Dengan kecepatan tinggi kubawa motor Grand milik Mbak Ayu meliuk-liuk diantara kendaraan lain. Tak kupedulikan klakson mereka, hanya satu yang kupikirkan, sampai ke tempat Mas Leon.
Sesampainya di kontrakan Mas Leon, kuparkir motor di halaman dan mengetuk pintu depan. Beberapa saat kemudian pintu depan terbuka dan Mas Felix, teman satu kontrakan Mas Leon, menyembulkan kepalanya.
"Lho, Lastri?!" sapanya kaget. Sikapnya aneh, tak seperti biasanya jika bertemu aku dan Mas Leon di kontrakan itu.
"Mas Leon ada, Mas? Kata orang kantor dia sakit."
"Eeh..eeh.." jawabnya tergagap, membuatku semakin merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Aku jadi geregetan. Kudorong pintu itu hingga Mas Felix terdorong ke belakang. Aku berlari menuju kamar Mas Leon di belakang. Kubuka pintunya yang tidak terkunci. Dan bagaikan petir menyambar tubuhku saat itu..
"Mas Leon..?!"
"Erin..?!"
"Kaliaan…?!"
Rasanya bagai langit runtuh menimpaku. Aku segera membalikkan badanku dan berlari keluar. Benar-benar tak kupercaya telah menyaksikan orang yang akan menjadi suamiku berduaan dengan gadis yang telah kami anggap saudara. Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan terlarang itu!
Mas Leon berlari berusaha mencegahku pergi. "Las..Lastrii..tunggu.."
Kutepis keras tangannya dari bahuku. Tak sudi aku melihat mukanya. Pandanganku kabur, air mataku mengucur deras tak tertahan. Kulewati Mas Felix yang hanya berdiri terdiam. Lalu kudengar ia berteriak pada Mas Leon. "Apa aku bilang coba? Kejadian kan!"
"Diem kamu, Lix. Nggak usah ikut campur.."
Aku berbalik sejenak, kutatap wajah Mas Leon penuh kemarahan. Kulepas cincin pertunangan dari jariku dan kulemparkan ke tubuhnya. "Terlalu kamu, Mas..!!" teriakku.
"Mbak.. Mbaak Lastriii.. Maafin Erin, Mbak.." Tiba-tiba Erin berlari menyusulku. Ia memelukku erat dari belakang, berusaha menahanku menaiki motor. Kugerakkan seluruh tubuh melepaskan pelukannya hingga ia terpental jatuh terduduk di tanah. Dan saat itu tiba-tiba kurasakan nyeri menusuk dadaku. Tapi kuabaikan dan terus melajukan motor kembali ke kos.
"Lastri. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu saat aku masuk ke kos. Mbak Tio dan Sinta ikut menatapku bertanya-tanya.
"Nggak papa, Mbak. Ini saya kembaliin kuncinya. Terima kasih ya, Mbak," jawabku tersedu kemudian menghambur masuk ke kamar, mengunci pintu dan menangis di tempat tidur. Tak kupedulikan mereka yang mencoba mengetuk pintu dan memanggil namaku.
"Las..Lastrii. Buka dong. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu dan Mbak Tio beberapa kali.
Entah berapa lama aku menangis.
Mas Leon,
Tega sekali kamu Mas.
Tiga tahun sudah kita lewati bersama.
Dan cincin tunangan ini sudah enam bulan aku pakai.
Sebentar lagi aku lulus Mas.
Dan kita nikah, seperti janji kamu ke aku.
Aku kurang apa sih Mas?
Kita pacaran dari kamu masih kuliah, belum punya apa-apa.
Apa sayangku belum cukup, perhatianku belum cukup.
Atau kamu memang maunya cewek yang secantik Erin buat jadi istrimu?
Kamu lupa semua kenangan kita?
Kamu lupa semua janji kita?
Semua kenangan tentang kami, perasaan cinta dan benci, rasa terkhianati, semua berkecamuk dalam hatiku.
Kembali kurasakan nyeri menusuk-nusuk di dadaku.
Aku merangkak turun dari tempat tidurku.
Gelap.
Kuraba dinding mencari saklar dan menyalakan lampu kamar. Dari sela-sela lubang angina, di luar terlihat masih terang dan kudengar banyak orang yang berbicara.
"Gila kamu ya, Rin. Tega-teganya kamu sama Lastri..!!" Suara Mbak Ayu yang biasanya lembut terdengar keras sekali.
Lalu kudengar suara tangisan Erin, mengucap terbata-bata. "I..iy..aa, Mbaak. E..riin sa..laah.. E..rriin mii..ntaa..maa..aaaff.."
"Jangan minta maaf ke kita, nggak ada gunanya. Ke Lastri tuh. Kalau aku yang digituin, udah aku bejeg-bejeg kamu.." jawab Mbak Ayu geram.
"Kau itu Erin, kayak pagar makan tanaman. Kurang baik apa itu si Lastri sama kau. Calonnya kau embat pula..!" tambah Mbak Tio.
"Udah, Mbak.. Cukup!" Aku keluar dari kamar. Erin menghambur mencoba memelukku. Tak henti-hentinya bibirnya berkata maaf memohon ampun. "Aku dah nggak tahu mau ngomong apa, Rin. Aku juga nggak tahu sekarang gimana perasaanku."
"Sudahlah, mungkin memang Mas Leon bukan jodohku." Dan tangisku kembali tak terbendung.
Kurasakan beberapa tangan menopang dan memapahku ke kursi. Erin bersimpuh di depanku. Sekilas kulihat Mbok Jum berdiri di pintu dapur menyaksikan kegaduhan yang terjadi. Kutatap Erin lagi, kebencian yang memuncak mendorongku ingin sekali melakukan hal terburuk padanya. Tapi sesuatu dalam diriku mencegahnya. Lama aku terdiam.
"Sabar ya, Las. Sabar.." Mbak Ayu mengelus-ngelus pundakku.
"Iya Mbak. Sabar.." Sinta turut meneteskan air mata.
Rasa nyeri itu datang lagi. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Iya, aku udah nggak papa."
Dan malam itu aku tidur ditemani Mbak Tio walaupun aku bersikeras menolak. "Biar kalau kau mau macam-macam ada yang megangin," tegasnya.
Besoknya, kudengar dari Mbak Ayu, pagi-pagi sekali Erin keluar dari kos kami. Rupanya Tante Santi setelah mendapat laporan dari Mbok Jum memutuskan untuk mengusirnya. Tapi kurasa tidak diusir pun dia akan keluar sendiri.
Hari demi hari penuh kesedihan pun harus kulalui. Namun aku tetap bertahan. Belakangan aku tahu dari Mbak Tio, bahwa Mas Leon berkali-kali datang ke kos tetapi anak-anak kos dan Mbok Jum kompak mengatakan padanya kalau aku tidak ada. Begitu juga saat dia meneleponku. Untungnya kegiatanku di kampus boleh dibilang sudah tidak ada, hanya meyusun skripsi di kos, sehingga aku tak perlu menghindari Mas Leon jika dia mencariku di kampus. Dan akhirnya, sepertinya dia berhenti mencariku.
Syukurlah, karena aku juga sudah bertekad akan menata hatiku perlahan. Akan sangat sulit untukku jika dia masih berada di dekatku.
Ω Ψ Ω
Akhir minggu ini long weekend karena tanggal merah jatuh di hari Jumat. Aku hanya tinggal bertiga di kos bersama Mbok Jum dan Sinta. Penghuni kos lain pulang kampung atau pergi berlibur. Aku enggan sekali pulang ke Madiun tempat asalku, aku malas mencari-cari alasan jika Bapak dan Ibu menanyakan kabar Mas Leon. "Lho, kok pulang sendiri? Leon-nya mana?" Pasti begitu pertanyaan mereka. Entah kalau mereka sudah tahu sendiri dari Mas Leon. Sudahlah, aku tak mau memikirkannya lagi.
Sinta, setahuku ia berasal dari Solo, tetapi ia memang jarang pulang kampung karena menurutnya percuma juga pulang ke rumah mengingat kedua orangtuanya adalah pengusaha yang sama-sama sibuk. "Males aku, Mbak. Pulang juga ketemunya sopir sama pembantu tok," ucapnya suatu kali.
Sudah hampir lewat tengah malam, aku sedang menonton televisi di ruang rumah utama ditemani Mbok Jum yang duduk terkantuk-kantuk. Sementara Sinta tidak kelihatan keluar dari kamarnya sejak makan malam tadi, sepertinya ia sudah terlelap ke alam mimpi.
Tiba-tiba,
Kriing...! Kriing…! Kriing…!