Tak terasa, sampai juga langkahku di depan gerbang rumah kos yang remang, hanya diterangi lampu taman yang bagaikan hidup segan mati tak mau. Kubuka gembok yang mengunci gerbang itu sambil mengarahkan pandangan ke halaman. Pernah kutanya Mbok Jum mengapa bagian luar rumah seperti kurang terawat, Mbok Jum hanya terkekeh. "Mbok nggak tahu, Mbak. Tugas Mbok cuma dalam rumah dan kos belakang."
Ia melanjutkan, "Yah, tapi kadang-kadang kalau terlalu kotor ya Mbok sapu juga. Kasihan sama anak kos kalau halamannya kotor."
Di kemudian hari kudengar dari cerita Lia yang paling lama kos di antara kami bertiga, konon semasa hidupnya suami Tante Santi sangat rajin berkebun dan merawat halaman depan itu. Namun suatu hari ia meninggal mendadak terkena serangan jantung saat sedang menyiram tanaman. Mungkin hal itulah yang menyebabkan Tante Santi nyaris tidak mau merawat bagian depan rumah, terlebih halamannya.
Gelap. Dahan pohon besar itu seakan bergerak melambai. Pemandangan yang sehari-hari kulewati saat pulang dari kampus, entah kenapa kali ini menimbulkan perasaan aneh di hatiku. Sempat terpikir sekilas di benakku, jangan-jangan arwah suami Tante Santi menampakkan diri padaku. Hiiii…
Aku berjalan cepat melewati halaman, membuka kunci pintu depan lalu menghambur masuk ke dalam. Lega sekali melihat cahaya lampu terang benderang di dalam. "Mbok, Mbok.." Kuhampiri pintu kamarnya yang tertutup. Terlihat cahaya terang di dalam kamar dari sela-sela lubang ventilasi di atas kusen pintu.
Tok..tok..tok..!
Kuketuk pintunya berkali-kali. "Mbok, Mbok.."
Baru jam setengah delapan Mbok Jum udah tidur? Duh, sepi amat ya. Nyesel juga nggak ikut Fay atau Lia. Mana laper lagi...
Akhirnya kuhentikan usahaku memanggil Mbok Jum. Aku bergeser ke dapur lalu mengambil piring dan sendok kemudian membuka pintu penghubung ke kos dan masuk ke kamarku. Rasa lapar begitu menderu hingga kuputuskan menyantap makan malamku sesegera mungkin. Perpaduan nasi porsi jumbo, telur dadar, sambal tomat dan lalapan daun kemangi, kusantap dengan lahap hingga licin tandas. Memang nikmatnya tak terkira menikmati makanan saat sedang lapar-laparnya. Saat kembali ke dapur untuk mencuci piring di wastafel, kulirik ke ruang utama yang masih tidak ada tanda kehidupan. Hanya bunyi detak jarum jam yang terdengar dan sesekali suara deru kendaraan melintasi jalan di depan rumah.
Selesai mencuci, kukeringkan tanganku di handuk yang tergantung di pegangan kulkas dua pintu di sebelah meja dapur. Mataku tertumbuk pada secarik kertas yang menempel pada magnet di pintu kulkas. Tertulis disitu :
Feli, Tante cari kamu ngga ada.Mbok Jum Tante ajak beres2 ke kos Timoho ya.
Besok juga pulang. Jaga rumah baik-baik.
Note : awas dilarang bawa cowok masuk (terutama kalau jelek)
(Tante)
"Kalau ganteng boleh dong, Tan.," celetukku gemas, bercampur ngeri.
Waduh..mati aku. Bener-bener sendirian malam ini.
Buru-buru aku berlari masuk ke kamar. Namun baru saja tubuhku menyentuh tempat tidur, aku teringat kalau Fay sempat menitipkan kunci kamarnya kepadaku dan mempersilahkan jika hendak menonton TV dan tidur di kamarnya. Yes, lumayan ada hiburan!
Tetapi tak semenyenangkan seperti bayanganku. Semula kukira aku bisa menikmati film yang menarik dan begadang sampai pagi namun acara demi acara di saluran yang tertayang tak ada satu pun yang menarik. Bisa dibilang meski pandanganku tertuju ke layar TV tetapi pikiranku melayang kemana-mana.
Tiba-tiba,
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Waduh, bunyi lagi tuh telpon. Pasti orang itu lagi!
Kusembunyikan kepalaku di bawah bantal. Kali ini aku bertekad, tidak akan keluar menjawab telepon itu. Toh, tidak ada siapa-siapa di kos. Mau bunyi sampai besok pun aku tak akan menjawabnya.
Sempat hening sejenak namun kemudian kembali bunyi dering telepon itu terdengar meneror telinga.
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Masa bodo! Bunyi aja terus.
Dengan sikap masa bodoh aku meneruskan menonton televisi, tak kupedulikan lagi suara telepon yang terus menerus berdering.
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Klek !!
Terdengar suara gagang telepon diangkat. Jantungku seakan berhenti sesaat.
Hah, siapa itu? Mbok Jum ? Tante Santi?
Segera kukecilkan volume televisi dan memasang telinga. Lamat-lamat terdengar suara perempuan berbicara. Jelas bukan suara Mbok Jum atau Tante Santi. Lalu siapa?
Ia terus berbicara namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya. Pikiranku berkecamuk. Bagian-bagian adegan film horor yang pernah kutonton terlintas silih berganti. Bulu kudukku meremang berdiri dalam ketakutan yang teramat sangat.
Kusembunyikan seluruh tubuh dan kepalaku kedalam selimut milik Fay. Kedua telinga kusumpal dengan jari dan berbaring meringkuk. Kubaca doa sebisanya. Dan suara perempuan yang berbicara di telepon itu masih terdengar biarpun lirih.
Beberapa saat kemudian suara perempuan itu tak terdengar lagi, hening. Aku menahan nafas, menajamkan pendengaran dan menanti. Tetap hening di luar.
Baru saja hendak menghembuskan nafas lega, terdengar suara lain. Suara tangis merintih dan menyayat. Membuatku semakin meringkuk menggigil ketakutan.
Namun entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba hatiku terdorong untuk mencari tahu sumber suara itu. Perlahan kukeluarkan tubuh dari balik selimut kemudian mengendap turun dari tempat tidur tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Kudekati jendela yang terletak di samping pintu kamar lalu kugeser sedikit sekali kain gorden yang tertutup untuk mengintip keluar. Dan..!
Tiba-tiba wajah seorang perempuan muncul di balik kaca jendela. Tepat di titik dimana aku mengintip!
Aku melompat ke belakang seketika. Jantungku berdebar kencang, sementara lututku terasa lemas tak bertenaga. Wajah cantik itu, terlihat pucat dengan raut memelas. Aku pernah melihatnya.
Mbak Lastri!
Tok.. Tok.. Tok..!
Kini terdengar bunyi ketukan di pintu kamar Fay di mana aku berada.
"Tolong.. Tolong..," rintih perempuan itu dari luar kamar di antara sesenggukan tangisnya.
Aku terduduk ketakutan di sudut kamar. Nyaliku lenyap seketika. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan.
Tok.. Tok.. Tok..!
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Bunyi ketukan di pintu terdengar semakin keras ditingkahi suara telepon yang berdering tanpa henti.
"Tolong..tolong.." Tiba-tiba suara itu terdengar jelas dan dekat.
Semakin dekat!
Bahkan kini dekat sekali di telingaku.
Apaa…?!
Kugerakkan perlahan jari tengah dan telunjuk di wajahku, membentuk sedikit celah untuk mengintip.
"Toloong…" Ia merintih. Wajah pucat itu! Hanya berjarak sejengkal dari wajahku. Kemudian pandanganku gelap.