"Ck-ck-ck.. memang beda ya kalau karyawan spesial di mata dan di hati bos," desis Didik yang bersedekap di depan pintu ruangan lady bos. Didik memandang Dilan yang menutup pintu ruangan bos, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kemarin pulang kerja bareng. Sekarang antar kopi dan ngobrol mesra. Sebentar lagi, semua gosip akan menjadi kenyataan. Hebat. Salut," kejar Didik sambil bertepuk tangan.
Dilan menusukkan jari telunjuk nya ke dada rekan kerjanya. "Jika kamu iri, kamu boleh gantian masuk ruangan bos. Tidak ada yang melarang. Kamu juga bebas berdiskusi dengan bos tentang masalah yang kamu hadapi. Boleh masalah bengkel yang tidak pernah selesai kamu kerjakan, bisa juga masalah kehidupanmu yang menyedihkan, atau masalah hatimu yang terus gagal move on, gara-gara ditinggal kawin sama mantanmu," ketus Dilan yang sebal sambil melotot tajam ke arah Didik yang cuma nyengir.
"Wuih, keluar dari sana langsung sensi," lanjut Didik tidak mau kalah sambil berjalan merangkul Dilan yang berdecak tidak suka dan berusaha menyingkirkan tangan Didik yang bertengger di pundaknya.
"Minggir. Aku sibuk," sembur Dilan kesal.
"Hei, jangan kesal padaku. Kita kan kawan baik," rayu Didik yang berdiri di depan Dilan, kemudian dirinya berjalan mundur karena rekan kerja satu ini sama sekali tidak mau berhenti berjalan.
"Sejak kapan kita menjadi kawan baik?!" sergah Dilan sambil berjongkok di depan mobil yang belum selesai dihandle nya. Masalah mobil ini adalah filter bahan bakar yang tersumbat.
Well, Didik dan Dilan memang bukan teman baik, keduanya hanya sekedar rekan kerja. Didik yang lebih senior daripada Dilan, merasa iri dengan karir Dilan yang meningkat pesat dalam waktu empat tahun. Dari anak magang, diangkat sebagai montir tetap, tidak lama kemudian diangkat sebagai supervisor. Ditambah lagi, sekarang Dilan menjadi anak emas sang lady bos.
Didik dibakar perasaan cemburu yang hebat. Didik harus menelan harga dirinya karena harus menjilat pada Dilan, juniornya, agar promosi untuknya segera tiba. Namun, Dilan hanya menganggap dirinya sama dengan yang lain. Dilan sama sekali tidak menganggap bahwa senioritas dapat menjadi prioritas utama saat pembagian tugas di bengkel.
Didik mengabaikan sindiran Dilan. "Hei, Dilan kasih saran dong, gimana caranya ngobrol enak dan santai dengan lady bos? Aku selalu tegang kalau berhadapan dengan bos. Semua topik pembicaraan yang sudah ku rancang langsung melayang lenyap dari otakku, hanya karena satu pelototan tajam dari lady bos," cerita Didik dengan nada yang dibuat semuram mungkin.
"Pikir sendiri. Sana minggir, aku harus selesaikan ini mobil yang akan diambil pemiliknya sore nanti," geram Dilan dengan mengibaskan tangan ke arah Didik.
"Huh! Dasar sombong, pelit, besar kepala, belagu," umpat Didik sambil berdiri lalu bergegas pergi sambil menghentakkan kakinya, persis seperti anak kecil yang ngambek karena tidak mendapatkan yang diinginkan.
Dilan mengabaikan gerutuan Didik yang tidak mendidik. Dilan melirik ke belakang bahunya. Didik sudah berkeliaran di menjauh darinya. Dilan berdiri dan berpindah ke lain sisi mobil, dimana posisinya tersembunyi dari pandangan ke-kepo-an orang-orang. Dilan merogoh ponselnya di saku celana sebelum berjongkok lagi.
Dilan mengetik pesan dengan cepat, lalu mengirimkannya pada Rama, tentang situasi yang terjadi di bengkel. Rama adalah sahabat baiknya. Dilan hendak memasukkan ponsel itu ke saku, namun membatalkannya karena ponselnya bergetar. Nomer Rama tertera di layar ponselnya. Dilan memindai area di sekitarnya hingga ke belakangnya. Aman.
"Halo," sapa Dilan setelah menekan tombol hijau. Kemudian Dilan menjepit ponsel itu di lekukan bahu dan telinganya. "Kenapa telpon? Kan aku sudah bilang, kirim pesan saja jawabnya. Aku lagi kerja, banyak orang disini."
"Aku kangen."
"Huek," sembur Dilan kesal dan berpura-pura muntah. "Kamu pasti kebanyakan berada di ruang otopsi, makanya semakin lama semakin error bin lebay."
"Kalau begitu jangan hubungi aku lagi. Bye." Lawan bicara Dilan ngambek dan langsung mematikan sambungan ponselnya.
Dilan tergelak pelan, mendapati layar ponselnya menjadi gelap.
Dilan menelpon kembali Rama. "Jangan ngambek dong, nanti situ tambah jelek lo," kata Dilan sambil menahan gelak tawanya.
"Situ yang jelek, jangan bawa-bawa aku," sembur lawan bicara Dilan, sewot.
"Ha-ha-ha.. sesama jomblo jangan saling mengejek deh," kata Dilan dengan suara renyah. Rama memang belahan jiwanya, separuh nafasnya, separuh otaknya, separuh... sudahlah, pokoknya selalu kompak deh.
"Dilan, kurasa aku bukan orang yang cocok untuk kamu mintai bantuan. Aku ini polisi bagian pembunuhan, bukan bagian mencari barang hilang," protes Rama.
"Cerewet. Situ kan polisi. Polisi itu tugasnya membantu masyarakat yang sedang kesulitan. Sekarang aku adalah anggota masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Dan yang paling penting... KAMU ADALAH SAHABATKU, JADI KAMU WAJIB MEMBANTUKU," desis Dilan jengkel, sambil menekankan setiap kata pada kalimat terakhir.
"Ck, terus apa untungnya buatku?"
"Untungnya buatmu, aku akan jadi best man di pernikahan mu," jawab Dilan sambil memperhatikan seorang anak magang yang sedang mondar-mandir di depan stok barang. "Sedang apa dia disana?" batin Dilan heran.
"Hiyaaaa... jangan ingatkan aku soal itu," seru Rama tidak suka. "Aku harus segera curhat padamu, supaya kewarasan ku tetap terjaga."
"Baiklah, pulang kerja aku mampir ke rumahmu," jawab Dilan yang berdiri dan memperhatikan dengan seksama gelagat mencurigakan dari anak magang itu.
"Agak malam saja. Aku ada keperluan mendesak. You.. sekalian menginap di rumahku. Jadi kita bisa ngobrol semalaman."
Dilan berhenti memperhatikan anak magang itu, karena fokusnya teralihkan pada perkataan Rama, sahabatnya, di ponsel. "Keperluan mendesak mu ini terdengar mencurigakan, Rama. Apa kamu mau menghabiskan waktu luang mu di warung game online lagi?" tebak Dilan yang sudah mengetahui kebiasaan buruk temannya. Bermain game online sih oke, tetapi Rama seringkali lupa waktu dan kebablasan.
"He-he-he.. cuma main sebentar. Paling lama dua sampai tiga jam. Aku lagi bete di rumah. My papi selalu merecokiku soal perjodohan. Kupingku jadi tersumbat deh," keluh Rama yang terdengar seperti rengekan.
"Terserahlah," ucap Dilan pasrah. Toh Rama sudah dewasa. Dinasehati juga masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Papi dia saja sudah angkat tangan mengurusi anaknya yang sudah kesengsem dengan dunia anime dan fantasi. "Aku tutup dulu telponnya." Klik.
Dilan memasukkan ponselnya ke saku celana panjangnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari anak magang yang sejak tadi mondar-mandir di area stok barang baru. Dilan berjalan menghampiri anak magang itu dan mengamati dari dekat, apa yang sedang dilakukannya. Dilan melihat anak magang itu sedang mengambil setiap barang lalu mengamatinya dengan seksama, hingga tidak menyadari sekitarnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan disini?" tanya Dilan kalem, namun hal itu mengejutkan anak magang itu. Dia langsung meletakkan kembali barang yang sedang dipegangnya.
"Aku.. aku sedang disuruh Bang Didik untuk mengambil barang-barang," jawab anak magang itu takut. "Kalau tidak percaya, tanya saja pada Bang Didik."
Dilan menatap tajam anak magang itu. "Baiklah. Aku peringatkan, jangan melakukan hal yang mubasir. Ngerti?"
"Ngerti, Bang Dilan."
Bersambung...