"Ternyata kau benar-benar mengejar putriku?" lontar Mehmed sembari duduk di dalam halaman rumah Dilan.
Tampak wajah Dilan tak bersahutan sama sekali. Pandangannya tetap merunduk sembari mengangkat dagu sesekali.
"Aku ingin kau mendekati anakku, dan membawanya kembali," pinta Mehmed dengan tatapan tak main-main.
Dengan wajah yang seketika luntur dari senyum itu berbalik pada raut seriusnya.
"Dilan!" panggilnya kembali.
Dilan menaikkan alisnya, "Aku tidak akan berjanji, Paman. Aku menyukai putrimu, jadi itulah alasanku untuk bekerja di sini."
"Hahaha, itulah sebabnya waktu dulu kau rela menghadang jalan kami untuk menyelamatkan Emira. Sudah kuduga!" kekeh Mehmed mulai mengeluarkan puntung rokoknya.
Salah satu pria menyodorkan api kecil padanya.
"Dilan, Dilan. Kau sungguh anak muda yang tidak main-main ternyata!" tutur Mehmed.
"Paman, kau boleh pergi dari sini. Kau tidak tahu pekerjaanku sekarang? Seorang Polisi tidak ada waktu libur untuk membekuk seseorang!" Dilan mewanti-wanti terhadap ayahanda Emira.
Akan tetapi, Mehmed tidak menyeringai tajam dan hanya terkekeh pelan sembari menatap Dilan.
"Baiklah, Anak muda! Paman akan kembali ke sini lagi. Ingat! Rebutlah putriku dan bawa dia kembali, jika tidak saudaramu yang ada di Lampung akan lebih menderita," ancam Mehmed.
Sontak mata Dilan membelalak lepas menyorot pandangan Mehmed yang akan meninggalkan kediamannya.
"Paman, apa yang kau lakukan kepada saudaraku? Jangan coba-coba mengganggunya! Dia hanya lelaki lemah." Dilan meluapkan emosi dalam genggaman.
"Tenang saja! Aku tidak akan mengganggu saudara bodohmu itu. Tapi, asal kau membawa Emira kepadaku, maka dia akan baik-baik saja." Mehmed angkat kaki dari halaman rumah Dilan dengan segala keangkuhannya.
Dilan hanya menatap kepergian Mehmed bersama rekannya diiringi raut membuncah dalam batin.
Tangannya mengepal sembari tertindih rasa perih saat ayahanda hendak mengancam dirinya terhadap saudara yang ada di Lampung.
Saudara Dilan, adiknya yang memiliki keterbelakangan mental dengan tingkah kanak-kanak.
Target yang paling mudah di dapat. Matanya hanya memejam sembari membekuk diri dalam benak.
***
Jebran—CEO tampan, dingin serta sedikit angkuh itu mengempaskan ponsel kerennya ke atas tempat tidur.
Tangannya melepaskan jas yang terlihat berkarisma itu dan menaruhnya ke atas gantungan di dinding kamar.
Ia pun segera berkaca sembari hendak berucap, "Ternyata aku ini cukup tampan!"
Apa? Ternyata di balik sifat dinginnya. Jebran sedikit bergurau dalam diri. Tapi, kenapa dia menutupi dirinya dalam diri?
"Emira, Anindira? Mereka pasti menyukaiku. Aku yakin itu!" ucapnya dengan santai.
"Ihh!" gerutunya sembari menggoyangkan kakinya.
Kaos kaki yang melekat padanya ia hempaskan begitu saja.
"Ah!!" Jebran melihat sepasang sepatunya berhamburan di dalam ruangan.
Ia pun merapikan kembali dan keluar dari kamar. Di sisi dinding dekat pintu masuk, terdapat rak sepatu yang berdiri tegak tertutup. Ia pun menyimpan kaos kaki itu diselipkan ke dalam sepatu kantornya.
Matanya berputar ke seluruh ruangan rumah yang terlihat mewah itu.
Apartemen nyaman dan indah, tenang dan luas.
Inilah kehidupan orang-orang kaya masa kini. Langkahnya mulai meraih handuk kering yang berada dalam kamar.
Membersihkan diri itu wajib! Jebran mengguyurkan tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari atas.
Dirinya keluar dengan handuk baju dengan handuk kecil mengeringkan rambut setengah basah.
Saat ia mulai memutarkan kepalanya untuk melihat diri di depan cermin.
Memang bukan main! Wajahnya seakan menghipnotis wanita mana pun.
Otot-otot kekar itu melukis dada serta lengannya saat ia mulai menggunakan Piyama hitam.
Ting Tong!
Jebran membalikkan kepala saat mendengar bel rumah berdentang sekali.
TIN!
Jebran membuka pintu dengan sadar. Terlihat tiga pria dengan raut ramah dan bahagia masuk ke dalam rumah.
"Hei!" gerutu Jebran seraya menutup pintu.
Zaffer, Wilson, Andy. Mereka adalah sahabat karib Jebran yang selalu menemani dirinya saat mulai merasa kesepian.
"Ke mana saja selama ini?" gerutu Jebran.
"Maafkan kami, kami sibuk beberapa hari ini," keluh Zaffer dengan raut manis.
"Kalau kalian?" lontar Jebran ke arah kedua temannya.
"Kami punya bisnis di luar kota," sebut Wilson.
"Kau tidak tahu aku? Aku harus bolak-balik ke Cina untuk meneruskan usaha ayahku itu," gerutu Andy.
"Bagaimana dengan Yasar? Ku dengar dia kembali," sebut Jebran. Siapakah Yasar itu?
"Ku dengar dia akan mengincarmu," ungkap Wilson dengan raut tampan bak artis barat. Yah, lelaki ini memang keturunan barat. Rambut dan wajahnya saja sedikit bule dengan mata cokelat muda.
"Aku ingin menangkapnya jika dia kembali," putus Jebran dengan mengepalkan tangan.
"Orang seperti itu mudah bersembunyi. Kita sangat sulit menemukannya," ujar Zaffer.
"Hei, ayo kita berpesta!" ajak Wilson membuka kaleng bir.
"Ah! Kalian ini. Apa kalian tidak membawa Cake cokelat?" keluh Jebran.
"Ah, kau ini! Lain kali saja. Sekali-kali kita berpesta," ajak Wilson.
Empat sekawan itu berkumpul senang sembari ditemani acara televisi. Malam adalah teman-temannya.
Sedangkan teman adalah pelengkap hidupnya. Ke manakah orang tua Jebran? Tentunya tinggal berbeda darinya. Anak muda mandiri biasanya akan tinggal berbeda.
Apalagi Jebran salah
tipe orang yang tidak suka diperintah.
"Kau jarang kembali ke rumah?" tanya Zaffer.
"Akhir pekan," sahut Jebran mantap.
"Pergilah ke rumah orang tuamu. Mereka pasti merindukan dirimu," sambung Andy.
"Yah, lain kali saja." Jebran meraih kacang kulit lalu mengunyahnya.
***
Akhir pekan yang tiba secara tidak terduga. Inilah hari dimana aku selalu menantikannya. Seketika aku meraih tas kecil dan bersepatu hak sedang.
Dirinya bersolek tipis, dengan rambut dibiarkan terurai lepas.
"Ibu, aku pergi dulu!" pamitku sembari meraih kunci mobil yang berada di dalam laci bupet di ruang tengah.
"Hei, ini kan akhir pekan! Kenapa kau tidak di rumah saja?" keluh sang ibu yang sedang duduk menikmati kopi hangatnya.
"Tidak, Bu. Aku ingin pergi ke taman bersama teman-temanku," teriakku lantang lalu menutup pintu rumah.
Di antara taman kota. Itu aku sedang menjilati es krim corong dengan lagak senang hati. Diriku yang menatap keramaian sedang mencari arah dan jarak.
Diriku meraih ponsel keren dan mulai mencari nama. Anita, aku memanggilnya sekali.
Aku : "Kau di mana?"
Anita : "Kami ada di ujung pohon besar."
Aku : "Oh, baiklah."
Langkahku pun melaju. Namun, tiba-tiba saja aku terperangkap pada pemandangan yang membuatku bosan. Jebran—bosku sedang dihadang oleh para lelaki nakal.
"Hei!!" teriakku mendekati mereka.
Langkahku tak lagi lambat. Tapi, mulai menaikkan kaki untuk menghajar satu-persatu orang yang hendak mengacaukan bosku.
"Yyyaaachh!!" serangku.
"Haaa!" Jebran menganga lebar.
Blam!
Pow!
Pow!
Masing-masing mendapatkan tendangan dariku. Ketiga pria itu tersungkur lepas ke tanah. Jebran terpelangah saat serangan Emira benar-benar kasar.
Tangannya meraih pundakku yang selesai menghajar pria kurang sopan santun itu.
"Emm, Emira," panggil Jebran ke arahku.
Aku menoleh pelan ke arah bosku. Jebran menggeleng sembari melempar senyum padaku.
Entah kenapa hari ini dia tampak berbeda? Rautnya sangat ramah. Aku dengan lugunya membalas senyum manis ke arah si pria tampan itu.
Jebran mengangkat dagunya ke arah pria-pria yang sudah terbaring di jalanan.
"Kau tidak apa-apa, Bos?" tanyaku dengan percaya diri.
Ternyata ketiga pria itu tampak tak asing wajahnya. Ia adalah ....