Blam..
Dilan menutup pintu ruangan lady bos dan sedikit tertegun. Tiga orang sesama montir, yang mungkin tadinya berdiri di dekat ruangan bos untuk menguping, langsung berhamburan pergi ke segala arah. Dilan hanya mengangkat bahu, cuek.
"Dil, ngobrol apa saja di dalam?" tanya Didik yang kepo pada Dilan yang bersiul sambil meletakkan ponsel dan dompetnya di loker karyawan. Sedangkan Didik berdiri dengan bersandar pada loker besi itu.
Dilan melirik Didik, rekan kerjanya yang lebih senior darinya, namun posisinya di bengkel lebih rendah daripada Dilan. Meski Didik tetap ramah dan tidak menunjukkan rasa iri yang berlebihan padanya, namun Dilan tetap merasa tidak nyaman jika berada di dekatnya. Tahu kan, jika ada orang yang tidak tulus pada kita, alam bawah sadar kita pasti akan memberi peringatan untuk menjaga jarak dengan orang itu.
Dilan menutup pintu loker dengan sedikit keras hingga membuat Didik langsung berdiri tegak. "Sori, tidak sengaja. Mood jelek karena pagi-pagi harus bertemu lady bos yang super dingin."
"Hei, kenapa jutek begitu?" kejar Didik yang tidak ingin melepaskan Dilan sebelum dirinya bercerita tentang apa saja yang diobrolkan di dalam ruangan bos. Itu adalah kebiasaan para montir, selalu berkumpul dan berdiskusi sesudah keluar dari ruang bos. Tapi kali ini, Dilan tidak ingin berbagi, bukan karena dirinya sedang tidak mood, tapi juga karena misi penting dari sang lady bos yaitu mencari pelaku pencurian sparepart bengkel.
"Aku diperintah untuk menghandle mobil si 'barbie man'. Dan itu cukup membuatku bete berat," gerutu Dilan sambil memutar-mutar kunci kontak itu di jemarinya. Barbie man adalah sebutan anak bengkel untuk Bernard, kekasih lady bos, yang selalu rapi dan wangi.
"Whoa, dari nada suaramu yang sinis, apa kamu cemburu?"
Dilan berhenti melangkah. "Cemburu? Apa maksudnya? Aku cemburu pada siapa?" desak Dilan dengan nada naik satu tingkat.
Didik hanya cengengesan dan merangkul bahu Dilan. Dilan berusaha mengedikkan bahunya untuk menyingkirkan tangan itu, tapi Didik malah mengeratkan rangkulannya. Dilan menatap rekan kerjanya dengan pandangan tidak suka.
"Kamu cemburu kan pada barbie man?" goda Didik dengan tangan lainnya memukul pelan dada Dilan.
Dilan sekuat tenaga mendorong Didik menjauh darinya. "Yang benar saja. Mana mungkin aku cemburu pada pria pesolek itu? Ck, buang waktu dan tenaga saja. Lagian aku juga tidak punya pikiran apa-apa tentang lady bos," bantah Dilan sambil sekali lagi mendorong dada Didik yang menghalangi langkahnya menuju parkir karyawan, untuk mengurus mobil si barbie man. "Minggir, aku harus kerja."
"Tapi kalau aku pikir-pikir, lady bos itu sepertinya menyukaimu," ucap Didik sambil menerawang.
Dilan menyambar lengan Didik dan membawanya menjauh dari rekan yang lain yang mulai kepo dengan pembicaraan kami.
"Jangan bicara melantur. Gosip itu sangat kejam," tegur Dilan tajam.
"Kenapa hari ini kamu sensitif sekali, Dilan?" elak Didik sambil menabrakkan bahunya ke bahu Dilan. "Aku hanya mengungkapkan pikiran teman-teman. Bahwa dirimu selalu menjadi anak emas dari lady bos," ungkap Didik dengan nada yang defensif. "Jika bukan karena dia suka padamu, mana mungkin hanya kamu yang selalu dipanggilnya setiap hari?"
Dilan mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya kalian juga setiap hari setor wajah ke lady bos? Kenapa hanya aku yang diusik?"
"Kalau kita setor wajah, paling lama hanya sepuluh menit. Tapi jika dirimu yang dipanggil, bisa sampai satu jam di dalam sana," komentar Didik berapi-api. "Bukannya kamu juga pernah mengeluh, kalau lady bos juga suka menelponmu malam-malam? Itu sudah menjadi bukti kuat kalau dia suka padamu."
Sialan, keluhannya yang memuncak tempo hari, kini menjadi bumerang bagi dirinya. Dilan merutuki dirinya yang kelepasan bicara. Masalahnya, Dilan sangat bete dengan sikap lady bos yang sering menelpon tak kenal waktu, hanya untuk membahas perihal kantor. Benarkah si lady bos suka padanya? Sial, kenapa dirinya malah kepikiran hal menyimpang itu?
"Jangan lupa, lady bos sudah punya barbie man," elak Dilan dengan nada yang dibuat secuek mungkin. Namun, Dilan merasakan desiran aneh di dadanya. "Minggir, aku harus segera bekerja."
Dilan mengambil alat perlengkapan di rak besi dan membawanya ke lahan parkir, dimana mobil si barbie man diparkir. Dilan berhenti dan terdiam di depan pasangan sejoli, SUV merah milik lady bos dan double cabin merah milik barbie man, kemudian melirik muram ke arah mobil Jeep usang miliknya. Dilan meringis dalam hati. Sungguh, terdapat jurang perbedaan yang besar antara mobil mewah dan mobil buntut.
"Hei-hei-hei, untuk apa aku membandingkan mobil kesayanganku," gerutunya setelah sadar dengan pikiran melanturnya. Kemudian Dilan menghampiri mobil buntutnya. Dielusnya dengan penuh sayang sambil berkata, "Jangan khawatir. Aku tetap cinta kamu, apa pun yang terjadi."
Dilan menekan tombol kunci kontak mobil double cabin itu. "Kenapa tadi aku tidak melihat ini mobil ya?" gumam Dilan sambil membuka kap mesin. Memang sih, dari tempat parkir mobilnya, posisi mobil ini terhalang oleh mobil SUV milik lady bos. "Atau di mataku hanya terlihat mobil lady bos?" lanjut Dilan bingung sambil menggelengkan kepala, heran.
Dua jam berlalu tanpa disadari Dilan ketika mengotak-atik kap mesin mobil si barbie man. Dilan sudah berkeringatan dan belepotan debu-debu yang menghitam pada mesin. Karena mobil ini hanya dipoles body depan saja saja, sedangkan bagian body mesin sama sekali tidak terurus. Persis seperti pemiliknya. Body depan selalu kinclong dan menawan, tapi siapa yang tahu body dalamnya, bisa saja penuh duri dan semak belukar.
"Hush! Kenapa aku terus merutuki si barbie man?" geram Dilan sambil melemparkan kunci Inggris ke kotak peralatan yang terletak di sebelah kakinya. Kemudian terdiam dengan mata menatap mobil SUV milik lady bos. "Benarkah aku cemburu? Masa iya sih? Ck-ck, semua ini gara-gara ocehan ngawur Didik. Sekarang aku jadi kepikiran macam-macam."
Pemilik bengkel atau yang sering dipanggil lady bos ini bernama Diandra. Seorang wanita yang berasal dari keluarga kaya, yang memiliki usaha otomotif terbesar di kota. Diandra lebih memilih membuka bengkel miliknya sendiri, daripada ikut terlibat dalam perusahaan besar milik keluarganya.
Dari tempatnya berdiri mengerjakan mobil si barbie man, Dilan bisa melihat jendela kaca ruangan lady bos. Jujur, Dilan memang sangat respek pada lady bos yang hebat dan tangguh karena bekerja di lingkungan para pria. Selain itu lady bos juga sangat cantik. Jika saja lady bos lebih sering tersenyum daripada memasang wajah garang, pasti bidadari di langit akan merasa tersaingi kecantikannya.
"Well, jika seorang yang sangat kita hormati, menaruh perhatian lebih kepada kita, sikap apa yang harus kita ambil?" monolog Dilan yang kini membuka kap mesin dari mobil lady bos untuk mengecek radiator aki. "Merasa tersanjung atau menjadi besar kepala atau justru jatuh cinta?"
Dilan terkesiap mendapati kesimpulan nya sendiri. Dada Dilan berdebar-debar, melihat adanya kemungkinan lady bos benar-benar menaruh hati padanya. Pikiran itu membuat Dilan memikirkan Diandra, si lady bos dengan sudut pandang yang berbeda. Biasanya murni antara atasan dan bawahan. Kini menjadi tidak murni lagi, karena dirinya menjadi bawahan yang besar kepala, oleh sebab diperhatikan lebih oleh atasan wanitanya.
Well, Dilan tidak pernah punya masalah jika dirinya menaruh hati pada wanita yang lebih tua dari usianya. Karena sepanjang masa remajanya, hatinya telah dihabiskan untuk mengagumi ibunda, sang ibu panti yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita anggun yang telah menyelematkan hidupnya dari jalanan.
"Jadi, apakah aku pantas untuk Diandra?" pikir Dilan melantur.
Bersambung...