Yogyakarta, awal sembilan puluhan.
And I'll be your lover, your lover
And I'll be your best friend, oh I'll be your friend
I'll be there when you're needing me, when you need me
I'll be your everything, your everything
I'll be your everything
I'll be all that you want and all that you need
I'll be your everything
I'll give you all that I have, my love, my life, and me
I'll be your everything
Pagi itu, suara lembut Tommy Page terdengar mengalun sendu dari speaker radio kecil yang kuletakkan di atas meja tak jauh dariku yang tengah duduk bersimpuh di lantai menyetrika baju-bajuku yang telah menumpuk beberapa hari belum terjamah.
Kutunggu sampai Refrein lagi dan "berduet" dengannya,
"I'll be your everything
I'll be all that you want and all that you need
I'll be your everything
I'll give you all that I have, my love, my life, and me
I'll be your everything.."
"Lastrii..! Wooiii, berisik kali kau pagi-pagi gini!" Wajah kusut Mbak Tio menyembul di ambang pintu kamarnya. Kaos abu-abu penuh noda bekas coretan tinta Rapido—"seragam kebangsaan" yang selalu ia pakai ketika begadang menggambar proyek bangunan—menambah kekusutannya.
"Eh, sorry, Mbak. Memang kedengeran ya?" Kusunggingkan senyum termanisku kepadanya.
Seluruh penghuni kos di sini tidak ada yang berani macam-macam kepada gadis bernama Tio ini. Mahasiswi semester sepuluh jurusan Arsitektur—asli Medan—penghuni senior di kos Tante Santi yang kuhuni setahun belakangan.
"Galak orangnya," kata Kristin padaku ketika awal aku menghuni kos ini. Sebelumnya aku kos tiga tahun di Mrican tapi terpaksa ikut pindah seiring kepindahan kampus jurusanku—Ekonomi Manajemen—ke dekat kos ini.
Dengan perawakan tubuh tinggi besar, intonasi bicaranya yang kencang dan belum lagi rambutnya yang selalu dipotong pendek mendekati model rambut pria, kurasa sebagian besar orang yang pertama kali bertemu dengannya juga akan berpendapat demikian. Namun kesan tersebut akan berubah jika kita telah mengenalnya. Dapat diibaratkan buah durian, keras dan tajam di luar tetapi lembut dan manis di dalamnya.
Memang ia suka bicara dengan nada tinggi dan terkesan tidak sabaran tapi sebenarnya ia baik sekali pada penghuni kos lainnya, terlebih kepadaku. Kami cukup klop dalam banyak hal, mungkin karena selisih umurnya hanya setahun lebih tua dariku. Tak jarang ia mentraktirku makan malam jika honor pekerjaan sampingan menggambar proyeknya cair. Sesekali kami berbincang sampai larut malam di kamarnya, terutama tentang para cowok ganteng yang sedang naik daun di pemberitaan atau acara-acara TV favorit kami.
"Ah, kau ini! Ya kedengaran lah. Mana baru tidur pun aku."
"Bagus pun suara kau! Tapi lebih bagus lagi kalau tak nyanyi." Ia meledek dilanjutkan tawa terbahak-bahaknya.
"Ha..ha..haa.." Aku tertawa hambar. Menyanyi memang bukanlah sesuatu hal yang bisa kubanggakan.
"Mbak, hari ini nggak ada bimbingan?" Sama sepertiku, Mbak Tio juga sedang menyusun skripsi.
"Nggak ada, dosen pembimbingku lagi turun ngontrol KKN," jawabnya sambil berjalan ke dapur. "Kau mau bikin kopi nggak, Las?"
Aku menggeleng. "Nggak, Mbak."
"Sayang ya, tinggal dikit kan, Mbak?"
"Heh, apanya? Masih kok kopinya.."
"Bukan. Itu lho skripsinya."
"Ooh. Kau pun, ngomong kau sambung-sambung..," gerutunya dari balik dinding dapur yang berbatasan dengan meja tempatku menyetrika.
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Tiba-tiba telepon di atas meja ruangan tengah berbunyi nyaring.
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Kembali ia berdering.
Tanggung, dikit lagi nyetrikanya.
Paling juga nyariin si Erin.
Kriing…!
"Laas. Angkatlah dulu! Tanggung nih," teriak Mbak Tio.
"Iya bentar, Mbak. Aku juga tanggung." Akhirnya aku bangkit dengan enggan setelah mencabut kabel setrikaan. "Haloo.."
"Halo, Mbak. Erin nya ada?" Seorang pria bertanya di seberang.
Tuh kaan.
Aku mengenali suara pria ini. "Gustav ya? Bentar…"
"Erin.. Eriiinn! Telpoon!" Aku berteriak ke arah kamar deretan ketiga dari dapur, tepat sejajar dengan di mana meja telepon berada.
"Bentaar!" teriak seseorang dari dalam kamar.
Sekejap kemudian, keluarlah seorang gadis cantik berwajah Indo. Ia melangkah cepat mengambil gagang telepon yang kuletakkan di meja. "Terima kasih, Mbak."
Erin, kami kadang menyebutnya "Si Bungsu". Selain karena paling yunior di kos—paling muda karena baru semester dua—sikapnya juga paling ceria dan manja, mudah akrab dengan orang lain. Tak butuh waktu lama bagi kami satu kos ini jatuh hati padanya. Ya itu, menganggapnya adik bungsu kami.
Ω Ψ Ω
"Sekilas mirip Phoebe Cates ya?" ucap Yanto—teman kuliahku—sambil melongo saat sedang bertamu di teras kos ketika Erin menyapaku sebelum masuk ke dalam rumah.
"Hehe. Cantik ya? Papanya bule," jawabku setelah Erin berlalu.
"Dah punya pacar belum?"
Pertanyaan standar dari kaum pria. Huh!
Aku menjawab cepat, "Banyak."
Yanto nyengir sembari menggaruk kepala.
"Haha.. Penonton kecewa."
Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengan gadis itu beberapa bulan yang lalu. Malam sudah larut sekali ketika aku pulang ke kos dari mengumpulkan bahan skripsi seharian. Kulihat sosok gadis yang tak kukenal sedang berdiri menelepon. Saat kudekati, dia refleks berbalik lalu setengah melompat terkejut melihatku. "Kaget ya?" tanyaku.
Ia terdiam sesaat, mungkin ingin memastikan dengan manusia atau hantu ia berbicara. "Di-dikit, Mbak."
Aku tersenyum. Pasti anak baru.
"Itu telpon nyari siapa?"
"Katanya sih nyari Lastri, Mbak. Maaf, Mbak kos di sini juga?"
"Aku Lastri, kamarku yang ujung itu." Aku menunjuk kamarku yang berada paling ujung.
"Oh, kebetulan banget. Ini Mbak, silahkan." Ia tersenyum dan menyorongkan gagang telepon padaku.
Rupanya panggilan telepon itu dari Mas Leon, tunanganku. Ia ingin memastikan bahwa aku sudah sampai di kos karena tadi tidak sempat mengantarku pulang karena ada pekerjaan di proyek yang tidak bisa ditinggalkan. Oh ya, kami sudah merencanakan pernikahan kami, nanti setelah aku menyelesaikan studi.
Ω Ψ Ω
Aku kembali ke meja setrikaan untuk mengambil baju yang sudah rapi dan membawanya ke kamarku. Ketika melangkah keluar kembali, Mbak Tio sudah duduk manis di depan kamarnya menyeruput kopi.
"Nih, Las, aku bikin sekalian teh buatmu. Sayang kali aku masak air banyak tadi."
"Makasih, Mbak. Tumben banget, ujan deres ntar kayanya nih." Kuambil gelas berisi teh yang ia letakkan di kursi plastik di hadapan kami.
"Bajigur iik, asem tenan kowe! Bagus dah kubikinin." Ia mengumpat. Logat Bataknya membuat kalimat umpatan dalam bahasa Jawa barusan terdengar lucu.
Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol dan bercanda, tiba-tiba terdengar suara bel pintu berbunyi beberapa kali. Setiap orang yang bertamu atau ada keperluan dengan penghuni kos harus menekan tombol bel yang menempel di pilar pintu gerbang yang selalu terkunci. ��Mbak Lastri, ada Mas Leon." Terdengar suara Mbok Jum memanggil dari dalam rumah utama.
Mas Leon? Udah hampir jam sepuluh kok kesini?