Pratinjau : Hari-hari Dana yang biasanya hanya abu-abu sekarang lebih berwarna. Dia juga merasa dibutuhkan sebagai laki-laki.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Jani POV
Jika ada yang tanya ke gue kenapa sampai sekarang gue masih memilih bertahan dengan hubungan yang nggak tentu arahnya kemana, maka dengan wajah polos gue akan menjawab "gue terlanjur cinta sama Mas Dana, that's it!" Ketika gue pulang kerja pukul 7 malam, terlihat sepi dalam apartemen Mas Dana. Gue bergegas masuk kamar dan segera membersihkan diri. Setelah selesai, gue beranjak ke dapur untuk membuat makan malam sederhana. ikan goreng marinasi bumbu kuning dan sayur lodeh. Baru selesai menggoreng ikan tiba-tiba terdengar bel dari puntu apartemen. Gue seketika berhenti dari aktivitas mengiris terong. Antara takut mau buka pintu tapi penasaran siapa yang bertamu. Tidak mungkin Mas Dana karena Mas Dana kan yang punya apartemen ini. Pasti hafal dengan passwordnya, kan?
Gue berjalan kearah pintu, bodohnya gue nggak lihat dulu dari peephole. Main buka pintu aja, pokoknya bego banget gue saat itu yang berimbas buruk buat gue. Rangga berdiri di depan pintu apartemen. Seketika gue mematung. Mampus. Udah ketangkap basah kalau gue di apartemen ini.
"Jani?!" Rangga tersenyum manis. "Bener dugaan gue, sorry tadi gue di belakang lo dan lihat lo masuk ke sini. Buat mastiin kalau beneran lo makanya gue kesini sekarang," Rangga masih memasang tampang ramahnya.
Author POV
Jani memaksakan senyumnya. "Iya ini gue. Udah kan? Oh iya, tadi sore gue udah transfer ke rekening lo, ya. Makasih udah pinjemin gue duit waktu itu," Jani tersenyum.
"Nggak usah dibalikin nggak apa-apa kali, Jan. santai aja sama gue. Oh iya lo pakai celemek gini lagi masak?" Rangga bertanya setelah melihat Jani memakai celemek.
"Oh iya gue lagi masak," Jani tersenyum garing.
Rangga semakin penasaran, dia mencium bau tidak beres disini karena Jani bahkan sudah berganti pakaian dan juga wajahnya tampak segar seperti sudah mandi atau mungkin hanya cuci muka, entahlah Rangga tidak paham.
"Lo sekarang tinggal disini? Kenapa nggak bilang coba?" Rangga nampak sedikit melihat ke dalam apartemen.
Jani mulai risih. "Iya gue tinggal disini. Gue balik ke dalam dulu ya, takut ikan gue gosong. Bye Rangga!" tanpa menunggu jawaban Rangga, Jani segera masuk kembali ke apartemen dan menutup pintu. Dia mulai khawatir sekarang. Bagaimana kalau Rangga tahu kalau dia satu atap dengan Dana? Jani menggelengkan kepalanya sambil berjalan ke dapur untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda karena kehadiran Rangga yang tiba-tiba.
Setelah semua selesai, Jani segera menata semua hidangannya di meja makan. Dia menatap puas hasil karyanya hari ini. Dia menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah 9 malam. Dana belum juga pulang. Jani mengambil ponselnya dari dalam kamar. Tidak ada satupun notifikasi pesan dari Dana. Apa pria itu lupa mengabarinya saking sibuknya? Jani mengendikkan bahu. Dia berpikir mungkin Dana sedang banyak pekerjaan atau apapun itu Jani percaya sepenuhnya pada Dana.
Jani berjalan ke arah sofa depan TV. Dia membawa novel yang belum sempat dia selesaikan. Sambil menunggu Dana pulang, dia akan membacanya. Tidak lupa dia membawa cemilan berupa biskuit kelapa kesukaannya. Entah sudah berapa jam Jani menunggu sambil membaca novel, karena tiba-tiba matanya terasa berat. Dia didera rasa kantuk yang amat sangat. Posisi membacanya yang tidur terlentang membuatnya semakin merasa ingin memejamkan mata.
Pukul 1 dini hari, Dana membuka pintu apartemen. Lampu apartemen masih menyala terang. Kemudian dia berjalan masuk setelah melepas sepatunya terlebih dahulu. Ketika melewati ruang TV langkahnya terhenti. Dia menghela nafas lelah. Berjalan dengan hati-hati supaya tidak membangunkan Jani. Gadis itu nampak meringkuk seperti bayi. Dana berjongkok supaya dapat melihat wajah Jani dari dekat. Dana mengambil novel John Green yang sedang dipeluk oleh Jani sepelan mungkin. Menaruhnya dia atas meja kemudian kembali fokus pada wajah manis Jani. Ada gelenyar aneh ketika dia memberanikan diri menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi dahi gadis itu.
"Maafin saya," ucap Dana lebih seperti berbisik. Dia kemudian menggendong Jani ke kamar. Dana sempat melirik makanan yang terhidang di atas meja makan. Tidak tersentuh sama sekali. Dia semakin dilanda rasa bersalah.
Dana menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Jani, gadis itu membuatnya bertambah bingung. Pelan namun pasti, Dana tidak memungkiri bahwa Jani telah sedikit demi sedikit mengisi hati dan pikirannya. Hari-hari Dana yang biasanya hanya abu-abu sekarang lebih berwarna. Dia juga merasa dibutuhkan sebagai laki-laki. Dana menjambak rambutnya frustasi. Masa lalunya datang. Dana harus bagaimana?
Reyna tiba-tiba kembali ke kotanya dengan sejuta maaf yang terucap dari bibir wanita itu. Dana seperti kehilangan keyakinan dalam dirinya kala menatap senyum Reyna di kala jumpa pertama mereka setelah sekian tahun. Degupan jantungnya lambat laun mulai kembali terasa. Tidak sehebat dulu tapi tidak juga hilang. Dana memaafkan Reyna. Jauh sebelum wanita itu datang kembali. Banyak sekali kenangan akan Reyna yang tidak sanggup dia tinggalkan. Banyak sekali kenangan yang sama sekali tidak bisa dia hapuskan. Dana seperti tidak memiliki arah lagi kala menatap manik mata indah itu.
Dia merasa sangat jahat kepada Jani. Belum lama dia mengucapkan maaf dan berjanji dalam hati akan berusaha mencintai Jani, namun hanya dengan satu senyuman dan sapaan lembut Reyna, segala niatnya tiba-tiba mulai memudar begitu saja. Sesulit itu dia move on dari seorang Reyna. Pesona wanita itu masih sama. Mampu menghipnotis dirinya.
Ketika hendak berjalan ke arah ranjang untuk merebahkan tubuhnya yang lelah, ponsel milik Dana berbunyi nyaring sampai membuat sang pemilik buru-buru mengambil ponsel yang berada di atas meja. Melihat sang penelepon membuat senyumnya terbit.
"Halo?" sapa Dana.
"Hai Dan, udah sampai? Kok nggak ngabarin sih! Kebiasaan banget!" Wanita di seberang telepon berdecak sebal, yang mana malah membuat Dana terkekeh.
"Iya maaf kelupaan tadi, gimana apartemennya nyaman nggak?" Dana bertanya pada wanita yang masih menjadi ratu di hatinya.
"Nyaman sih, tapi…" Reyna menggantung kalimatnya.
"Tapi?"
"Lebih nyaman apartemen kamu yang dulu. Kamu masih tinggal disana?"
"Masih," Dana menjawab singkat karena tahu kemana tujuan pembicaraan mereka.
"Aku… Emmm aku boleh kesana? Aku kangen masak disana," kemudian Reyna terkekeh.
Dana terdiam. Suasana sedikit canggung.
"Ehm Dan, nggak apa-apa kalau nggak boleh, santai lho."
"Maaf, bukannya nggak boleh cuma nggak enak aja sama suami kamu kalau tahu," Dana menjawab setelah menghela nafas lelah.
"Oke," Reyna kemudian berpamitan untuk tidur dengan alasan lelah, padahal dirinya hanya berusaha menghindari suasana canggung yang tercipta karena dirinya.
Dana melemparkan ponselnya ke ranjang. Berjalan gontai kemudian menjatuhkan diri ke ranjangnya yang nyaman. Tiba-tiba saja dirinya teringat Jani yang tidak dia perbolehkan masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya ada alasan kenapa dirinya tidak ingin Jani masuk. Masih terdapat beberapa benda peninggalan Reyna meskipun mereka sudah putus. Dana masih enggan untuk menyingkirkan benda yang memiliki banyak kenangan, meskipun sebagian sudah dia singkirkan. Hanya saja dia sengaja menyisakan beberapa benda yang menjadi kesayangan Reyna seperti kamera polaroid, foto mereka ketika berlibur ke Italia, kata Reyna dia ingin kembali kesana suatu saat nanti bersama Dana dan juga beberapa baju favorit Reyna dalam lemarinya. Dana merasa sangat jahat pada Jani. Menyimpan benda yang dapat mengingatkan dirinya pada masa lalunya adalah hal bodoh yang dia lakukan.