"Aku berangkat."
Seorang pria keluar dari sebuah rumah yang penuh dengan keributan anak-anak, menuju mobil buntut miliknya, namun mesin mobil masih terdengar sangat mulus. Pria ini bernama Dilan. Dia tinggal di sebuah panti asuhan. Meski umurnya sudah cukup untuk hidup mandiri, namun Dilan tetap bertahan tinggal disana. Dilan merupakan seorang montir yang bekerja di sebuah bengkel mobil. Dilan sudah bekerja selama empat tahun dan kini dipercayai sebagai supervisor.
"Tunggu, aku ikut," seru seorang wanita yang terlihat sedang menutup pintu rumah dan bergegas berlari menuju mobil Dilan. Dengan terengah-engah, wanita itu membuka pintu mobil, lalu segera duduk di kursi penumpang, bersebelahan dengan si sopir yang cemberut. Wanita ini bernama Dyra, sahabatnya Dilan di panti asuhan.
"Kemana motormu?"
Wanita itu menoleh ke arah Dilan, sambil menarik garis bibirnya. "Rantainya kendor, jadi tidak enak kalau dibawa jalan."
"Ck, sebenarnya kamu ini naik motor kayak apa sih? Kenapa setiap minggu selalu saja ada yang bermasalah?" gerutu Dilan sambil memasukkan gigi satu perseneling lalu melajukan mobilnya. "Kemarin busi kotor hingga mogok. Lalu hari berikutnya, motor susah di starter gara-gara aki yang soak. Sekarang rantai motor kendor."
"Jangan salahkan aku. Memang motor nya sudah butut, butuh perawatan lebih. Jadi apa boleh buat, selalu deh mengandalkan dirimu yang jago mesin motor," jawab Dyra cuek, sambil memasang sabuk pengaman lalu duduk dengan nyaman. "Ayo cepat berangkat. Meski aku bosnya, tapi aku tidak mau terlambat."
"Ck, bos apaan," ejek Dilan sinis. "Percuma sombong! Cuma kerjaan doang yang nambah, tapi gaji tetap sedatar papan tulis. Buat beli nasgor saja masih hutang."
Cup.. Dyra menyentuh pipi Dilan dan mengecup pipi yang lain. "Aku suka dirimu yang mencemaskan diriku."
"Astaga, jangan main kecup sana sini. Aku bisa ternoda, Dyra," gerutu Dilan kesal sambil membersihkan kedua pipinya dari bekas ciuman Dyra. "Lagian siapa yang mencemaskan dirimu? Aku hanya tidak ingin ada orang yang salah paham dengan kita yang sering terlibat dengan adegan cium mencium."
"Haish, kolot betul," sergah Dyra sambil mencoba untuk mencondongkan badannya lagi untuk mencium pipi Dilan, namun gagal karena pria itu berhasil menghindar dengan cepat. "Itu hanyalah ungkapan penyemangat untukmu, Dilan-ku sayang."
Dyra melipat tangannya di dada sambil berdecak sebal, karena kecupan yang selalu mewakili rasa sayangnya tidak pernah dapat diterima oleh Dilan, pria yang telah menjadi penghuni hatinya semenjak dirinya remaja. Pria ini hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Tetapi Dyra tidak ingin hanya dianggap sebagai sahabat. Dirinya ingin menjadi kekasih pria itu.
"Huek. Jangan mengumbar sayang-sayangan, bikin mual," rutuk kesal Dilan yang berpura-pura muntah sambil memegangi lehernya yang tercekik. "Jangan pernah menciumku lagi. Sekali no, tetap no way. You understand??!"
Dyra adalah sahabat Dilan semenjak remaja. Namun, ada satu yang kurang disukainya, wanita ini terlalu sering menyentuh dirinya, terlalu sering memberikan kecupan demi kecupan padanya. Meski itu diberikan tanpa maksud, tapi... Dilan tidak suka itu. Sahabat ya sahabat, tanpa adegan mesra. Lain halnya dengan kekasih, tentu saja harus penuh dengan adegan mesra sekaligus mesum.
"Tadi sudah izin dengan ibunda, kalau mau berangkat bekerja?" tanya Dilan mengalihkan pembicaraan.
"Sudah."
"Gimana caramu berpamitan?" tanya Dilan sambil mengangkat alisnya.
"Tinggal pamit, apa susahnya?" tanya Dyra balik.
"Apa ayahanda masih bermesraan dengan ibunda, sewaktu kamu berpamitan?"
"Tentu saja, bahkan aku menonton adegan ciuman hot itu selama lima menit penuh, sebelum akhirnya aku berpamitan dengan mereka," jawab Dyra santai. Kemudian Dyra memandang tajam ke arah Dilan. "Kamu.. tidak berpamitan?"
Dilan berdecak dan membuang muka. Di pagi yang sangat cerah ini tidak dapat mencegah perasaan muram Dilan yang lagi-lagi memergoki ayahanda sedang mencumbu mesra ibundanya di dapur. Dilan mengomel sebal dan membuat buruk mood nya, setelah disuguhi pemandangan mesum, yang hampir dilakukan setiap pagi, jika dirinya mengunjungi rumah ibunda yang terletak di sebelah rumah panti asuhan.
Dilan adalah seorang anak yang bertumbuh menjadi laki-laki dewasa. Dan seumur hidupnya tinggal di sebuah panti asuhan. Dilan juga jatuh cinta pada pemilik panti asuhan sekaligus penyelemat hidup serta masa depannya. Dilan menyebut wanita cantik itu dengan sebutan ibunda, seperti anak-anak panti yang lain, untuk meredam perasaan jatuh cintanya yang semakin lama semakin tidak terbendung. Ibunda adalah seorang wanita yang sangat lembut dengan keanggunan seorang ratu. Namun, satu hal yang menghalangi cinta Dilan adalah bahwa wanita yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu telah menikah, punya anak, dan sangat bahagia dengan suami mesumnya itu.
"Kenapa kamu selalu jengkel, bila melihat ibunda dan ayahanda bermesraan? Mereka kan suami istri, jadi wajar-wajar saja. Lagipula tidak ada salahnya memberikan pelajaran romantis pada kita-kita yang jomblo," tegur Dyra yang tidak habis pikir dengan Dylan yang selalu sewot melihat pemandangan manis di rumah ibunda panti asuhan.
Dilan hanya diam membisu, tidak membalas nasehat sahabatnya. Kemudian perhatian Dilan tertuju pada nada dering pesan yang masuk ke ponselnya. Sebuah pesan dari sahabat baiknya.
"Bro, ayo ketemuan. Aku harus curhat."
Dilan segera mengetik balasannya. "Siap bro. Tentukan saja waktunya, kita akan ketemuan." Kirim.
Rama adalah teman masa SMU, yang kini berprofesi sebagai polisi. Dilan sempat tidak percaya mendengar sesumbar sahabatnya bahwa dirinya telah diangkat sebagai asisten detektif pembunuhan. Dilan menggelengkan kepala, heran. Rama kan takut dengan darah dan mayat, bagaimana caranya dia lulus kualifikasi?
"Nanti saja kirim pesan nya. Bahaya, kalau menyetir sambil fokus pada ponsel," tegur lembut Dyra sambil merebut ponsel Dilan dan melemparkannya di pangkuan laki-laki itu.
"Oke."
Meski Dilan mengomel panjang lebar karena harus mengantarkan Dyra berangkat bekerja, namun hatinya senang karena dirinya memiliki teman mengobrol pagi ini. Hatinya sedikit terhibur dengan sahabatnya yang blak-blakan dan tomboi ini.
Dyra bekerja di sebuah kafe yang menyajikan aneka hidangan pizza dengan harga terjangkau. Ditambah dengan aneka minuman kopi dan menu juice buah segar, membuat kafe pizza ini digemari banyak anak muda maupun para pekerja. Dyra sudah bekerja selama lima tahun di kafe pizza itu. Dyra menjadi orang kepercayaan dari pemilik kafe yang mulai sering sakit-sakitan, sehingga tanggung jawab Dyra semakin bertambah berat karena pemilik menyerahkan semua keputusan perihal kafe dan kesejahteraan pegawainya yang berjumlah empat orang itu, pada dirinya.
"Bosmu sudah menyatakan cinta padamu?" tanya Dilan tiba-tiba, membuat Dyra melotot padanya. Bos Dyra adalah seorang perjaka tua yang kesepian. Dan bos itu sangat menyayangi Dyra.
"Dia sudah tua, Dilan. Umurku saja sudah pantas menjadi cucunya," amuk Dyra sambil menarik gemas telinga Dilan. "Jangan ngomong melantur sembarangan."
"Haa-haa-haa.." Dilan tergelak, membayangkan jika Dyra serius menjalin hubungan romantis dengan pria tua itu. Lucu.
"Ck, bosku itu tulus padaku, tidak punya maksud tersembunyi," balas Dyra sambil mengulum senyum membayangkan bosnya yang baik dan pengertian itu. Namun, senyum Dyra langsung menghilang ketika mengingat bos Dilan yang sering menelpon tanpa mengenal waktu. "Tidak seperti bosmu yang suka cari perhatian. Pasti dia sangat menyukaimu.
Dilan melirik Dyra yang cemberut karena membahas si Lady bos. Pemilik bengkel tempat Dilan bekerja yang sangat dicemburui oleh Dyra, walaupun itu tidak masuk akal. Karena bos Dilan sudah memiliki kekasih.
Bersambung...