Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 12 - Sorry

Chapter 12 - Sorry

Pratinjau : "Nggak lucu, lo tau gue nggak punya cewek. Gue serius"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah 1 bulan Jani dan Dana menjalin hubungan yang mereka percaya sebagai komitmen. Mereka masih tinggal dalam satu atap. Mereka menjalani kehidupan dengan bahagia. Setiap hari Jani akan bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Sore hari dia akan menunggu Dana pulang kerja. Kalau sedang lembur, Jani akan senang hati membawakan makan malam untuk Dana ke green trees. Ya, memang semua karyawan Dana sudah mengenal Jani. Karena sudah beberapa kali mengunjungi Dana hanya untuk mengantarkan makanan yang dia buat. Dana tentu saja senang. Hidupnya kembali ada yang memperhatikan. Namun, Jani berfikir kembali. Dia tidak ingin memiliki hubungan "tinggal satu atap tanpa ikatan yang sah." Apapun orang menyebutnya, ya… Jani sedang merasakannya. Dia mulai sering merasa diperhatikan atau bahkan digunjingkan karyawan cafe karena satu rumah dengan orang yang bukan suaminya.

Dana pulang pukul 18.30, tepat saat Jani sedang bersiap untuk berbelanja ke supermarket. "Mau kemana?" tanya Dana saat melihat Jani sudah bersiap dengan tasnya.

"Mau belanja Mas ke supermarket bawah, saya udah masak tadi. Kalau Mas sudah lapar langsung makan aja," jawab Jani.

"Saya antar?" Dana menawarkan.

"Nggak usah Mas, saya bisa sendiri kok. Nggak enak juga dilihat orang kita tinggal berdua disini," Jani mencoba meyakinkan Dana.

"Nggak enak? Nggak enak sama siapa? Kita hidup di kota dan ini apartemen saya, saya bebas mau bawa siapa saja kesini," jawab Dana sedikit emosi mendengar penyataan Jani.

"Bukan gitu Mas, cuma saya ngrasa… yahh you know Mas saya tidak pernah tinggal bersama lawan jenis seperti ini, saya cuma… takut dan nggak nyaman," Jani menjelaskan sambil terus menatap mata Dana.

Dana berkedip sekali. Tubuhnya kaku. Dia bahkan sudah mencoba menyelami mata Jani. Tapi tidak ada kebohongan disana. Jani memang terlihat tidak nyaman dan matanya menyorotkan kekhawatiran akan sesuatu. Kekhawatiran tersebut berhasil menular pada Dana, hanya berbeda hal saja. Dana mulai kepikiran banyak kemungkinan yang mungkin dapat merampas kebahagiaannya. Tidak lagi, Tuhan.

****

Laki-laki itu melihat wanita yang sangat dirindukannya. Dia berjalan mendekat dan berhenti di rak bagian sabun. Wanita itu sepertinya belum sadar bahwa disampingnya ada orang yang menggilainya. Rangga terus memperhatikan Jani, sampai dahinya berkerut karena melihat Jani mengambil sabun khusus pria dan memasukkan ke dalam keranjang belanjaan. "Ah, mungkin untuk papa atau kakaknya," batin Rangga.

Rangga kembali mengikuti Jani dari belakang. Dengan pelan dia berjalan semakin mendekat dan menutup kedua mata Jani dengan tangannya.

"Aduh ini siapa, sih?" Tanya Jani kesal karena merasa kaget. Rangga Masih saja diam dan tersenyum. "Mas Dana ya?" kembali Jani menebak sambil tersenyum. "Saya tau Mas rindu tapi jangan disini kalau mau minta pelukan dari saya," Jani masih berbicara.

Kedua tangan Rangga pelan terlepas dari mata Jani. Hatinya seperti dilempar bongkahan es balok. Hanya seperti ini saja sudah membuat batinnya hampa. "Ini gue, Jan," tubuhnya masih kaku.

"Rangga?! kok lo bisa ada disini?" Jani melotot karena merasa lebih kaget lagi sekarang.

Sungguh tidak terpikirkan olehnya akan bertemu dengan Rangga di supermarket tersebut. Seharusnya dirinya sadar kalau kemungkinan bertemu dengan orang yang dia kenal mungkin saja terjadi. Kalau sampai Rangga bertanya tentang hal yang menyangkut dia dan apartemen bagaimana?

"Ini supermarket, gue mau beli sesuatu disini." Rangga tersenyum hangat. Dirinya rindu sekali dengan Jani. Gadis sederhana yang begitu nampak memukau dimatanya, meskipun sudah lama mereka berpisah. Bukan. Bukan Jani. Tapi dirinya yang memilih meninggalkan gadis didepannya itu.

"Hahaha iya ya kok gue bego, ini kan supermarket hehehe," Jani tertawa sumbang. Jantungnya sudah kebat-kebit takut kalau Rangga curiga padanya.

Entah apa yang membuat Rangga mengajak Jani ke café depan apartemen setelah bertemu dengan gadis itu di supermarket. Dia hanya sedang rindu.

"Lo di apartemen siapa, Ga?" Jani bertanya penasaran. Bodoh! Kenapa bertanya apartemen yang memungkinkan Rangga akan bertanya mengenai hal yang berbau apartemen padanya. Namun sudah terlanjur Jani bertanya dan satu hal yang menjadi kekhawatiran Jani. Dirinya tidak pandai berbohong.

"Apartemen gue, Jan." Rangga menjawab enteng kemudian meraih gelas berisi es kopi miliknya. Meminum beberapa teguk kemudian fokus kembali dengan gadis yang sudah sangat ingin dirinya peluk kembali.

"Lo pindah sini?"

"Iyaa."

"Sejak kapan?"

"Baru kemarin malam sih."

"Oh gitu ya," Jani bingung sendiri dengan sikap Rangga. Jani merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Rangga. Apalagi dengan jawaban sekenanya seperti itu. Semakin membuat Jani gugup.

"Lo tinggal disini?" pertanyaan Rangga sukses membuat Jani susah untuk bersikap normal.

"Eng.. Enggak kok, Ga." Gagal. Jani tergagap dengan pertanyaan simple dari Rangga. "Gue dari jalan-jalan pengen lihat-lihat apartemen sini barangkali besok ada rezeki, habis ini mau pulang tadi mampir ke supermarket sebentar," Rangga memperhatikan sikap Jani yang sedikit menggaruk sudut kepala kanannya. Jani menjawab tanpa mampu melihat mata Rangga.

Rangga tahu Jani berbohong. Dirinya masih sangat hafal kebiasaan Jani ketika berbohong. Jani sangat tidak pandai berbohong. Tidak seperti dirinya yang sudah sangat lihai berbohong. Terbukti dengan keberhasilannya berselingkuh dari Jani.

"I got you," batin Rangga menyeringai. "Lo sibuk apa, Jan? chat gue jarang lo bales, telepon jarang di angkat. Sekalinya bales chat sekenanya. Sekalinya angkat telepon juga buru-buru lo tutup, entah apa alesan lo," Rangga memprotes.

"Gue sibuk di kantor, so sorry. Lagipula chat lo kenapa jadi perhatian banget ke gue, sih? Entar cewek lo marah lagi."

"Nggak lucu, lo tau gue nggak punya cewek. Gue serius."

"Jangan kebanyakan bercanda begitu, Ga. Gue bilang ini juga serius pake banget," Jani ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan Rangga. Dia sudah mulai gerah dengan sikap Rangga yang tiba-tiba bertanya hal konyol.

"It's up to you, lo nggak tidur di apartemen sini kan? Gue antar balik," Rangga berjalan lebih dulu kemudian membayar ke kasir.

Jani terhenyak. "Mati gue," batinnya. Jani merutuki dirinya sendiri kenapa bisa sebodoh ini.

Tiba di rumahnya, Jani segera mengabari Dana bahwa dia tidak pulang. Dia tidak ingin membuat Dana khawatir. Besok hari sabtu dan Jani untungnya libur. Jadi, sekalian saja alasan ingin menjenguk papanya. Belum lama jadian tapi Jani sudah berani berbohong pada Dana. Sungguh, sebenarnya Jani merasa bersalah berbohong pada pria sebaik Dana. Tapi apa boleh buat? Daripada dirinya ketahuan tinggal satu apartemen dengan seorang pria yang bukan suaminya? Memang benar kata orang bahwa sekali berbohong akan menciptakan kebohongan yang lainnya. Dan Jani sedang melakukannya sekarang.

"Maaf Mas." Jani menghela nafas lelah.

Jani kemudian merebahkan tubuhnya yang sudah sangat lelah ke ranjang kesayangannya. Rasanya rindu karena sangat jarang sekali dirinya tidur di ranjangnya itu. Menarik selimut sebatas dada dan mencoba memejamkan mata. Berharap Dana tidak tahu mengenai kebohongannya. Semoga saja.