Dari kesemuanya itu, Lia dan Fay yang paling dekat denganku karena usia kami sepantaran. Mereka yang dengan sukarela membantuku merapikan barang-barang di kamarku saat hari pindahan beberapa hari setelah kedatanganku pertama kali di rumah Tante Santi ini. Dari cerita mereka berdua, aku jadi tahu bahwa Tante Santi tinggal dan mengelola kos ini dibantu Mbok Jum yang sudah lama bekerja padanya. Untuk urusan mencuci pakaian, ada tukang cuci yang beberapa hari sekali datang namun tidak menginap seperti Mbok Jum. Tidak termasuk cucian anak kos tentunya.
"Tante Santi tuh udah lama ditinggal mati suaminya, anaknya ada dua. Sudah berkeluarga semua, tinggal di Surabaya dan Medan," jelas Lia ketika ia dan Fay tengah mengobrol di kamarku. "Tapi dia udah tenang hidupnya, warisan suaminya banyak. Makanya dia bisa punya banyak kos-kosan. Ada empat lagi selain di sini, belum lagi ruko yang dikontrakin."
"Memangnya Mama kamu nggak pernah cerita tentang Tante Santi?" Fay ikut nimbrung.
"Enggak tuh, Mama cuma bilang ada temen baik Mama yang punya kos-kosan di daerah sini." Aku tak ingin mereka bertanya lebih jauh hubungan Mama dengan Tante Santi, apalagi alasan sebenarnya mengapa aku pindah kesini. Meskipun aku yakin mereka tak akan menjauhi atau mengucilkanku jika mereka mengetahui hal sebenarnya, tetap saja aku merasa lebih nyaman jika hal itu cukup menjadi rahasiaku dan Tante Santi saja.
"Pokoknya kamu bakal betah deh di sini. Tante orangnya nggak bawel, yang penting jam sepuluh malem udah nggak boleh ada tamu. Jam sebelas kalau malem minggu," lanjut Fay.
"Iya, Fel, ini aja kita dikasih duplikat kunci gerbang sama pintu depan kan. Biar kalau kita pulang pacaran kemaleman masih bisa masuk, kaya si Fay tuh. Iya kan, Fay. Hahaha..." Lia tertawa terbahak-bahak.
"Enak aja. Kamu tuh yang suka nyelundupin Mas-mu ke kamar," tangkis Fay bengis. Tiba-tiba sebuah bantal melayang ke wajahnya dilanjutkan bantal gulingku yang innocent ikut mendarat di tubuhnya.
"Sssstt! Gila Lu ya! Ngomong pake Toa sekalian." Lia berkelebat menutup wajah Fay dengan guling yang telah ia lemparkan. Fay berteriak dan meronta di antara gelak tawa mereka berdua.
Wah, sakit nih mereka berdua.
"Oh ya, ada satu yang perlu kamu tahu. Kamu lihat di meja deket pintu dapur ada telepon kan? Nah, udah jadi tugas yang kamarnya terdekat yang ngangkat telepon." Mereka saling tersenyum penuh arti.
"Lho, emang ada aturan gitu ya?" tanyaku bingung.
"Ada, dong. Apalagi kamu anak baru. Hihihi.."
"Nggak gitu juga sih. Maksudnya kalau telepon bunyi, kamarmu kan paling deket, jadi paling keberisikan. Mau nggak mau kamu mesti angkat," jelas Fay lagi sebelum mereka kembali ke kamar masing-masing. Aku hanya bisa manggut-manggut pasrah.
Ω Ψ Ω
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Aku hampir terjatuh dari tempat tidur oleh kencangnya bunyi suara yang barusan kudengar. Ternyata benar ucapan Lia dan Fay beberapa hari yang lalu. Sekilas kulirik jam yang tergantung di dinding kamarku.
Busyet, jam dua belas! Siapa sih malem malem gini nelpon..?
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Kusembunyikan kepalaku di bawah bantal. Berharap Lia, Fay atau siapa saja anak kos yang lain mau mengangkat telepon itu. Syukurlah setelah beberapa deringan lagi, ia berhenti. Kembali keheningan malam yang terdengar. Fiuuuhhh...
Namun belum sempat aku menarik selimut untuk kembali tidur, tiba-tiba suara menyebalkan itu kembali terdengar.
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Damn! Bunyi lagi…
Akhirnya dengan malas-malasan aku turun dari tempat tidur, membuka kunci pintu dan melangkah keluar kamar. Suasana sepi sekali di luar. Apakah sama sekali tidak ada yang mendengar deringan telepon seberisik ini selain aku?
Langsung kuangkat gagang telepon sialan itu. "Halo..."
Namun tak ada yang menjawab, hanya keheningan yang terdengar dari speaker telepon di telingaku. "Haloo..!" Kutinggikan suaraku kesal. Dan masih tanpa jawaban. Apakah mungkin ia hendak bermain-main atau mengerjaiku saja? Atau sambungan telepon yang rusak? Entahlah.
"Haloo..! Mau cari siapa ya?! Jangan main-main deh!" Kututup telepon itu dengan kesal lalu kembali meneruskan tidurku.
Ω Ψ Ω
"Fay, semalem denger nggak ada yang nelpon tengah malem?" tanyaku ketika kami tengah duduk-duduk di depan kamar mengantri giliran memakai kamar mandi.
Fay menatapku heran. "Emang ada telpon?"
"Kalau nggak ada, aku nggak nanya kali, Fay?"
"Nggak, nggak denger. Aku teler sih semalem. Kemaren seharian habis ngerjain tugas. Nggak tahu kalau si Lia tuh.." Ia menunjuk Lia dengan dagunya.
"Jangan tanya aku, aku lagi mimpi dinner sama Ari Sihasale," jawab Lia sekenanya. Ia duduk mengangkang di ambang pintu kamarnya sambil jari tangannya mengorek hidung alias ngupil.
"Liaaaa! Jorookk!" teriak kami hampir berbarengan.
"Halah, kaya pada nggak pernah aja." Ia menjawab santai.
Fay segera menimpuknya dengan sehelai handuk yang ia ambil dari ember cucian kotor di depan kamar Lia. "Nih, sekalian kalau mau jorok!"
Segera saja mereka berdua terlibat kejar-kejaran layaknya kartun Tom & Jerry, diiringi tawa cekikikan anak-anak kos lainnya yang turut menonton. Mbok Jum sampai melongokkan kepala keheranan dari dalam dapur.
"Yakin nih nggak pada denger telepon?" tanyaku setelah kerusuhan itu reda.
Mereka kompak menggeleng. "Kowe ngimpi mesti iki…ngelindur."
Iya kali. Atau cuma kerjaan orang iseng. Ah, sudahlah.
Ω Ψ Ω
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Malam ini, telepon itu kembali berdering. Astaga!
"Haloo..," sapaku ketus.
"Halo, selamat malam." Kali ini terdengar jawaban dari seberang sana, suara berat seorang pria.
"Maaf, mau bicara dengan siapa ya?" kejarku.
"Hhhh... Lastri ada... hhh?" Ia bertanya dengan desahan berat.
"Lastri..? Lastri siapa ya? Kayanya nggak ada yang namanya Lastri di sini." Aku memang tak pernah mendengar nama itu selama aku di sini.
"Hhhh... Lastri ada... hhh?" Pria itu mengulang pertanyaannya, dengan intonasi persis sama. Berulang-ulang!
Kesabaranku pun habis. "Maaf Pak, Mas! Di sini nggak ada yang namanya Lastri!"
Tuuuttttt...
Sambungan telepon terputus seketika.
"Sakit..!" makiku geram.
Ω Ψ Ω
Kriing...! Kriing…! Kriing…!
Ini tengah malam ketiga berturut-turut aku mendengar dering telepon itu. Beberapa hari ini aku memang sangat sibuk dengan urusan kampus dan baru pulang ke kos selalu menjelang larut malam. Membuatku lupa hendak bertanya pada Fay dan Lia apakah ada penghuni kos yang bernama Lastri.
"Halo..." Sudah kuduga pasti pria kemarin itu yang kembali menelepon.
"Halo, selamat malam," balasnya lagi.
"Malam, Pak. Bapak yang kemaren cari Lastri ya?" tanyaku cepat.
"Hhhh... Lastri ada... Hhh?"
"Maaf, Pak. Lastri yang mana ya, Pak? Mungkin Bapak salah sambung?"
"Hhhh... Lastri ada... Hhh?"
Aneh banget nih orang, udah ganggu, nanya diulang-ulang pula!