Keringat dingin, menyekapku dalam-dalam, terkurung di antara ruangan gelap. Tanganku bergetar seakan tak kuasa menahan lara. Diri ini terkurung dalam sahutan-sahutan nakal dari pria bengis.
"Aaaaa!!!" teriakku dalam-dalam.
Tubuhku terhempas melawan, dengan mata terbuka lebar.
Tepat di hadapan langit-langit ruangan kamar. Diriku yang berkeringat itu, ternyata hanya mimpi belaka.
Rautku yang tadinya pucat pasi, kini mulai meredup.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, takut akan terjadi hal yang menjijikkan itu. Para mafia terburuk yang pernah ada, merekalah rekan ayahku.
Sungguh! Aku sangat membenci ayahku, dan hampir memukul wajah bayangnya.
'Kenapa ayahku hampir saja menjualku?' Gerutuku dalam batin menyapu semua kenangan yang pernah terlewati.
Andai saja nasibku kala itu kurang beruntung, mungkin aku akan menjadi wanita murahan yang siap melayani siapa saja.
Masa depanku terjual dan tak bisa dikembalikan oleh masa.
Untung saja, orang-orang hebat berada di sekelilingku, termasuk sahabat terbaikku—Dilan.
***
Tap!
Tap!
Tap!
Langkah sepatu dinas kerjaku begitu meramaikan lantai ruangan kantor. Beberapa dari mereka berlalu lalang di sekitar ruangan. Kesibukan yang sudah mulai ini, semakin menarik perhatian.
Diriku tiba di depan meja kerja. Tiba-tiba tanganku tertarik oleh sesuatu.
"Kenapa lama sekali?! Ayo, ikut aku ke dalam ruang rapat," ucap si rekan terbaikku--Arga, si juru kamera terandal di kelasnya.
"Aa! Kau mengagetkanku," sergahku segera meraih ponsel dan buku catatan.
"Bos sedang menunggu," ungkap Arga.
"Apa yang dia rencanakan?" tanyaku seraya berjalan cepat di sampingnya.
"Dia ingin mewawancarai si anggota Dewan itu," sebut Arga.
"Aku hampir lupa," gerutuku menekan layar ponselku.
Dengan cekatan aku mengirimkan pesan kepada sebuah nama—Dilan. 'Kita akan bersiap!'
Aku menutup kembali ponselku, lalu menyelipkannya di dalam saku celana jinku.
Di dalam ruang rapat, sudah menunggu para rekan kerjaku yang tidak lain, mereka yang paling ramah denganku.
Gilang, Rendi, dan Anita. Aku menduduki kursi di samping mereka dan mulai membuka catatan kecil.
Jebran menatapku tanpa belas kasihan, serta tanpa tatapan ramah sekalipun. Aku pun tak menghiraukan dengan dirinya yang sangat angkuh itu.
Kembali memperhatikan petunjuk-petunjuk agar tidak menyimpang dari jalur wawancara.
Lima belas menit kemudian, Arga bersiap memapah kamera besarnya sembari menatapku untuk pergi.
"Sudah siap?" tanya Arga.
"Ayo!" ajakku.
"Tunggu aku!" sambung Jebran—CEO muda itu mendekati kami.
Tanpa berkata-kata lagi, kami bertiga mulai berangkat dengan mobil mewahnya. Aku hendak memasuki kursi belakang, namun Jebran menggerutu, "Ehem!"
"Yah, Pak!" sahutku.
"Duduk di depan!" perintahnya.
"Ba-baiklah," sahutku ragu-ragu.
'Kenapa dia ini?' Dalam hati aku berkata seakan-akan bertingkah konyol di hadapan si pria tampan itu. 'Jangan sampai aku tertipu oleh wajah tampannya!'
Kami melaju dengan cepat untuk menuju gedung DPR. Dimana orang-orang pasti akan segera menyusul lebih cepat.
Memang benar yang baru saja aku bayangkan. Seluruh wartawan berkumpul dengan segala peralatan untuk mewawancarai pria ternama itu.
Aku pun segera menyiapkan segala kekuatan dan keberanianku untuk mengungkap dirinya.
Jebran—selaku CEO yang tak pernah takut itu berjalan dengan segala percaya diri.
Tangannya memperlihatkan kartu nama yang telah disiapkannya.
"Kami berasal dari stasiun televisi TNC," ungkap Jebran kepada salah satu sipir yang berjaga di muka pintu. Tanpa menyahut, pria itu mempersilakan kami untuk memasukinya. Memang si pria pemberani, ia bahkan tak melihat siapa yang akan ia temui itu?
"Kami memiliki temu janji dengan Tuan Reno," ungkap Jebran.
Seorang wanita berpakaian rapi, ketat, resmi, bergincu merah cerah dengan kerudung melilit badan leher. Dagu terangkat, mulutnya mulai terbuka, "Maaf, Tuan! Kami tidak mengizinkan siapapun untuk mewawancarai Tuan Reno, terima kasih."
Dengan lagak soknya, tatapan wanita itu turun dan kembali merunduk.
Blam!
Jebran mengentakkan telapak tangannya ke atas meja, "Apa kau tidak mengenalku? Beraninya kau berkata seperti itu?!"
Jebran tak lagi bermain malu di hadapan orang banyak. Sontak wanita itu tertegun bukan main. Mereka beralih memperhatikan Jebran yang bersungguh-sungguh.
"Maaf, Tuan. Tuan Reno sedang tidak di kantor!" ungkap si wanita itu.
Seketika raut Jebran luntur perlahan, saat perkataan wanita itu ternyata bukan untuk menikam dirinya. Bermaksud menolak, namun tidak berkata demikian.
"Kenapa kau tidak katakan dari tadi?!" berang Jebran.
"Aduh, Pak! Hentikan!" gerutuku sembari menarik lengan bosku sendiri.
"Kalau dia sudah kembali, katakan kalau aku menunggunya!" pinta Jebran dengan wajah kesalnya.
Tubuhku yang tak jauh berbeda dengan Jebran itu menyerat langkahnya keluar dari ruangan. Semua memandang kami layaknya kelinci-kelinci percobaan.
Sedikit rasa malu, akhirnya kutepis dengan merunduk. Tak lama terlihat, Dilan berlari ke arah kami.
"Maaf, aku terlambat!" ucap Dilan sembari mendekat.
"Kenapa tidak jadi?" keluh Dilan.
"Orangnya tidak ada di tempat," ungkapku.
"Hei, lepaskan aku!" cecah Jebran mengempaskan tanganku.
Sontak diriku tertegun akibat dirinya yang tiba-tiba meronta. Aku pun tersipu malu, karena tetap memegang lengan si pria angkuh itu.
"Oh, maafkan aku, Tuan."
Aku merunduk malu.
"Dia pasti memiliki taktik lain," ucap Jebran ke arah kami.
Emosinya seketika luntur, yang tadinya sempat membuncah. Melihat situasi, akhirnya mereda perlahan.
Aku hendak mengikuti langkah Jebran bersama Arga yang masih memapah kamera besarnya. Menuju parkiran yang ada di tepat halaman. Dilan menghentikan langkahnya, seraya mengerutkan kening.
"Paman Mehmed? Apa benar itu dia?" gumam Dilan.
Aku menoleh ke arah Dilan yang sedang melamun diri dengan telunjuk ke depan.
"Hei," panggilku.
"Oh," sahut Dilan menghampiri diriku.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada," pungkas Dilan.
Namun, hal yang paling membuatnya bingung adalah, melihat sosok ayah Emira yang menyelinap di balik kerumunan.
Dilan mencoba menyorot pandangan, tapi yang dicari sudah tidak ditemukan lagi.
"Ke mana dia?" pikir Dilan bingung.
Telingaku seakan berbisik pelan kepada batinku. Lalu aku mencoba menoleh ke arah yang dilihat oleh Dilan. Namun yang ku dapat Dilan meneriakiku dengan lantang.
"Emira!!"
Badan leherku seketika menatap dirinya, "Kenapa?"
"Kau masih ada pekerjaan?" tanya Dilan.
"Masih, aku harus kembali ke kantor," sebutku.
"Kalau begitu, aku permisi dulu," pamit Dilan.
"Woi! Kau mau ke mana?" pekik Jebran ke arah Dilan yang hendak melangkah.
"Ikutlah bersama kami!" ajak Jebran dengan hangat.
Dilan—Polisi muda sekaligus sahabatku itu dengan lugunya menuruti perkataan bosku. Masih sama-sama muda, namun jarak usia pasti berbeda.
Bermodalkan minum kopi di kafe terdekat, perbincangan hangat pun berlangsung.
Aku dan Arga hanya memperhatikan semua celoteh di antara mereka berdua.
Entah kenapa? Mereka akan merasa begitu akrab setelah mengenalnya dariku. Aku pun menggeleng heran sekaligus tak percaya.
Di bawah rembulan redup. Tampak Dilan membuka gerbang menuju rumah kecil yang ada di hadapannya.
Sontak Dilan perlahan menghentikan kunci saat mendengar derap kaki mendekatinya.
Tap!
Tap!
Dilan menolehkan pandangan sembari memelotot ke arah si pria yang hampir tak asing itu. Mehmed mendatangi tempat kelahiran sang ibunda—Emira.
"Paman," sapa Dilan pelan.
"Aku akan menjemput putriku kembali," ucapnya seraya membawa rekan-rekan bengis. Lima pria bertubuh kekar mendekati Mehmed berhadapan dengan Dilan.
Wajah Dilan tampak bergelut cemas, nanar, dan tak lagi bersahutan lembut. Apa yang akan terjadi setelah ini? Ikuti terus kisah selanjutnya.
Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya.
Kira-kira apa yang akan terjadi?
Terus ikuti kisah menariknya.
Tambahkan ke raknya sekarang juga!
Review ceritanya dan undi hadiahnya.
Follow juga ig-nya : @rossy_stories
Terima kasih karena Anda telah meluangkan waktu demi sederet kata-kata penghibur dari si penulis.
Sampai ketemu di kolom review.