Kamu pernah berjanji untuk menemani hati yang kosong ini, namun setelah benar-benar terisi mengapa kamu pergi?
-Lee Taa-Ri
-
Terik sinar matahari memikat mataku membuat cahaya di sekitar nampak begitu terang. Ah, sialnya hatiku tengah kelam. Kembali ku senderkan punggung di pohon mangga belakang kelas.
Tak akan ada yang tahu aku berada di tempat ini karena mereka nggak akan peduli sama sekali. Beberapa kali diriku mendengus, padahal sedang jam pelajaran namun kebiasaan lama memang susah dihilangkan.
Ini hari rabu, entah mengapa setiap hari ketiga maka tiba-tiba saja terbesit dalam benakku untuk duduk di bawah pohon ini. Tak peduli kalaupun aku harus kena marah ataupun dipanggil ke ruang BK. Sesekali diriku tertawa, sesak rasanya.
Andai saja dua tahun lalu aku menolongnya, seandainya saja ku dorong atau sekadar menggenggam tangannya. Pasti seperti ini jauh lebih baik bukan?
Sayangnya percuma berharap hal itu saat ini karena segalanya sudah berlalu dan cuma aku yang terjebak di masalalu. Dengan kekehan geli, aku menatap buah mangga yang sudah nampak kuning ujungnya.
"Kamu suka mangga, tapi aku enggak. Anehnya setiap lihat mangga rasanya pengen makan loh haha," lirihku.
"CLARISTA!"
Suara melengking barusan membuatku menoleh dengan kesal, lantas ku tutup rapat-rapat mataku. Ku tulikan telinga, kemudian kembali duduk selonjoran di bawah pohon ini. Sejuk rasanya, semilir angin menerpa wajahku dan tidak terbesit niat untuk masuk kelas sampai bel pulang berbunyi sekalipun. Toh semua buku pelajaran sengaja ku tinggalkan, jika ingin belajar bisa melakukannya di sekolah bukan?
Clarista Arum. Sebuah nama yang cantik, mungkin.
Aku sungguh membenci diriku sendiri. Satu setengah tahun menjadi siswa SMA tak membuatku bahagia. Pulang sesuka hati karena memang tak ada yang peduli.
Papa memutuskan tinggal di luar negeri hingga mama pun mengikutinya. Dan aku, hanya ditinggalkan dengan alasan akan lebih baik bersekolah di Indonesia saja. Nyatanya di luar negeri pendidikan jauh lebih baik bukan? Dasar mama, memang aneh dia itu.
Mama sejujurnya masih peduli padaku, terbukti dari uang jajan dan seorang asisten rumah tangga yang dia kirimkan padaku. Namun mungkin karena baru tujuh belas tahun hingga rasanya aku ingin serakah, aku butuh peluk hangat mama.
"Cie nangis, ssst masak cewek cantik cengeng gitu sih? Dudu bebeb siapa sih ini, buka mata deh masak mau tidur di bawah pohon nanti disangka kunti loh hahaha …."
"Aku pengen sendiri, tolong pergi," lirihku.
Mataku menerawang, menatap gumpalan awan yang bergerak pelan. Bagi orang waras, mungkin saja aku gila. Ya, suara barusan dengan jelas bisa ku dengarkan namun tak ada sosoknya.
Tak ada lagi laki-laki itu. Yang biasa menggenggam erat tanganku sambil sesekali berbisik merdu menertawakan sikap cengeng satu ini. Lelah disiksa batin, aku enggan mengatakannya namun kemungkinan besar jika tak pergi ke psikiater maka nama Clarista Arum akan jadi pasien tetap rumah sakit jiwa.
Siswa-siswa yang mulai berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya membuatku mendengus kesal. Memang saat memikirkan 'dia' aku jadi bersikap seperti ini.
Menit berlalu, hingga setengah jam ku lalui begitu saja. Lekas aku bangun lantas membersihkan rok sekolah yang hanya selutut saja panjangnya.
"Sudah aku duga, kamu pasti masih disini."
Merasa asing dengan suara barusan membuatku menoleh ke belakang. Ah rupanya dia, kak Riki bukan namanya?
Dengar-dengar dia anak baru, walau cerita ini terdengar enam bulan lalu, wajar saja kalau belum mengenal radar gilaku. Yah, anggap saja angin lalu toh dia tak begitu penting untukku. Sekarang aku harus benar-benar pergi sebelum bik Minah mengomel hingga telingaku panas nanti.
Melengos tak peduli, namun dia menahan pergelangan tanganku hingga terpaksa langkah tergesa-gesa pun ku hentikan juga.
"Rista kan? Udah sore banget, pulang sama gue aja. Bukannya lo nggak suka keramaian ya? Anak kelas dua belas baru pulang kelas tambahan, tunggu disini aja lima menit lagi," ujarnya padaku.
Tepat di kalimat terakhir dia mengatakannya segera ku hempaskan tangan miliknya.
Masih diam, sengaja ku abaikan agar dia sadar bahwa aku bukan siapa-siapa yang pantas dia khawatirkan. Toh ini kali pertama kami berinteraksi bukan?
"Sorry, nggak nyaman ya lo? Tapi kayaknya bakalan lebih nggak nyaman lagi kalau harus pulang bar—"
Tak lagi ku dengarkan, gegas melanjutkan langkah yang tadi tertunda. Rupanya dia tak menyerah, langkahnya … meski pelan aku sadar bahwa dia sedang mencoba untuk menyamakan langkah itu denganku. Aku kesal, rasanya seakan sedang dipermainkan oleh takdir.
Kejadiannya terulang, meski sedikit namun tetap saja mengembalikan rasa sakit.
"Gue Riki, lo pasti udah tahu kan?"
"Ah mau ambil tas ya? Gue tunggu sini ya biar nggak dikunci nanti, hati-hati Ta!"
Lebay, satu kata yang terlintas dalam benakku. Memang untuk apa aku harus berhati-hati jika hanya pergi ke dalam kelas saja.
"Wah, aku cemburu ada yang dekat sama kamu selain aku."
Deg!
Suara laki-laki ini mengisi penuh ruang syaraf dalam benakku. Gemetar tanganku, merinding rasanya mendengar nada dingin dalam suara barusan.
Namun saat ku telisik seluruh ruangan tak ada dia. Tertawa diriku, setengah mengejek dalam hati lantaran kejiawaanku benar-benar berada di ambang batas.
"Aku nggak ngasih celah, sejak awal cuman ada kamu," balasku.
Hanya aku di dalam ruangan ini hingga suaraku menggema dalam ruangan yang mulai gelap. Kelas XI IPS 3, terasa begitu menyejukkan di lain hari namun tidak dengan rabu. Semuanya berubah mencekam, suara menggema di ruangan dan ucapannya menggema di benakku.
"Bohong, kamu bahkan melepaskan tanganku waktu itu."
Lagi-lagi dia mengataknnya. Lelehan bening air mata melewati pipiku. Ku jambak rambutku lantas duduk berjongkok.
"A-aku nggak mau, tapi maaf karena melepas tanganmu. Hiks maaf, aku yang salah."
Menangis sejadi-jadinya lantas melantur. Sudah jadi kebiasaan.
Dapat ku rasakan seseorang memelukku. Ku dorong dia sekuat tenaga.
"Nggak usah dekat-dekat!" gertakku.
Dia diam, mungkin kesal padaku dan itu wajar saja terjadi karena dari raut wajahnya aku tahu. Riki sama seperti 'dia' yang selalu saja membuatku menggila.
Tatapan mata itu membuatku menggila, tanpa sadar aku tertawa.
"Mau apa? Mau lo apa hah!? Kalau cuman buat pergi kayak dia jangan datang!"
"Gue benci! Gue nggak suka ditinggal gitu aja. Nggak suka lihat dia jalan sama yang lainnya, tapi kenapa waktu gue beneran lepas tangan lo pergi nggak mau balik lagi hah?"
"Yang salah bukan gue, jangan pergi … gue mohon, hiks …," teriakku histeris.
"Gue bukan dia, Ta."
Aku tahu, tapi kenapa ingin ku keluhkan rasa sakitku padanya? Mengapa rasanya aku semua ini juga salahnya.
Ahahaha bodohnya diriku padahal kami baru pertama kali bertatap muka. Apa ini cara Tuhan memberikan hukuman pada gadis nakal sepertiku?
To be continue ….