Menjadi seorang Reporter bukanlah keinginanku. Namun, aku dibekuk oleh ibuku agar tidak terjun pada dunia mengungkap misteri.
Menurutku, menjadi seorang Reporter sama saja. Sama-sama mencari tahu semua hal kejadian.
Bahkan, diriku tidak dilengkapi alat memadai untuk berjaga-jaga.
Jika terjadi sesuatu padaku, aku tidak memiliki senjata untuk melawan. Hanya mengandalkan bela diri tidaklah mungkin.
Ini bukan permainan, ini adalah hidup yang nyata dan liar.
"Apa yang kau dapatkan informasi dari Polisi yang tadi kau temui itu?!" tanya Jebran—CEO dingin tanpa raut ramahnya.
"Hah! Oh ... Aku mendapatkan informasi terkait kasus penggelapan dana," ungkapku.
"Oh, siapa tokohnya?" tanyanya.
"Tuan besar Reno, pemilik perusahaan Minyak dan Gas. Dia juga sebagai anggota dewan perwakilan rakyat!" jelasku.
"Teruskan!" sebut Jebran singkat.
Aku mendongakkan dagu menatap kepalanya yang masih merunduk mengerjakan sesuatu.
"Bos," sapaku.
"Kenapa? Apa kau tidak mendengarku? Lanjutkan!" lontar Jebran.
"Oh, baiklah!" pungkasku membalikkan badan sembari merunduk. Saat tanganku mulai meraba gagang pintu, mataku seakan memperhatikan dirinya.
"Permisi, aku mau keluar!" ucapnya tiba-tiba mengagetkan diriku.
"Ah!" sergahku.
Tubuhnya berbalik menatapku.
"Tugas ini sedikit berbahaya. Sebaiknya kau bersamaku nanti, aku—kau dan Polisi itu!" tegasnya.
"Eh, baiklah."
Aku pun seketika melangkah keluar, saat kulihat dia pun pergi menjauhi diriku.
Aku memandang punggungnya yang tegak lagi kekar itu.
Pria tampan, tinggi, dan dingin itu orang yang paling disegani dalam kantor.
Seorang pria mendekatiku, "Emira, apa yang dikatakan olehnya?"
"Aku mendapat misi," singkatku ke arah rekan kerjaku.
"Ah, apa?" ucap Arga bingung.
Aku melangkah tanpa berkata banyak lagi. Setidaknya tidak usah berkata-kata yang tidak penting itu.
Namun, perasaanku menatap kepada salah satu wanita yang selalu memperhatikan sedari tadi. Anindira—Sekretaris Jebran yang berdiri dengan soknya menatap diriku.
Wajahnya sedikit sinis, bangga, tinggi, dengan dagu terangkat, pas dengan gaya tangan bersedekap.
Akan tetapi, aku tidak menghiraukan mereka satu-persatu. Buat apa dipikirkan? Menangani setiap tindakan hal yang sangat membosankan. Aku menghempaskan beberapa buku tebal di atas meja kerjaku.
"Apa? Bersamanya? Menyebalkan sekali!" gerutuku.
Tampaknya si wanita itu dengan lenggak-lenggoknya berjalan ke arahku.
"Hei," sapa Anindira.
"Ada apa?" tanyaku tanpa menatap.
"Apa yang dikatakan oleh bosku?" tanya Anindira.
"Kenapa kau mau tahu?" sebutku mulai membaca raut wajahnya.
"Aku adalah sekretarisnya. Jadi, aku berhak mengetahui apa yang kalian bicarakan!" tegasnya.
"Kalau begitu, tanyakan saja padanya!" pungkasku.
"Aku bertanya padamu bukan padanya!" balas Anindira dengan nada agak tinggi.
"Itu urusan pribadiku!" Tiba-tiba saja suara itu datang dari pria yang tak asing. Mataku mulai menyimak semua dengan menoleh ke arahnya. Jebran, berdiri dengan segala kekuasaannya.
"Jangan mengganggunya! Dia bukan hakmu. Tapi, dia milikku," lontarnya.
Seakan jantung mulai berdebar. Apa yang dikatakan oleh pria ini? Dia mengatakan hal-hal yang membuatku salah fokus.
"Apa?" ucap si Anindira.
"Kembali ke tempatmu!" perintahnya.
"Ba-baiklah," singkat Anindira mengembalikan posisi tubuh untuk berbalik.
"Terima kasih," ucapku rada-rada bodoh.
Dalam hatiku berkata, 'Aku harus mencintaimu.'
Seketika diriku memukul keras kepalaku. Aku tak menyadarkan diriku bahwa Jebran melalui jalanku.
"Lanjutkan pekerjaanmu!" sebutnya dengan tatapan tak main-main.
"Baik, Pak!" sahutku mulai menatap kepergian Jebran—si Bos dingin itu. Tampaknya agak aneh pada dirinya.
Dia seakan melindungi diriku, atau dia sedang melindungi kasus penggelapan dana ini? Kasus ini sangat penting di muka umum.
Tingkah konyolku begitu tampak di depannya. Untung saja aku tidak mengucapkannya secara spontan dan hanya dalam hati.
Semua kelelahanku hari ini, kuhempaskan tubuh ringanku yang tinggi semampai ke atas kasur yang paling dirindukan.
Kenapa tidak? Aku sangat merindukan tempat tidur.
Jadwal padat mengurungku pada situasi yang mendesak saja. Aku bahkan harus lebih banyak di luar lalu begadang.
Sampai-sampai aku harus rela tidur di atas sofa panjang setelah pekerjaan diselesaikan saat itu juga.
Ponsel bergetar perlahan-lahan, tepat di samping tempat tidurku di atas meja rias.
DRRRT!
DRRRT!
Ternyata nama Dilan terpampang jelas di layar ponsel masa kini.
("Ya, halo?") Aku
("Bagaimana? Apa kau bersedia meliput orang itu?")Dilan melambai.
("Tentu saja. Aku bahkan belum memberitahu bosku. Tapi, dia lebih dulu bertanya kepadaku!")
("Apa yang dikatakan olehnya?") tanya Dilan.
("Dia ingin kita bertiga!") sahutku.
("Hah! Benarkah? Apa semudah itu dia mengizinkannya?") Dilan mencuat.
("Apa kau baru kenal padanya? Dia adalah CEO dingin yang paling ditakuti di kantor. Bahkan, tidak ada yang bisa melarang dirinya untuk meliput presiden sekalipun.")
("Wah, hebat! Ku pikir dia akan menolaknya. Karena banyak yang menolak untuk meliput orang besar itu!") pujinya.
("Bagi bos kami tidak mungkin. Makanya aku selalu di mana-mana untuk mendapatkan informasi jitu.")
("Berarti aku dan bosmu itu adalah tanggung jawabnya.") Dilan mengernyitkan dahi.
("Ya, karena kau yang membocorkannya.")
("Apa kau tidak mengenalku? Aku adalah orang yang tidak akan menerima suap apapun. Aku adalah Polisi yang baik. Aku ingin menjadi seorang Polisi yang bertanggung jawab untuk negara secara murni.")
Aku bahkan memuji diri sendiri.
("Wow! Apa kau baru saja memuji diri?") kelit Dilan.
("Tidak, itu semacam harapan.")
Aku membela diri.
("Maafkan aku, aku sengaja meledekmu. Hahaha.")
Dilan menautkan keningnya.
("Kau ada rencana di akhir pekan ini?")
Dilan terus melanjutkan dengan jeda waktu.
("Kenapa? Kau mau mengajakku kencan? Hei, aku sudah mengantuk. Kau tahu? Aku hampir satu minggu tidak tidur di atas tempat tidurku dengan nyaman. Jadi, kumohon padamu! Jangan ganggu aku saat tempat tidur yang empuk ini sudah melekat di tubuhku.") Keluhanku memanja.
("Ya, baiklah. Ternyata kau tidak akan berubah.")
Dilan merunduk dari kejauhan.
("Maaf, Tuan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Biasanya aku tidak tentu tidur. Aku hanya ingin mengembalikan kualitas tidurku.")
Aku menengadah ke jam dinding.
("Baiklah, Nona cerewet! Selamat malam dan semoga bermimpi indah!")
Dilan menggerakkan alisnya.
Aku tak kuasa menahan kantuk yang sangat luar biasa ini. Lagi-lagi aku tertidur tanpa aba-aba. Dilan memekikku dari dalam telepon.
("Mira, Mira ....")
("Apa kau sudah tertidur?")
("Mira!!")
TUUUTT!
Percakapan telepon pun terputus. Dilan mengakhiri percakapannya dengan sekali tekan. Aku bahkan tak bisa lagi memindahkan ponsel keren ini dari tanganku.
Seketika diriku tertidur dengan pulas, dengan mulut ternganga luas, apalagi lengkap dengan dengkuran yang tiada tara.
Malam melepaskan kelelahan ku hanya sekali tekan. Mimpi indah atau buruk, yang pasti aku sudah berada di dunia lain. Dunia mimpi.
"Jangan paksa aku!"
Aku melihat beberapa pria hendak memperkosa diriku.
Tanganku terasa kaku, dengan kaki yang tak bisa tergerak oleh tenaga dalamku. Aku seakan meronta-ronta melawan kekejaman ini.
"Lepaskan aku!!"
"Tolong!!"
Bagaimana bisa aku melawan para pria yang sudah tidak terhitung itu? Mata dan wajah yang begitu sangar, genit, bengis serta begitu menggiurkan air liurnya saat menatapku.
Saat ku mencoba menatap seisi ruangan. Sosok yang paling dikenal melirikku dengan santai.
"Ayah," ucapku.
"Ayah, tolong aku!!"
"Tolong aku, Ayah!!!"
Aku terus meronta dan berteriak. Namun, gayanya yang tenang membuatku merasa jengkel. Dia lelaki yang paling kuhargai hanya bisa berdiri sembari menonton.
Aku terperangkap dalam jeritan yang mungkin akan menghancurkan diriku dalam sekejap. Para mafia bengis lagi genit itu haus cinta. Nafsu membara bak setan mengamuk.
Mereka dikawal oleh beberapa iblis bertanduk. Persis layaknya kolor ijo pada zamannya.
Pria berwatak setan itu menggeluti tubuhku dengan penuh nafsu. Aku tak dapat bergerak dan melawan.
Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya.
Kira-kira apa yang akan terjadi?
Terus ikuti kisah menariknya.
Tambahkan ke raknya sekarang juga!
Review ceritanya dan undi hadiahnya.
Follow juga ig-nya : @rossy_stories
Terima kasih karena Anda telah meluangkan waktu demi sederet kata-kata penghibur dari si penulis.
Sampai ketemu di kolom review.