Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 19 - Firasat

Chapter 19 - Firasat

Pratinjau : Dia menatap dirinya di cermin. Meyakinkan diri bahwa Dana masih bersamanya. Semuanya akan baik-baik saja.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Jani membuka matanya pelan, kemudian meregangkan tubuhnya sambil menguap. Gadis itu mengerjapkan matanya sambil memandangi jendela kamarnya. Tunggu, kamarnya? Jani seketika bangun dan duduk sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Bukankah dirinya semalam berada di sofa depan TV membaca novel. Setelah itu dia merasa mengantuk dan entahlah sepertinya dirinya tertidur. Lalu, apakah dirinya tidur sambil berjalan? Seingatnya dirinya tidak pernah tidur sambil berjalan.

Jani memutuskan beranjak dari ranjangnya. Dia merapikan tempat tidur kemudian menuju kamar mandi untuk mandi. Seperti rutinitas hariannya, Jani bergegas membuat sarapan untuknya dan juga Dana. Baru akan membuka pintu kamar, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Rangga yang berisi bahwa Rangga menawarinya tumpangan ke kantor Jani yang memang searah. Jani segera membalas bahwa hari ini dia akan pergi ke kantor dengan seorang temannya. Jani merasa risih dengan Rangga akhir-akhir ini. Entah kenapa laki-laki itu kini membuatnya tidak nyaman.

Jani bergegas ke dapur, dia menemukan makanannya semalam berada dalam kulkas dalam keadaan utuh. Ah ya, dia bahkan lupa kalau semalam belum makan. Pantas saja sekarang dia merasa lapar. Jani mencicip sayur serta ikan semalam, ketika merasa masih sangat layak dimakan Jani segera memanaskannya. Sayur dan ikan dua porsi ini akan dia bawa ke kantor untuk dimakan bersama Rena ketika makan siang. Setelah selesai dia langsung membuat sarapan. Dua sandwich telur beserta kopi untuk Dana dan segelas susu hangat untuknya, Jani bergegas duduk dan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Dia memeriksa pesan dari Rangga yang ternyata laki-laki itu tidak sekeras kepala yang Jani bayangkan.

Ketika Jani memasukkan ponselnya, Dana sudah berjalan keluar dari kamarnya. Jani tidak membangunkan Dana pagi itu karena takut Dana akan membentaknya kembali, Dana sendiripun sudah memberinya peringatan. Jani tidak tahu kenapa kekasihnya tersebut tidak ingin dirinya masuk ke kamarnya. Jani tidak mau membayangkan hal-hal yang akan membuatnya merasa tidak tenang. Begini saja dia sudah mengucap syukur.

"Berangkat bareng boleh, nggak?" tanya Jani. Wajar bukan seorang kekasih ingin diantar ke kantornya. Lagipula selama ini Jani jarang sekali minta diantar jemput ke kantor oleh Dana. Namun, kali ini biarlah Jani meminta karena dia sedang malas berangkat sendiri.

"Eumm… maaf sepertinya saya nggak bisa antar kamu. Kamu berangkat sendiri dulu, ya?" jawaban Dana sontak membuat Jani kecewa.

Malu sekali dirinya sudah meminta diantar tapi ditolak begini. "Baiklah," Jani memaksakan senyumnya kemudian segera memakan sarapannya.

"Oh iya semalam makanannya saya taruh kulkas. Maaf saya semalam sudah makan malam dan lupa mengabarimu," Dana tersenyum tidak nyaman.

Jani kemudian ingat sesuatu, "nggak apa-apa. apa mas yang gendong saya ke kamar?"

Dana menganggukkan kepalanya sambil mengunyah sandwich-nya.

"Terimakasih," ucap Jani tulus sekaligus terharu. Sekali lagi Dana menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Jani mulai hafal kebiasaan Dana yang tidak berbicara ketika mulutnya masih penuh dengan makanan.

****

Jani dibuat kesal oleh Arga. Kenapa laki-laki itu harus meminta jatah bekalnya ketika Rena menolak karena sudah membawa bekal sendiri. Salah Jani yang tidak mengatakan terlebih dulu pada Rena. Bukannya pelit, Jani hanya malas karena harus makan siang berhadapan dengan Arga seperti ini.

Rena tidak pernah masalah akan kehadiran Arga yang duduk semeja dengan mereka. Tapi tidak dengan Jani setelah Arga mengaku menyukainya. Beberapa kali Arga mengiriminya pesan hanya sekedar bertanya sedang apa atau sudah makan belum. Pesan tersebut ditanggapi seadanya oleh Jani mengingat bagaimanapun Arga adalah direktur utama perusahaannya.

Pulang bekerja, Jani harus menekuk wajahnya karena mau tidak mau harus pulang bersama dengan Arga. Setelah laki-laki itu memaksanya tentu saja. Kalau saja dia tidak harus lembur sampai jam 9 malam dan andai saja tidak turun hujan deras.

Karyawan yang lembur bersamanya sudah pulang terlebih dulu. Jani lupa kalau baterai ponselnya belum dicharge seharian. Alhasil ketika dirinya sudah di lobi untuk memesan taksi online, daya tahan baterai ponselnya hanya beberapa menit saja dan mati sebelum dia sempat memencet "pesan" pada aplikasinya.

Dia merutuki nasibnya. Dia dan Arga sama-sama diam. Arga mencoba membuka percakapan pada Jani supaya suasananya di mobilnya tidak canggung seperti sekarang.

"Kamu nggak apa-apa aku antar pulang? Takutnya pacar kamu marah."

Jani sebenarnya muak dengan basa-basi para laki-laki macam Arga ini. Sangat tidak berbobot menurutnya. "Nggak apa-apa kok." Hening.

"Kamu mau datang bersamaku besok di acara ulang tahun kantor kita? Aku jemput kamu, ya?" Arga menawarkan.

"Sebenarnya saya nggak tahu bakal datang enggak soalnya ada acara gitu. Mungkin kalau masih ada waktu, saya nyusul aja ke acara itu," Jani menjawab apa adanya. Dia ingat hari itu adalah hari yang sama dengan ulang tahun Dana.

"Oke, tapi kalau kamu berubah pikiran kamu bisa kirim pesan ke aku," Arga tersenyum.

Jani hanya mengangguk dan menjawab 'oke'. Sebenarnya Arga sangat baik, mungkin kalau Jani tidak memiliki Dana dirinya akan mencoba membuka hati untuk Arga. Hanya saja dia sudah bersama Dana sekarang dan dia sedikit tidak suka dengan Arga yang terang-terangan sekali mendekatinya. Bukan tipenya namun untuk kondisi tertentu bisa dicoba, begitu batin Jani.

Jani menghela nafas lelah. Dana kembali lembur sepertinya karena apartemen masih gelap gulita. Dia segera menyalakan semua lampu dan masuk ke kamarnya. Sebelum mandi dia mengecek ponselnya. Tidak ada pesan apapun dari Dana. Bahkan, pesannya juga tidak dibalas. Terakhir Dana membalas pesannya adalah pagi hari ketika dia mencoba memberi semangat Dana dan hanya dibalas dengan emoticon senyum.

Jani kembali mengetikkan pesan pada Dana. Dia bertanya apakah Dana sudah makan atau belum. Kemudian Jani masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang sudah lengket. Dia menatap dirinya di cermin. Meyakinkan diri bahwa Dana masih bersamanya. Semuanya akan baik-baik saja. Entah kenapa sejak pagi Jani merasa tidak tenang. Kalau dirinya pikir sudah dua hari ini Dana tidak memberinya kabar. Mencoba memikirkan hal-hal positif sepertinya sama saja. Karena Dana bahkan tidak membicarakan mengenai kegiatannya yang semalam pulang entah jam berapa. Jani berharap Dana tidak menyembunyikan sesuatu darinya.

Asumsi yang otak Jani ciptakan membuat semua yang dilakukan Jani seperti sia-sia. Mungkin Dana memang hanya bermain-main dengannya, mungkin Dana sudah memiliki gadis lain dan masih banyak lagi. Kepala Jani tiba-tiba terasa berat. Terlalu banyak yang dia pikirkan tentang Dana. Dirinya hanya bisa menebak-nebak karena Dana tidak pernah mau terbuka kepadanya. Dia sungkan untuk bertanya setelah kejadian dia sakit dan Dana mengacuhkannya beberapa waktu lalu.

Malam ini pun Jani kembali mengulangi malam sebelumnya, memasak dan menunggu Dana sampai ketiduran. Jani tidak sempat makan karena nafsu makannya mendadak juga hilang ketika dia menemukan selembar foto yang disimpan di sebuah buku novel milik Dana.