terletak di dekat tangga. Baru saja hendak kuketuk, terdengar halus suara dengkuran dari dalam kamar. Komplit..!

Akhirnya untuk mengusir galau dan lapar karena sedari pagi belum ada sebutir nasi pun mengisi perutku, aku meluncur ke supermarket yang terletak hanya tiga ratus meteran dari kos. Masih terjangkau dengan berjalan kaki. Setelah menghabiskan seporsi lotek plus bakwan di warung dekat supermarket, kuhabiskan waktu menjelajah naik turun lantai satu dan lantai dua supermarket itu, sekalian ngadem.

Beberapa kali mondar-mandir tak tentu arah membuat petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk mulai menatapku waspada, atau lebih tepatnya curiga. Aku pun melipir keluar sembari melemparkan senyum termanisku padanya. Tumben sekali, biasanya ada saja wajah mahasiswa sekampus yang beredar di tempat ini, tetapi hari ini tak satu pun kutemui. Mungkin mereka tengah pulang kampung menikmati libur Harpitnas. Dan akhirnya aku lelah juga. Setelah arloji menunjukkan pukul tujuh malam, aku pun melangkah pulang dengan menenteng sebungkus pecel telur dari warung pecel lele langganan kami. Saking seringnya membeli makanan di warung tersebut, penjualnya sampai hafal sekali padaku.

Selalu saja setiap aku menunjukkan hidung di warungnya, dia akan langsung berteriak ke rekannya, tukang menggoreng. "Di, pecel telur siji. Sego siji setengah. Karo tempe tahu. Garing. Bungkus yoo.." Dan aku cuma bisa tersipu di antara tatapan mata sekian banyak mahasiswa lain yang makan di warung itu. Cewek mungil tapi makannya banyak, mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Aku berjalan pulang, melangkah santai di trotoar yang cukup ramai lalu lalang pejalan kaki dan juga warung tenda pedagang makanan. Satu dua warung dipenuhi pembeli yang duduk berjubel bahkan ada yang makan sambil berdiri, sementara beberapa warung lainnya lengang menampakkan wajah penjual yang penuh harap pembeli.

"Mampir, Mbak," sapa salah seorang dari mereka. Terkadang aku makan di warungnya.

"Sampun, Mas." Kutunjukkan bungkusan kantong plastik berisi pecel telur di tanganku.

"Nambah, Mbak. Sekarang bayar besok gratis, Mbak," goda temannya yang duduk di sebelahnya disahuti tawa penjual dari warung sebelah. Aku hanya menggeleng sopan dan berlalu.

"Ceweek..!" Kali ini terdengar suara memanggil dengan maksud menggoda ketika aku melangkah melewati sekumpulan pembeli angkringan yang duduk lesehan di bidang trotoar. Aku membuang muka sebal.

Huh, kalau rame gitu berani manggil-manggil. Coba sendiri. Kalau udah gini, nyesel juga mutusin si kutu kupret. Gitu-gitu Nando berguna juga buat anter jemput.