Chereads / TELEPON TENGAH MALAM / Chapter 6 - Lastri-part 2

Chapter 6 - Lastri-part 2

"Ya Mbok, sebentar," jawabku seraya beranjak ke kamar dan mengganti piyama pink ku dengan setelan kaos dan celana selutut. Mbak Tio pun beringsut masuk lagi ke kamarnya. Setelah melintasi ruangan rumah utama dan membuka pintu depan, kudapati di teras sudah duduk sesosok pria bertubuh tinggi tegap. Sepasang lengan kekar yang gelap terbakar matahari menyembul keluar dari seragam berwarna abu-abu yang dikenakannya.

"Mas Leon." Ia bangkit menyongsongku yang berjalan menyambutnya. Diciumnya lembut keningku sebelum memeluk erat tubuhku.

Segera kudorong lembut tubuhnya. "Ih, Mas. Malu dilihat orang."

"Tumben kesini jam segini? Nggak telat ke proyek?" tanyaku kemudian setelah kami duduk di kursi tamu.

"Nggak papa, semalem kan ngecor sampe hampir subuh. Sekarang agak siangan lah berangkatnya."

"Lastri dah sarapan belom? Nyobain warung lotek deket Mirota situ, yuk!" lanjutnya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Aku memang sedang lapar. "Mmm, ayo. Tapi aku belom mandi nih, Mas. Cuma ganti baju aja tadi."

"Pantesan dari tadi ada bau asem gimana gitu..." godanya.

"Tapi suka kan?" jawabku manja disambut tangannya yang segera mengacak-ngacak rambutku. Sesaat kemudian mobil Katana-nya meluncur membawa kami berdua ke warung lotek di mana aku menghabiskan satu setengah porsi lotek campur bakwan saking laparnya.

Sekembalinya kami ke kos, Mas Leon ikut turun mengantarku sampai pintu depan rumah. Bersamaan dengan itu, Erin muncul bersama Sinta—kamarnya bersebelahan denganku dan dia lah yang mengajak Erin kos di tempat ini—sepertinya mereka hendak berangkat kuliah siang.

"Mbak Lastri, Mas Leon. Pagi-pagi udah pacaran nih ceritanya," sapanya.

"Pagi? Udah siang ini. Hehehe…" Mas Leon terkekeh.

"Mau pada kuliah ya?" tanyaku.

"Iya Mbak, kuliah jam satu ntar. Biar nyantai berangkat sekarang." Sinta menjawab.

"Ikut sekalian yuk, kampus kan searah sama proyek."

"Ngga enak ah, Mas. Ngrepotin."

"Halah. Kaya sama siapa aja, Rin. Udah gak papa, sekalian Mas Leon mau jalan nih," dukungku.

Setelah saling berpandangan sejenak, mereka pun mengangguk.

"Ya udah, ayo masuk semua. Aku berangkat ya, Las". Mas Leon mengecup keningku lagi dan bergegas ke mobilnya. Lalu Katana itu melaju seiring lambaian tanganku.

Ω Ψ Ω

Tiga bulan belakangan ini aku sangat sibuk dengan penyusunan skripsiku. Waktuku habis untuk menyebar kuesioner, melakukan wawancara dengan responden, mengolah data yang telah dikumpulkan dan juga bertemu dosen pembimbing. Biarpun begitu, selalu kuusahakan untuk tetap berkomunikasi dengan Mas Leon lewat telepon dan sebisa mungkin kuluangkan waktu di malam minggu atau hari libur untuk bersamanya. Namun ia pun tak kalah sibuk, sering sekali harus lembur di proyek sehingga terkadang waktu yang telah kami tentukan untuk bertemu pun mesti tertunda.

"Ngejar deadline nih, Las. Sorry ya, nggak bisa ngapel," ucapnya di telepon beberapa hari yang lalu ketika aku menghubunginya.

Walaupun ini kesekian kalinya ia membatalkan janji, aku hanya dapat memakluminya. "Iya nggak papa, Mas. Kalau besok minggu gimana? Nonton yuk."

"Mmm. Kayanya ngga bisa, Las. Besok juga masuk."

"Kalau Senen, kan ada nomat."

"Apalagi Senen, ribet," keluhnya.

"Oh gitu, ya udah deh. Mas baik-baik ya. Jaga kesehatan."

"Iya. Kamu juga. Udah ya, aku buru-buru nih."

"Ya Mas. Daah. I love you.."

"Love you too.."

Klek. Tuuttt.

Telepon terputus. Kira-kira seperti itu lah yang terjadi setiap kami berbicara di telepon. Lalu kuperhatikan, saat akhirnya kami bisa bertemu pun sikapnya pun tidak sehangat biasanya. Tapi aku berpikir positif. Mungkin karena memang kami sama-sama sibuk. Dia dengan pekerjaannya dan aku dengan skripsiku.

"Dorrr..!"

Aku tersadar dari lamunanku. "Mbak Ayu.."

"Ngelamun wae. Itu kuesioner mau mbok apake..? Berantakan di kasur kaya gitu?" Mbak Ayu—penghuni kamar seberang— tiba-tiba melongok di muka pintu kamarku yang setengah terbuka. Ia masih memiliki hubungan saudara dengan Tante Santi pemilik kos dan dipercaya sebagai wakil Tante Santi untuk urusan kos-kosan seperti pembayaran kos atau jika ada yang harus diperbaiki.

"Jarene sibuk, malah ngelamun?" tanyanya lagi dengan ciri khasnya memakai bahasa campuran Indonesia dan Jawa.

"Hehehe. Ngaso sebentar, Mbak. Puyeng."

"Eh, Mbak. Masuk sini lho.." sambungku mengundangnya masuk.

Ia mengambil posisi duduk di ujung tempat tidurku. "Iya, podo hee. Aku juga"

"Ngomong-ngomong, Si Leon kok ra tau ketok? Pindah proyek luar Jawa opo?" lanjutnya.

"Ora Mbak, masih di sini aja kok."

"Lha kok ra tau teko mrene? Lagi musuhan opo?"

"Ora Mbak, apik-apik wae kok," jawabku.

"Lagi podo-podo sibuk wae, Mbak"

"Ooh, yo wis. Ta pikir ono opo. Tapi coba kamu tanya dia, jangan-jangan ada ganjelan?"

"Maksud Mbak opo?"

Ia menghela nafas sejenak dan membetulkan posisi duduknya. "Wong lanang kuwi angel-angel gampang. Kadang di depan diem baik-baik aja, belum tentu di pikirannya lho."

"Sayang lho nek sampe lepas. Ngganteng, mapan, pinter..," lanjutnya dengan mata berbinar.

"Iih, Mbak ini. Apa sih? Jangan-jangan Mbak Ayu naksir po piye? Huuhh.." Aku pura-pura merajuk.

Ia tertawa tebahak-bahak. "Yo wis, diterusin kerjaane. Aku turu awan sek." Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar.

"Lho Mbak, jarene sibuk juga..kok malah turu awan?" godaku.

"Gampang, ben digarapke Gito wae."

"Gito? Lha kuwi pacar opo jasa skripsi?"

Ia terkekeh di depan kamarnya. "Loro-lorone ra popo kan?"

"Dasaarr…"

Pembicaraan dengan Mbak Ayu tadi membuatku gelisah. Dan aku tersadar sudah tiga hari ini belum mendapat kabar dari Mas Leon.

Kangen juga sama dia. Aku telpon dulu deh, daripada nggak tenang ngerjain skripsi.

Setelah berganti baju sekadarnya, aku keluar menuju Wartel yang hanya berjarak tiga rumah dari kos. Aku masuk ke bilik wartel dan memencet nomor telepon kantor Mas Leon, seperti biasanya. Setelah beberapa nada panggil, seorang pria menjawab teleponku. "Halo selamat sore."

"Selamat sore, Pak Parmin ya? Maaf bisa bicara dengan Pak Leon?"

"Mbak Lastri ya? Sebentar ya, Mbak." Pak Parmin langsung tahu dengan siapa ia berbicara dan siapa yang kucari. Mungkin karena sering menelpon ke kantor proyeknya, kami jadi sama-sama saling hafal. Setelah beberapa saat, "Halo Mbak, Pak Leon nya nggak masuk hari ini."

"Nggak masuk? Kenapa katanya, Pak?" tanyaku terkejut.

"Kurang tahu saya, Mbak."

Lalu samar kudengar suara seorang wanita berbicara di belakang Pak Parmin. "Nyari siapa? Pak Leon? Sakit."

"Oh, sakit katanya Mbak."

"Oh gitu, terima kasih ya, Pak."

Tanpa pikir panjang aku berlari kembali ke kos, buru-buru berganti baju dan meminjam sepeda motor Mbak Ayu.

"Mau kemana, Las?" tanyanya sambil menyerahkan kunci dan STNK.

"Ke kontrakan Mas Leon, kata orang kantornya dia sakit."

"Lho, dia sakit nggak bilang ke kamu ya?"

"Justru itu, Mbak…aku takut sakitnya parah."

"Mau ditemenin nggak?"

"Nggak usah, Mbak, terima kasih. Aku pinjem dulu ya, Mbak.."