BAB 1
Pagi hari kali ini, udara dingin dari pendingin ruangan mulai masuk ke pori-pori kulit Zefa. Ia merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang masih terlelap di atas kasurnya.
Dengan posisi kaki kirinya yang hampir terjatuh kelantai dan keluar dari dalam selimut, membuatnya sedikit tersadar dari tidur panjang tersebut. Ia membuka sedikit matanya dan melihat ke arah jam dinding yang menempel di samping kiri.
"Emm? Masih jam tiga pagi," ucapnya dengan suara serak dan masih setengah sadar. Zefa mulai merasakan dingin dari ac yang ada di kamarnya dan menyadari kakinya masih menggantung di pinggir kasur.
Ia lantas memasukkan kakinya ke dalam selimut lalu kembali menutup mata. Namun, nada dering dari ponsel miliknya membuyarkan mimpi indah yang baru saja akan ia susun ulang.
"Siapa sih yang nelpon pagi-pagi begini," gerutunya. Zefa lantas meraba-raba meja tempat ponselnya berdering dengan matanya masih terpenam.
"Halo," sapanya tanpa menilik terlebih dahulu, siapa yang menghubunginya.
"Kamu sedang apa? Bangun gih, dah pagi." Zefa memutar bola mata jengah, ketika suara tak asing yang sudah membuatnya kesal pagi-pagi. Zefa pun menarik napas dalam-dalam.
"Ini udah bangun by."
"Nah gitu dong, pacar Joshua harus bangun pagi. Yaudah sana mandi." Panggilan tersebut pun mati secara sepihak. Membuat Zefa kesal, sampai ia melampiaskan amarahnya dengan melempar bantal ke arah tembok kamarnya.
"Aish! mana ada orang mandi jam 3 pagi gini, dia gila atau emang so rajin!" gerutu Zefa. Ia pun kemudian menarik selimutnya kembali serta memilih untuk melanjutkan tidurnya.
***
"Zefa, nak bangun yuk." Seorang wanita paruh baya membuka kamar Zefa dan melihat posisi tidur putrinya yang sangat aneh, sebaik mungkin Ibu Zefa menahan senyumnya saat melihat kaki Zefa yang terjuntai keluar dari area tempat tidur.
Ibu Zefa—Clara dengan lembut menarik selimut putrinya yang masih terlelap.
'Aduh Bu... Andai saja Ibu tahu tadi pagi Joshua sudah lebih dulu membangunkan' batin Zeya dengan pura-pura tidak mendegarkan apa yang ibunya katakan.
"Zefa bangun udah pagi loh." ulang Clara dengan melipat selimut Zefa dan menggeming tubuh anaknya agar lekas bangun.
"Nanti bu," sahut Zefa yang mulai tersadar dengan keberadaan Ibunya. Ia kembali meraih selimut tebal dari tangan beliau serta menyelimuti tubuhnya kembali.
Sulit sekali membangunkan Zefa setiap paginya. Beliau bahkan harus berkacak pinggang serta selalu mencari ide agar bisa membangukan Zefa agar mau beranjak dari tempat tidur.
Clara pun akhirnya memiliki sebuah ide cemerlang, beliau perlahan mendekat kepada Zefa, serta membisikkan sesuatu yang pastinya akan membuat anaknya terperanjat.
"Joshua udah datang tuh, dia lagi nunggu di ruang makan." Sontak saja, mendengar nama Joshua. Zefa langsung membuka matanya dengan lebar dan bangun dari tempat tidur.
"Beneran Bu? Aku harus segera pergi." Dengan sedikit terhuyung, Zefa buru-buru beranjak dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi. Clara tersenyum puas saat melihat putrinya bangun dengan cepat tanpa ia harus berteriak padanya.
Joshua ternyata sangat, berpengaruh bagi Puterinya.
***
"Kemana gadis pemalas itu," seloroh seorang pria tinggi berambut sedikit panjang dan berkumis tipis yang baru saja turun dari lantai dua.
Brian yang sedang memegang koran pun langsung menurunkan sedikit bacaannya dan menatap kearah Putra laki-laki yang berdiri tepat di depannya.
"Bukaannya kamar kalian berhadap-hadapan? Lagian kamu Bimo, udah tahu adekmu itu susah dibangunin, kamu yang kamarnya dekat gak mau bangunin."
Bimo menarik kursi dari dalam bawah meja lalu duduk di atasnya. "Males Yah, nanti nih ya kalo Bimo bangunin si Zefa pasti bakalan lempar banyak yang bercorak pulau bau itu ihh."
Mendengar celoteh dari putra sulungnya, Brian menahan senyum serta menaikan kembali koran sampai menutupi kumis dan alis tebalnya.
"Heh heh heh, apa tadi? Corak pulau?" tanya Zefa. Presensi gadis dengan badan ramping, serta kakinya yang jenjang dan matanya bulat sempurna itu pun berkacak pinggang menghadap kakaknya yang membicarakan ia sampai Zefa siap untuk mengibarkan bendera perang pada pagi kali ini.
"Lah ini dia ratu di rumah ini," ejek Bimo seraya memakan apel yang ada di meja. Ia memperhatikan adiknya yang mengibaskan rambut sepunggung tersebut, lengkap dengan menelisik seragam sekolahnya.
"Woo tentu. Apalagi kulitku putih dan cantik jadi bisa lah di samain dengan Ratu," sahut Zefa dengan percaya diri. Ia menjulurkan lidahnya sejemang kepada Bimo serta lekas duduk di sampingnya.
Sontak Bimo langsung tersedak setelah mendengar apa yang Zefa katakan, ia lantas menatap ke arah adiknya yang kini sedang memainkan ponselnya.
"Oi anak pungut!"
"Kalian!" tegur Ayah tanpa menurunkan korannya. Zefa dan Bimo pun terdiam karena mendengar suara Ayah dengan nada tinggi. Menandakan bahwa candaan keduanya hampir saja melewati batas.
***
"Zefa berangkat Mah, Yah." Ia mencium tangan kedua orang tuanya. Serta tak lama setelah itu suara klakson motor mulai terdengar dari luar pagar rumah. Jelas Zefa sangat mengenali siapa pemilik motor ini namun dia diam dan masih berpamitan dengan kedua orang tuanya.
"Tuh Joshua udah nunggu," ucap Clata seraya menunjuk dengan dagunya.
Zefa sontak mengernyitkan dahi. "Mah, Yah Zefa pergi," pamitnya. Ia pun berbalik dan berjalan ke arah gerbang rumah.
"Lama banget sih kamu, aku capek nunggunya," cetus Joshua dengan semua sambutan pagi hari untuk Zefa.
"Nih pake." Joshua memberikan helm kepada Zefa yang menghela napas panjangnya karena masih terlalu pagi untuk menerima omelan dari Joshua kekasihnya.
'Ya udah siapa suruh siapa antar jemput sih kalau cape!' gerutu Zefa dalam hatinya.
"Dah naik?" tanya Joshua dengan memengang kedua setir motor.
"Yo," balas singkat Zefa. Mesin motor mulai menyala dan mereka berdua berangkat sekolah. Di sepanjang perjalan Zefa sempat berpikir, Bagaimana mungkin ia bisa pacaran dengan cowok seposesif ini.
Atau mungkin Joshua yang tampan serta populer di sekolah ini mengidap penyakit bipolar yang membuat Zefa harus terus mengusap dada sabar.
Zefa juga mulai mengingat kembali kenangan lamanya dengan Joshua sang kakak kelas sekaligus kekasihnya ini.
Flashback on.
Bel istirahat berbunyi. Zefa yang mendengar hal tersebut langsung menumpuk bukunya dan meletakkan kepalanya di atas buku lalu memejamkan mata. Ia tidak pernah perduli tentang jam istirahat atau jam pelajaran dan dirinya lebih memilih untuk tidur.
Di kelas, Zefa terkenal sebagai seorang siswi pemalas, saat jam istirahat jarang sekali ia keluar dari kelas walau hanya untuk sekedar membuang sampah. Itupun ia lakukan saat pulang sekolah.
Namun di sisi lain, dia juga terkenal akan ke pintarannya. Entah apa yang ada di otak Zefa selama ini, moto hidupnya adalah 'sleep is my life'.
"Zefa ayo ke kantin," ajak seorang gadis dengan menebalkan lipstik di bibirnya.
"Banyak cowok ganteng di kantin lo," sambungnya dengan menepuk-nepukkan bedak sejemang pada pipi berisi.
"Pergi saja sendiri, aku mau tidur," tolak Zefa. Seperti biasanya Zefa menolak ajakan teman perempuannya itu yang bernama Maria.
Selama Maria berteman dengan Zefa. Jarang sekali Zefa menyetujui ajakannya untuk ke kantin, bahkan saat di kelas satu ia tidak pernah sekalipun ke kantin.
Apakah Zefa lapar? Ya tentu. Apakah dia tidak ingin makan? Tentu ingin. Namun kemalasan yang sudah merasuk keseluruh tubuhnya membuat ia terus saja menempel di atas meja tempatnya tertidur.
Ia lebih memilih menahan laparnya ketimbang berjalan ke kantin. Maria dan Aguslah teman yang Zefa miliki, terkadang mereka berdua juga membelikan Zefa makan siang.
"Lah lu tidur mulu," sosor seorang pria yang memiliki kumis tipis. Agus berdiri tepat di samping meja Zefa dan melihatnya yang mulai tertidur. Sesat ia menatap kearah Maria.
"Dia sudah tidur," ucapnya dengan sangat pelan. Maria menarik napasnya dalam-dalam. Ia menusuk-nusuk pinggang Zefa dengan jari telunjukknya.
"Bangun pemalas, kamu gak pernah ke kantin waktu kelas sepuluh, masak iya waktu udah kelas sebelas gak pernah mau ke kantin lagi."
Zefa yang tengah tertidur itupun merasa kegelian, sontak ia terbangun dari tidurnya lalu menahan tangan Maria agar tidak menusuknya lagi.
"Hentikan, aku malas untuk ke kantin, ribet tau," elaknya. Maria menurunkan tangannya lalu duduk bersebelahan dengan Zefa.
"Ribet gimana?"
"Nanti nih ya, aku harus bangun terus jalan ke kantin terus duduk lagi, terus makan terus habis itu jalan dan terakhir duduk lagi," jawab Zefa seraya kembali menjatuhkan kepalanya diatas tumpukan buku.
Gadis manis—Maria itu menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala mendengar alasan Zefa yang benar-benar di luar dugaan manusia normal. Lalu sekarang, Maria mulai sadar mengapa Zefa selalu duduk di bangku belakang dan bagian pojok.
Karena dia tidak pandai berteman dengan benar.
'Aku harus mengajak Zefa ke kantin apapun yang terjadi' batin Maria.
"Ayo Zefa," paksa Maria dengan menarik tangan Zefa.
Zefa yang dipaksa oleh Maria akhirnya mengiyakan permintaanya dengan menganggukkan kepala, saking menyerahnya terus di gangu oleh teman wanita satu itu.
Karena yang Zefa tahu, Maria akan marah jika ia sudah kesal. Melihat Zefa yang menyanggupi permintaan Maria. Sontak saja membuat kedua temannya bertepuk tangan girang.
Akhirnya, Zefa mau juga diajak ke kantin.
***
Di sepanjang perjalan ke tempat istirahat paling menyenangkan tersebut, Maria dan Agus selalu bercerita dan karena posisi Zefa berada di tengah membuatnya harus mendegar setiap ocehan mereka berdua.
Namun tak lama kemudian, pandangan Zefa tertuju pada lorong yang dipenuhi oleh segerombolan senior kelas dua belas yang membuatnya terhenti.
Agus dan Maria yang berjalan satu langkah mendahului Zefa langsung berhenti saat melihat Zefa terpaku diam di pijakannya.
"Ada apa?" tanya Agus. Zefa berjalan ke tengah kedua temannya lalu mulai berbisik dengan bola mata yang memutar ke arah kiri.
"Apa kita akan lewat sana?" Mendengar pertanyaan dari Zefa, membuat Maria dan Agus saling bertukar pandang saking herannya.
"Iyalah, kan jalannya cuma di situ doang," sahut Agus.
"Kau seperti anak baru saja," timpal Maria.
"Mending gak usah ke kantin aja, aku gak berani lewat ke arah para senior itu. Kata Lili teman kita, para senior itu menyeramkan, terutama Joshua."
"Menyeramkan? Seperti apa?"
Apa ini, berbahaya untuk Zefa?
To Be Continued...