Aku mengira malam itu adalah mimpi. Aku mengira malam itu seakan-akan hanya ilusi belaka. Ramai, mencekam, geram, semu bahkan mengurungku pada jeritan tak terduga. Aku terpukul oleh sebuah tangan yang terlempar tepat di pipi kananku.
Rasanya perih, panas hingga menyadarkanku untuk melihat sosok beberapa wajah-wajah yang baru saja kukenal. Akan tetapi, tamparan itu berasal dari wajah seorang pria yang paling kukenal. Dia sosok pria cinta pertamaku, dialah pria hebat yang selama ini aku bangga.
Ayah, kenapa dia berbuat demikian kepadaku? Ibuku menjerit keras sembari menarik baju belakangnya.
"Jangan sentuh anakku!!" jerit ibu di hadapanku yang sudah terbaring lemas.
Beberapa pria menunggu, wajah-wajah itu layaknya harimau liar yang akan memangsa target yang didapat.
"Ayo, ikut ayah! Kau harus ikut dengan ayah." Suara itu membuat diriku mati kutu. Tubuhku tertarik oleh energi yang sangat kuat.
Orang yang paling aku sayangi itu ternyata memaksa diriku untuk bekerja dengan orang-orang bengis tadi.
"Ayah, apa yang ayah lakukan padaku?!" jeritku lirih menatap mata ayah.
"Mehmed, hentikan semua ini! Emira butuh sekolah tinggi. Kau tidak boleh memaksa dia untuk melakukannya," berang ibunda membela diriku.
"Hei! Aku harus merebut kekuasaan bisnisku. Jadi, untuk meningkatkan bisnis kita. Hanya sebentar! Emira hanya butuh menjadi seorang pelayan di Kasino itu!" raung Mehmed dengan segala keringat paksanya.
Aku bahkan tak menjawab apa yang dikatakan oleh ayah lagi. Suaraku menjerit keras, menutup semua pendengaranku di kala sesak ini.
"Tiidaaakk!!!"
Suaraku mungkin agak lantang. Inilah aku mulai meronta-ronta saat sang ayah dan para pria mulai menyerangku. Aku mulai memasang gaya untuk menghalang mereka mendekati diriku.
"Yyyaaachh!!!"
Aku melayangkan bogem sekaligus tendangan memuncak ke arah pria-pria nakal itu.
Blam!
Ouch!
"Akh!"
Salah satu pria menjerit kesakitan akibat pukulan dariku.
Aku memang wanita tak bisa membalas dengan kata-kata. Namun, dengan balasan pukulan sudah cukup terjawab oleh mereka. Sang ayah seketika mundur dengan tampang cemas. Tapi, berhasil menangkapku dari belakang.
"Aaaaa!!" jeritku lantang.
Tubuhku meronta-ronta melawan dekapan ayah yang sangat erat.
Tiba-tiba saja, kulitku tersentuh oleh benda yang tajam, kecil dan lebih menyakitkan. Mataku mulai melihat remang-remang di antara kerumunan yang tadinya sempat terlawan. Tubuhku yang lemas ini bahkan tak bisa beranjak kembali.
Suntikan bius itu cukup memadai diriku dalam hitungan detik. Ibuku menangis saat ayah membopong tubuhku keluar dari kamarku.
"Hiks ... Aaaa!!"
"Tiidaaakk!"
"Aaaaa ...."
Maila memukul dadanya yang terasa sesak dan terpukul itu. Mafia gelap telah merebut segala dari keluarganya.
Untuk menaikkan pangkat agar mendapatkan gelar tinggi, pengorbanan Mehmed harus ditebus dengan perawan seorang gadis.
Segera ia beranjak lalu mengambil sebuah ponsel milikku yang terpampang di atas meja rias. Sebuah nomor bernama Dilan, Maila pun memanggil panggilan keluar.
["Dilan, tolong Bibi, Nak!"] Maila, ibuku menelepon sahabat setiaku.
("Ada apa, Bi?") jawab Dilan.
["Emira dibawa oleh ayahnya dan sekumpulan berandal nakal. Tolong ibu untuk menghentikan pamanmu itu. Dia harus kubawa pergi dari sini. Kalau tidak, Emira akan dijual secara paksa!"]
("Apa?! Baik, Bi. Aku akan segera meminta bantuan.") Dilan terpelangah.
Dilan, pemuda manis menaruh kembali ponsel keren ke dalam saku celananya. Tanpa menunggu, Dilan memanggil seluruh teman-teman yang ada di klub bela diri. Semua tampak cemas saat memperhatikan penjelasan Dilan.
"Emira dalam bahaya!" sebut Dilan.
"Ayo!"
"Apa kau membawa alat pelacak GPS?" tanya Dilan pada seorang pemuda yang dikenal pandai itu.
"Ada," ucap si pemuda tersebut.
"Nomor ayahnya, bukan?" tanya pemuda itu sembari membuka laptop khususnya.
"Iya. Ayo, cepat!" seru Dilan sembari menepuk bahu temannya itu.
"Iya, sebentar!"
Jari-jemarinya bermain keyboard dengan cekatan. Mata dan tangan saling beradu dan bermain pada layar. Titik temu pun terpampang jelas di layar.
"Di jalan Sudirman. Ayo!" ucap si pemuda mematikan komputer kecilnya.
Dilan dan kawan-kawan akhirnya berlari menuju motor-motor ninja. Sebagian dari mereka ini adalah geng motor.
Namun, masih dikatakan geng yang menaati peraturan lalu lintas.
Pengejaran pun terjadi di tengah-tengah perjalanan. Suara mobil saling beradu dengan sepeda motor yang saling menyalip jalanan. Mehmed menatap kesal pada serangan yang terjadi padanya.
Hingga ia pun memutuskan untuk melawan mereka satu-persatu. Akan tetapi, sebuah mobil melintas cepat dan tepat di hadapan mobil Mehmed.
Brak!
Tabrakan mobil pun terjadi, namun tak sempat terpental. Mehmed bersama rekan kehilangan posisi jalan.
"Dasar bodoh!" berang Mehmed pada bawahannya.
"Maafkan kami, Tuan."
Dilan pun menghentikan motornya bersama kawan-kawan yang masih sangat muda dan kuat itu.
"Paman, keluarlah!" pinta Dilan sembari mengetuk kaca jendela.
Mehmed tak kuasa menahan amarah. Ia pun menghadapi para pemuda bersama rekan-rekannya.
"Paman, maafkan aku."
Salah satu rekan Dilan memukul wajah Mehmed dengan kuat. Perlawanan pun terjadi tanpa basa-basi lagi.
Dilan dengan cepat menarik tubuh Emira yang tertidur akibat obat bius. Dengan membopongnya menuju sebuah mobil, tepat berdempetan dengan mobil Mehmed.
"Ayo!" ucap Dilan sembari menutup pintu mobil.
"Oke!" sahut rekannya memasukkan gas untuk melaju.
Mehmed melihat Dilan membawa pergi putrinya tanpa pamit. Tampak kegeraman pun membuncah sambil memukul mobil.
"Aaahhh ... Sial!!" gerutu Mehmed dengan kesalnya.
"Tuan," panggil rekannya.
Seluruh serangan dihentikan. Pemuda geng motor itu meninggalkan lokasi kejadian. Sekilas sirene Polisi mulai terdengar.
"Tuan, kita harus segera pergi!" ucap salah satu bawahannya dengan menarik lengan Mehmed.
Tanpa berucap, Mehmed pun kembali masuk ke dalam mobil masih dengan wajah kesalnya.
Wiu! Wiu! Wiu!
Tak terlihat mobil yang terjadi di lokasi kejadian.
"Cek semua CCTV!" teriak salah satu pria kepada bawahannya.
***
Di tempat yang jauh dari diriku, sangat jauh di sana. Seorang pemuda berlarian dengan semangat memasuki ruangan perkantoran. Dengan penampilan anak muda itu tidak menghiraukan orang lain yang sedang bekerja.
Baju kemeja terbuka menutupi kaos putih yang dikenakannya. Ia malah memasuki ruangan dengan senyum kecilnya.
"Ayah!" jeritnya.
Salah seorang pria tertegun akibat suara itu. Beberapa pria sedang melakukan Meeting bersama rekan kantor.
"Jebran! Bisakah kau bersikap sopan kepada ayahmu ini?!" gerutu salah satu pria yang memimpin duduk di paling ujung.
Pria yang disapa ayah itu akhirnya mendekati dirinya.
Senyuman Jebran tiba-tba luntur karena tingkah konyolnya.
"Pergilah ke Jepang! Sekolah dan kembali menjadi seorang CEO. Aku berikan kesempatan terakhirku untukmu. Jika tidak, jangan pernah melihatku di sini!" Pria itu memandang keras ke arah Jebran.
Dirinya merunduk dengan sangat malu lalu mengangguk sekali.
***
Aku masih tertidur di kursi mobil. Dilan menatapku dengan iba dan khawatir. Secercah pemikiran tentang Emira yang membuatnya tetap selalu menjadi yang terbaik.
"Kita menuju bandar!" perintah Dilan.
Satu jam kemudian.
Aku bahkan masih belum setengah sadar. Pikiranku seakan mengacau sesaat. Di manakah aku sekarang?
Mataku masih rabun untuk mencoba meraba dunia ini. Seakan begitu gelap dan penuh dengan sebuah suasana dingin.
Aku melihat ibu seolah-olah mendekap diriku dengan segala batinnya.
Tubuhku yang lemah ini hanya terpaku diam. Hati ini terasa terbekuk oleh perlakuan sang ayah. Roda itu akan berputar pada porosnya. Namun, aku dan ibuku berjalan ke tempat yang sangat jauh.
Sebuah jalan menuju kedamaian. Tanganku mencoba membalas genggaman ibu dengan erat. Bibirku terasa kaku untuk mengungkap apa yang kurasakan.
Nasibku masih beruntung. Perawanku hampir saja ter renggut oleh mafia-mafia kejam itu. Atau kepada pria-pria tua nakal.
Perempuan tak pernah hidup dengan bebas, ketika perawannya ter renggut dalam sesaat. Kebebasan itu menutup semua pintu menuju kehidupan yang menjanjikan.
Aku dan ibuku entah pergi ke mana? Akankah kami menoleh ke masa lalu lagi? Beliau berkata, "Kita tidak akan menemui ayahmu lagi!"
Singkat, jelas sekilas terdengar dendam di balik pelupuk mata ibu. Aku menelan segala kekacauan ini dengan segala kerinduanku terhadap ayah. Kini, aku menguburnya dalam-dalam. Di mana kami berada?
Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya.
Kira-kira apa yang akan terjadi?
Terus ikuti kisah menariknya.
Tambahkan ke raknya sekarang juga!
Review ceritanya dan undi hadiahnya.
Follow juga ig-nya : @rossy_stories
Terima kasih karena Anda telah meluangkan waktu demi sederet kata-kata penghibur dari si penulis.
Sampai ketemu di kolom review.
Yuk baca cerita baru aku selanjutnya. Ada kisah cinta yang gak kalah menariknya. Dengan judul "The Sun and The Curse" Kisah seorang wanita yang dikutuk oleh iblis. Duh, langsung aja ke cerita satunya ya. Jangan lupa tambahkan ke rak biar gak hilang. Mohon dukungannya dari semua pembaca!