"Dilan, kita bisa pulang sekarang?"
Bukan hanya Dilan yang terpaku mendengar pertanyaan itu, namun tiga rekan montir dan dua anak magang juga ikut tertegun. Pertanyaan yang dilontarkan si lady bos pada Dilan, seakan ada seseorang yang menekan tombol 'pause' pada sebuah adegan film. Semuanya lantas diam membeku, sebagian memandang nanar pada lady bos, sebagian lagi memandang takjub pada Dilan yang tiba-tiba menjadi sangat akrab dengan atasan mereka, hingga mempunyai acara pulang kantor bersama. Karena selama ini, diketahui bahwa lady bos hanya akan pergi sendiri atau pergi bersama barbie man. Tidak pernah terlalu dekat dengan pegawainya.
"Aku akan menunggumu di lobi bengkel," lanjut lady bos sambil meninggalkan area perawatan mobil itu.
Kemudian seolah ada seseorang yang menekan tombol 'play', tiba-tiba suara gemuruh bak dengungan tawon langsung mengerumuni Dilan. Didik, rekan kerja Dilan yang paling kepo dan menyebalkan, langsung berlagak menjadi wartawan.
"Ehem-ehem." Didik berdehem di depan tangan kanannya yang mengepal, yang dianggapnya sebagai mik untuk mewawancarai artis yang terciduk bermesraan. Dilan berdecak sebal melihat sikap berlebihan itu.
"Apakah gosip itu benar? Jadi benar ya, bahwa saat ini anda sedang menjalin hubungan dengan Nona Diandra, si lady bos, pemilik bengkel otomotif nomer satu di kota? Sudah berapa lama anda menjalin hubungan istimewa ini? Apa yang membuat anda, pada akhirnya mempublikasikan hubungan spesial ini?" Didik memberondong Dilan dengan sejuta pertanyaan.
"Kepo," ketus Dilan sambil menyingkirkan Didik dari depannya. "Hei, apa-apaan ini," teriak kesal Dilan yang tiba-tiba kedua tangannya dicekal oleh dua anak magang. "Lepaskan aku!"
"Jawab dulu," bantah Didik sambil mengarahkan kepalan tangannya yang dialihfungsikan sebagai mik, di dekat bibir Dilan.
"No comment," sembur Dilan kesal. "Cepat lepaskan aku," perintah Dilan sambil memberontak lepas. Dilan memandang tajam ke arah anak magang itu bergantian. "Kalian berdua mau kuberi nilai minus? Huh?!"
Seketika keduanya langsung mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Maaf bang," seru keduanya menyesal.
"Bagus. Sekarang aku mau mengantar the lady go home," tantang Dilan sambil menudingkan jari tengahnya pada Didik. "Jangan berani bergosip di belakangku, jika tidak ingin mendapat bogem mentah dariku," ancam Dilan sambil menuding wajah-wajah rekan kerjanya satu per satu. "Aku pulang dulu."
Di lobi bengkel.
Lady bos membuka pintu mobil Jeep buntut milik Dilan. Meski sudah usang, namun Dilan selalu merawatnya dengan baik, sehingga mesinnya masih mulus tak bercacat. Mobil Jeep ini dibelinya setelah menabung bertahun-tahun dengan kerja serabutan, lalu ditambah gaji sebagai montir selama tiga tahun. Alhasil, kerja keras membuahkan hasil meski tidak se-wow orang lain. Namun, Dilan puas dengan pencapaiannya.
"Kamu mau ditraktir makan apa?" tawar lady bos setelah duduk manis di kursi penumpang.
Dilan melirik lady bos dari kaca spion tengah. "Aku ikut saja. Anda ingin makan apa, aku ikut saja."
"Baiklah," sahut lady bos sambil mengangguk. "Ada sebuah kafe pizza di dekat area perkantoran mall. Sudah lama aku ingin datang kesana, tapi aku tidak punya teman untuk datang mencoba. Kita kesana ya."
Deg.. Dilan menggigit bibir bawahnya. Dilan merasa cemas, karena kafe pizza yang dimaksud lady bos adalah kafe dimana Dyra bekerja. "Yang benar saja,"rutuk Dilan sambil mencengkram kemudinya erat-erat hingga memutih kuku jari tangannya. "Ini namanya mencari masalah," gerutu Dilan.
Dyra, sahabatnya di panti asuhan, sama sekali tidak menyukai atasannya karena sering mengganggu dengan menelpon malam-malam. Selain itu, Dyra juga sering mengatakan dengan sewot, bahwa atasannya ini menyukai Dilan. Tidak mungkin, tanpa alasan seorang atasan apalagi dia seorang wanita, terus menerus meneror soal pekerjaan, siang dan malam, jika dia tidak menaruh hati pada Dilan. Begitulah argumen Dyra. Dilan mendadak diserang sakit kepala pusing tujuh keliling.
"Kenapa memilih tempat itu?" tanya Dilan penasaran. Jika memungkinan, Dilan akan mengalihkan pilihan lady bos ke tempat lain.
"Seperti yang aku bilang tadi. Aku ingin mencoba makan disana. Review dari beberapa temanku yang pernah makan disana, katanya enak menu makanan dan kopinya. Tetapi Bernard tidak pernah mau makan disana. Sedangkan aku, jarang sekali punya kesempatan makan bersama teman."
Dilan menggelengkan kepala dan meringis. Bernard adalah kekasih lady bos yang sering dikenal dengan sebutan si barbie man. Memangnya selama ini, mereka berdua makan dimana sih? Kan tidak mungkin, tiap hari makan dengan piring berlapis emas dan berlian, alias di restoran mahal. Harusnya sesekali perlu makan di atas piring obralan, yang tidak lain di kafe dan restoran pinggir jalan.
Dilan memandang langit-langit mobilnya sambil menghembuskan nafas. Baiklah. Perintah lady bos adalah mutlak hukumnya. Sepertinya perang dingin tidak mungkin dihindarkan lagi. Dengan pasrah, Dilan mengarahkan mobilnya menuju ke lokasi pertempuran, yaitu kafe pizza tempat Dyra bekerja.
Kafe Pizza.
Brak. Lady bos menutup pintu mobil Dilan dengan bersemangat, karena akan mencoba sesuatu yang telah diinginkannya sejak lama. Sedangkan Dilan menunggu beberapa detik untuk mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin dalam paru-paru nya, lalu menghembuskannya perlahan. Dilan merasa gentar memasuki kafe pizza ini. Karena Dyra, sahabat baiknya ini bisa dibilang membenci atasannya, meski keduanya belum pernah bertemu tatap muka.
Kling.. "Selamat datang."
Dilan masuk dan mendapati Dyra sedang berada bertugas di meja pesan dan melayani lady bos yang sibuk memilih. Dyra tersenyum melihat Dilan, sahabatnya datang ke kafe nya. Namun senyum itu perlahan menghilang ketika Dilan berdiri di samping wanita yang didepannya, yang dari tadi belum juga selesai memilih menu.
"Dilan, kamu pesan apa?" tanya lady bos dengan mata tetap meneliti menu pizza yang semuanya nampak lezat. "Aku pesan yang direkomendasikan saja. Masing-masing minta dua porsi. Aku pesan minumnya kopi hitam dan jus jambu merah."
Dilan hanya bisa meringis ketika tatapan sinar mata Dyra yang bak laser mematikan, memaku dirinya. Dyra bertanya tanpa suara padanya, siapa wanita ini?
"Hai Dyra," sapa Dilan pelan. Lady bos melirik ke arahnya.
"Kamu sering datang kemari ya?" tanya lady bos heran, karena Dilan mengenal pramusaji di kafe pizza ini.
"Ini tempat kerja temanku,"jawab Dilan dengan suara sedikit gemetar. "Mari kuperkenalkan, ini Diandra, bosku. Dan ini Dyra, sahabatku."
Raut wajah Dyra semakin tegang. Jadi ini rupanya wanita yang selalu menelpon Dilan tanpa mengenal waktu. Pertama kali Dilan mengajak wanita ke kafenya, pria ini langsung mengajak atasannya yang diprediksi Dyra menaruh hati pada Dilan.
"Dilan, giliran kamu. Kamu mau pesan apa?" tanya Dyra dengan senyum yang mematikan.
"Aku pesan kopi seperti biasanya,"jawab Dilan pelan dan takut. "Tapi kali ini, pesanan kopiku tanpa campuran sianida ya," lanjut Dilan sambil meringis.
"Baik,"sahut Dyra ketus dan menekan tombol di check register dengan kasar. "Totalnya semuanya..."
"Ini uangnya, tidak perlu kembalian. Tolong pesanannya tidak pakai lama ya. Karena waktu adalah uang," ucap datar si lady bos, yang masih bisa ditangkap telinga Dilan, sebelum dirinya menjauh dari meja pesan. Nampaknya lady bos juga merasakan aura permusuhan dari pramusaji dari kafe pizza ini.
Dilan melirik ekspresi sahabatnya, Dyra yang ingin memakan orang hidup-hidup, karena mendengar ejekan halus itu. Dilan hanya bisa memberikan senyum terbaik dan termanis untuk Dyra.
Bersambung...