Brak..
"Kalau bete jangan dilampiaskan pada pintu rumahku. Kasihan dia kalau rusak. Mau mengeluh tidak bisa, mau nangis apa lagi," komentar sinis seseorang yang sedang duduk di sofa, dengan wajah yang tertutup lembaran koran. Pemilik rumah berdecak tidak suka, mendengar seseorang masuk ke dalam rumahnya dan membanting pintu.
Dilan melirik singkat pemilik rumah yang sering disebutnya ayahanda. Dilan mengabaikan komentar menyebalkan itu. Sebelum pulang ke rumah panti asuhan yang berdempetan dengan rumah ini, Dilan selalu menyempatkan diri untuk menyapa rumah ibundanya, pemilik dari panti asuhan, dimana Dilan tinggal. Aktivitas yang selalu dilakukan Dilan, pagi sebelum berangkat bekerja dan malam sebelum kembali ke rumah panti asuhan dan tidur bersama beberapa anak panti asuhan. Di panti asuhan, Dilan menjadi pengawas anak laki-laki disana, sedangkan Dyra menjadi pengawas anak perempuan.
Dilan berjalan terus dan masuk ke dapur. Disana, Dilan menemukan ibundanya sedang memotong buah semangka dan sesekali menyuapi Erica, putri semata wayangnya, dengan potongan kecil buah semangka.
"Sedang apa anak cantik?" sapa Dilan sambil mengusap kepala Erica.
"Oh, Bang Dilan. Sedang mewarnai pelangi," jawab Erica dengan senyum cemerlang nya. Dilan membalas senyuman itu sambil memberikan dua jempolnya pada anak cantik dengan rambutnya yang dikuncir ekor kuda.
"Minta sepotong buahnya," rengek Dilan sambil menunjuk ke arah mulutnya yang terbuka.
Wanita yang dipanggil ibunda oleh Dilan tergelak, melihat anak asuhnya yang manja. Ditusuknya sepotong besar semangka dan diberikan pada Dilan. Ibunda memandang Dilan yang memakan dengan penuh semangat.
"Dilan, kamu terlihat capek."
"Hm-hm. Aku cuma mampir sebentar lalu pulang," jawab Dilan sambil meletakkan kepalanya di bahu ibunda yang sedang duduk di kursi meja makan. Dilan suka bermanja pada ibunda, hatinya langsung merasa nyaman dan tenang. "Jadi orang dewasa itu terkadang melelahkan. Lebih enak menjadi anak kecil. Apa yang ada di dalam hati, itulah yang diucapkan. Tidak ada maksud terselubung."
Pluk-pluk.. "Hei, semangat dong. Apa ada masalah di bengkel?" tanya lembut ibundanya sambil menepuk pipi Dilan dengan penuh sayang.
Dilan mengalungkan kedua lengannya dan memeluk ibundanya. Aneh. Kenapa malam ini tidak ada desiran aneh di dadanya? Biasanya ketika bersentuhan dengan ibunda, dadanya selalu berdebar-debar. Namun, sekarang Dilan hanya merasakan tenang di dekat ibunda. Perasaan kasih sayang ibu dan anak, itulah yang saat ini dirasakan Dilan pada wanita yang sudah memberinya kesempatan kedua untuk memiliki hidup yang lebih baik daripada hidup di jalanan. Tidak ada harapan berlebihan. Itu... aneh.
Sejak kapan dirinya berubah? Seingatnya, tadi padi sewaktu berangkat bekerja, dirinya masih merasakan cemburu dan jengkel luar biasa pada ayahanda yang mencumbu ibunda. Dilan mencoba untuk mengetes hatinya. Dikecupnya pipi ibunda. Dilan menggelengkan kepala, ketika tidak merasakan sesuatu yang spesial seperti kecupan...
"Aduuh," raung Dilan yang keningnya terkena lemparan sendok.
"Jangan sentuh istriku," ancam ayahanda marah sambil menudingkan jarinya ke arah Dilan.
Dilan cemberut melihat ayahandanya yang selalu uring-uringan jika dirinya berada di dekat ibunda. Dengan acuh, Dilan memeluk erat sekali lagi sebelum melepaskan ibunda. Tidak lupa kecupan di pipi ibunda, membuat suami dari ibunda, sewot dan ngamuk.
Ayahanda menggeram marah. "Berani-beraninya kamu..."
"Sayang," tegur lembut ibunda pada suaminya, seraya menggeleng. Anak asuhnya ini selalu saja menggoda dan membuat marah serta cemburu suaminya. Suaminya selalu overprotektif padanya. "Dilan, kamu pulanglah. Cepat istirahat. Oya, kamu sudah makan?"
"Sudah. Baiklah, aku pulang," jawab Dilan yang cuek dengan sikap ayahanda yang tanpa henti melotot padanya.
Well, mungkin sebagai suami dan laki-laki, ayahanda memang merasakan adanya ancaman dari Dilan, yang bersaing untuk memperebutkan ibunda. Tapi, sepertinya itu sudah tidak akan terjadi lagi, sebab perasaannya kepada ibunda bukan lagi cinta seorang laki-laki pada wanita, melainkan hanya rasa sayang kepada ibu asuh. Dan semuanya itu berubah karena satu kecupan dari atasannya.
"Oya, tunggu dulu," panggil ayahanda tiba-tiba. "Aku lupa mau bertanya. Di depan ada Dyra, tapi dia enggan untuk masuk ke rumah, setelah kuberitahu ada dirimu di sini. Kalian sedang ada masalah?"
"Apa kalian bertengkar?" tanya ibunda khawatir karena biasanya Dilan dan Dyra sangat kompak. Meski keduanya sering beradu mulut, namun sangat jarang bertengkar serius.
Mata Dilan memandang nanar hingga ke arah pintu depan rumah. Ingatannya melayang pada beberapa saat yang lalu.
"Aku... aku menyukaimu, Dilan."
Deg.. Dilan membeku mendengarnya. Dilan tetap berdiri memunggungi Dyra. Astaga, jadi selama ini Dyra serius dengan kata-kata nya? Bahwa wanita ini selalu mengatakan menyukai dirinya? Selalu mencari kesempatan untuk menyentuhnya. Ternyata Dyra.. menaruh hati padanya?
"Dilan," bisik Dyra muram karena tidak mendapatkan reaksi dari laki-laki yang disukainya. Otak logika Dyra sudah dapat mengetahui jawabannya, bahwa Dilan akan menolaknya, karena nampaknya hati laki-laki sudah condong ke arah atasan wanita itu. Namun, hati Dyra masih berharap bahwa Dilan akan membalas perasaan nya.
Dilan menarik nafas dengan sesak. Dilan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menengadahkan kepalanya, memandang langit malam yang berbintang.
"Aku menyukaimu sejak kita masih remaja," lanjut Dyra mencoba untuk mendesak Dilan. Dyra melangkah satu demi satu tapak mendekati Dilan yang berdiri dengan postur tubuh tegang. "Apa kamu masih ingat ketika menyelematkanku dari tenggelam di kolam renang? Kamu memberikan bantuan pernafasan padaku dan berjanji bahwa kamu akan selalu menjagaku seumur hidupmu. Aku masih mengingat kejadian itu dengan baik, bahkan aku menyimpan ingatan itu sebagai kenangan terbaikku," desak Dyra yang kini berdiri di depan Dilan yang masih terpaku. "Apa.. kamu sudah melupakannya?"
Dilan memandang muram ke arah Dyra yang menatapnya dengan penuh harap. "Maaf Dyra. Aku.. aku sudah melupakannya."
"Bohong," sahut Dyra cepat, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak percaya kamu melupakan kejadian itu," teriak Dyra sedikit histeris. "Atau kejadian baru-baru ini saja. Waktu aku terserempet sepeda motor hingga tulang kaki kananku retak. Kamu juga berjanji akan menjagaku, Dilan. Bahkan kamu sangat marah pada orang yang menabrakku hingga ingin menuntutnya. Apa kamu juga sudah melupakannya?"
"Maafkan aku, Dyra," ucap Dilan lirih. Dilan mengusap wajahnya. Rupanya selama ini, Dyra telah memupuk harapan dengan kata-kata yang tidak sadar telah diucapkannya. Dyra salah paham dengan perhatiannya selama ini. Bagaimana semuanya menjadi seruwet ini?
"Dilan, aku sangat menyukaimu," desak Dyra lantang. Air matanya sudah mulai terbit, rasa malu sudah ditepisnya jauh-jauh. Dyra tidak ingin kehilangan Dilan, karena laki-laki yang disukainya semakin dekat dengan wanita lain. "Aku.. aku.. menginginkanmu."
"Aku.."
"Jangan dijawab sekarang," sela Dyra sambil mengangkat tangannya, mencegah Dilan berbicara. Dyra sudah mengungkapkan perasaannya, namun Dyra takut mendengar jawaban Dilan. "Aku akan memberi waktu pada kita berdua. Aku akan kembali meneliti hatiku. Dan aku harap kamu juga bisa mewujudkan janji yang sudah kamu berikan padaku. Aku pergi dulu."
"Dilan, Dilan," panggil ibunda sambil menguncang pelan bahu Dilan. "Kamu baik-baik saja?"
Dilan tersentak dari lamunannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya sambil menepuk lembut punggung tangan ibunda.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian berdua? Ibunda tidak ingin kalian bertengkar dan bermusuhan."
"Jangan khawatir, ibunda. Kami hanya sedikit salah paham."
Bersambung...