Chereads / Between Us : Apologize / Chapter 4 - Wonderland

Chapter 4 - Wonderland

"Gimana nih di tolak?" tanya Ari yang duduk di sebelah Joshua. Temannya itu mengeluarkan kotak kecil yang ia bawa serta meletakkannya—malas ke atas meja.

Suasana hati Joshua tengah sangat memburuk sekarang. Ari pun menjadi lebih perhitungan ketika ingin meledek Joshua.

Pria tersebut tengah menatap tajam kotak yang bernasib malang sebab tergeletak di tong sampah. "Tenang aja Bro. Cewek masih banyak, lagian gak cuma satu dua yang mau ditembak sama Joshua si paripurna sekolah," dukung Ari.

Ia merangkul bahu temannya untuk memberikan hiburan walau Joshua mengacak—kacau rambutnya serta menyandarkan tubuh lelah ke sandaran sofa. "Hah, baru kali ini ada cewek yang nolak," ungkap Joshua.

Ia terus saja memikirkan penolahkan yang terjadi pada dirinya beberapa saat lalu. Zefa benar-benar menjadi orang pertama yang menginjak-injak harga diri Joshua. Ia bahkan berani mendorong tubuhnya di depan siswa lain.

"Aku tetap akan mengejarnya. Biar ku taklukan dia dan memberitahu, seberapa hebat Joshua ini," ungkapnya. Ia menyeringgai ketika kini, mendapat sasaran untuk bersenang-senang.

Sama halnya dengan Ari yang mengulas senyum kecut tatkala mendengar Joshua kini akan mengincar buruan. Jelas, ia tahu persis tipikal manusia minim kesabaran tersebut.

Sekalinya jadi sasaran. Maka Joshua tidak akan pernah menyerah sebelum mendapatkannya

***

Sore ini Zefa tengah menunggu Bimo yang akan menjemputnya di depan sekolah. Sambil menyematkan earphone di telinganya Zefa mendengarkan lagu favorit yang berjudul 'My Time' dengan penyanyi seorang idol korea bernama Jungkook.

Zefa menyandarkan punggungnya—lelah di pagar gerbang sekolah. Walau suara klakson dari motor Bimo yang baru sadar menyadarkan Zefa dari kenikmatan mendengarkan lagu yang ia putar pun, membuat Zefa mendengkus sebal.

Ia lantas melepaskan earphone dan berjalan kearah Bimo. "Ku kira kamu udah pulang dek," ucap Bimo dengan menyodorkan sebuah helm berwarna hitam kepada Zefa.

Adik Bimo itu pun, lantas mengambil helm yang di berikan kakaknya, serta lekas memasanh benda tersebut. "Mana mungkin aku pulang, siapa juga yang bakalah nganter pulang?" sahutnya.

Zefa kemudian naik ke atas motor Bimo serta tidak lupa, menata rok pendeknya, untuk menutupi lutut. "Pacar lu? Oh ya lupa, adik jelek ku tidak punya gebetan," ejek Bimo seraya menyalakan mesin motor.

Zefa mencoba untuk menahan amarahnya, walau tangan yang tidak mau menuruti kata hatinya itupun, melayangkan sebuah cubitan yang membuat kakaknya mengerang kuat.

"Arghh! Sakit dek!" sosor Bimo.

"Jalan, buru genderuwo!" bentak Zefa. Bimo pun menarik pedal gas ketika adiknya benar-benar tengah mengamuk.

Disisi lain, mobil yang terparkir tak jauh dari sana pun mulai menyalakan mesin. Dengan Joshua yang memperhatikan Zefa dari sana.

Ia menatap tajam kendaraan Zefa yang melakukan bersama dengan pacarnya. Meremat kuat setir kemudi hingga Joshua menjadi geram tidak jelas.

Sebab ia, tertarik begitu cepat, dengan wanita bernama Zefa itu.

***

Sesampainya di rumah. Zefa langsung meluncur ke tempat tidur dan berbaring di atasnya. Ia menatap langit-langit kamar yang berwarna putih kebiruan.

Mengingat kembali, momen ketika Joshua mengungkung tubuhnya hingga membuat Zefa pun menggeleng dengan cepat. Ia lekas beranjak bangkit, sertaekas melepas sepatu—malas dan kembali meluruskan badannya.

Zefa sungguh tidak mengerti, bagaimana bisa. Seorang Joshua meletakkan kotak kecil yang menjadi pertanda jika dia tengah mengincar dirinya itu secara tiba-tiba?

Maksud Zefa, ia tidak paham dengan jalan pikiran seniornya itu sebab, mereka pun baru saja bertemu.

Zefa lantas memilih untuk menutup matanya. Walau nada dering dari ponselnya itu membuat Zefa berdecak, kemudian merogoh saku rok sekolahnya.

Ia baru saja akan memasuki gerbang menuju alam mimpi, menggerutu sebal karena seseorang menganggunya hingga ia kembali tersadar. "Siapa sih telpon-telpon hah? gak tau apa orang lagi tidur," sabutnya kasar.

"Berani juga ya kamu langsung marah-marah." Mendengar suara si penelpon membuat Zefa membelalak sebab kini nada pria tersebut sangat tidak asing di telinganya.

Zefa spontan terlonjak bangun. Ia melihat layar ponsel walau nomer tersebut belum tersimpan di kontak telepon digitalnya.

Bagaimana mungkin, Joshua bisa mempunyai nomer ponsel miliknya. "Halo Halo Zefa?"

"Oh, halo Kak Joshua," balas Zefa dengan sedikit kaku bercampur bingung yang tengah menghujamnya saat ini.

"Wah, kau tahu namaku ya tidak disangka, bener apa yang dikatakan orang-orang kalau kau itu pintar," pujinya tiba-tiba.

Zefa mengigit jempolnya gemas. Pikirannya tiba-tiba saja berkecamuk sebab, apa dia menelpon hanya untuk mengomentari kepintarannya saja?

Ia juga sangat ingin mematikan panggilan yang tengah tersambung itu. Walau Zefa tidak berani mematikannya secara sepihak.

"Lah kok malah diem aja?" tanya Joshua kembali.

"Oh halo kak, maaf tadi ada sedikit gangguan, jadi apa ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. Joshua hendak akan menjawab pertanyaan Zefa, sebelum ia mendengar jika Ibunya Zefa—Clara, mengetuk pintu calon pacarnya tersebut.

"Zefa ayo turun makan malam," ajak Clara.

"Iya bu bentar," sahut Zefa. Ia mengacungkan jempol kepada Ibunya. Mencoba untuk mencari kata yang tepat untuk melakukan perpisahan dengan Joshua.

"Maaf kak sebelumnya tapi..."

"Ya sudah, Ibumu sudah memanggil. Cepat gih, samperin," potong Joshua. Zefa baru saja akan menjawabnya kembali, untuk mengatakan Terima kasih atas pengertiannya.

Walau sambungan telepon tersebut pun, pada akhirnya di putus dari pihak penelpon secara sepihak.

Sukses! Membuat Zefa mendengkus kesal hingga ia melempar ponsel tak bersalahnya itu ke arah bantal.

"Kakak kelas sialan! Menganggu sekali!" gerutunya.

***

Bel istirahat pertama baru saja berbunyi, semua orang yang ada di kelas pun pergi ke kantin untuk makan siang kecuali Zefa. Setelah Agus dan Maria pergi. Zefa bangun dari tempat duduknya serta lekas beranjak menuju toilet.

Walau hanya untuk melakukan kegiatan cuci tangan serta akan kembali ke kelasnya. Namun, hal-hal tak terduga di sebuah kehidupan memang selalu terjadi.

Zefa malah melihat dari pantulan cermin, serta menangkap tiga presensi siswi lainnya masuk ke dalam toilet, serta berdiri di samping Zefa.

"Citra tuh liat," ucap siswi bernama Olive. Ia menunjuk ke arah Zefa dengan menggerakkan torsonya.

Citra yang tengah asyik dengan ponselnya itu pun, langsung mendongakkan kepalanya dan melihat kearah Zefa, seringaian menyeramkan tiba-tiba saja mencuat keluar hingga membuat Zefa merasa terheran sekaligus takut.

Ponsel yang ia pegang pun langsung Citra masukkan ke saku roknya. Menghampiri Zefa yang tidak tahu menahu dengan tapapan arogan dari ketiga wanita di hadapannya.

"Oh, jadi ini adik kelas yang bikin Joshua tertarik?" ucapnya dengan menyampirkan lengan pada pundak Zefa.

"Bener tuh Cit, dia orangnya," sahut Siswi satunya dengan name tag Lisa. Ia tengah sibuk menebalkan bedak, serta menatap ke arah cermin bulat di hadapannya.

Zefa saat itu hanya diam tidak perduli. Ia meningkatkan bahu untuk menyingkirkan lengan Citra, serta menyalakan kembali keran yang telah Zefa matikan dan kembali mencuci tangannya.

Zefa harus menyibukkan diri dengan hal lain, lagipula, Joshua ataupun masalah kakak-kakak senior ini. Zefa sungguh sangat tidak peduli.

Walau respon tersebut, sangat berbeda sekali bagi Citra yang merasa di abaikan. Emosinya meluap naik, hingga ia menarik lengan Zefa dengan kasar.

"Ck, sombong banget sih, lu tahu siapa gue hah? Gue adalah calon pacar Joshua," sosornya dengan menusuk-nusuk dada tengah Zefa dengan jari telunjuknya.

Zefa yang saat itu paling benci di tunjuk-tunjuk langsung menatap ke arah tangan Citra yang menusuk raganya hingga Zefa harus mundur beberapa langkah.

Toh, ia juga bukan adik kelas penurut atau tunduk serta mau di perlakukan seperti sekarang ini. Zefa lantas menahan jemari Citra, sebelum emosinya menginginkan hal yang lebih buruk terjadi.

"Hanya calon kan? Bukan pacar?" sahut Zefa menantang.

"Beraninya kamu berkata seperti itu!" ujar Citra dengan nada tinggi. Ia lantas mendorong Zefa yang berada tepat di dekat pintu tersebut dengan kuat.

Membuat pemilik raga itu pun, sontak terhempas keluar. Membuat Zefa yang benar-benar tidak mempersiapkan diri itu memejamkan manik kuat.

Berharap penuh, bahwa dirinya tidak terjatuh. Brugh! Bersamaan dengan keheningan yang menyelimuti gendang telinganya. Angin renik membuat napas Zefa menderu ketika ia tidak merasakan nyeri apapun.

Selain detak jantung seseorang yang berhasil menahan raganya agar tidak tersungkur menyedihkan. Zefa spontan beranjak bangkit, serta melihat orang yang sudah berjasa untuk hari ini.

"Kak Joshua?" ucapnya spontan. Zefa terkejut bukan main, jika orang tersebut yang ternyata menahan raganya. Untung saja, Joshua barusan hendak lewat, hingga gerakan spontannya menangkap seorang siswi yang jatuh.

Joshua kemudian mengalihkan Netra ke dalam toilet wanita, menampakkan Citra yang merupakan teman sekelasnya, termasuk Olive dan Lisa itu, ternyata tengah menggangu Zefa.

Mata Citra spontan membelalak saat mengetahui bahwa Joshua berada tepat di depan matanya. "Ha-haha apa yang kau lakukan di sini Joshua," ucap Citra kaku.

"Sialan! Kalau kalian sampai berani-berani ganggu Zefa lagi. Kalian bakalan pulang sekolah dengan kursi roda," ancam Joshua secara spontan.

Zefa spontan terperangah dengan amukan Joshua yang secara terang-terangan langsung menyerbu si pelaku. Jelas, sepertinya Citra sering melakukan hal tersebut, bukan hanya padanya.

"Bukan kami yang mulai Josh tapi Zefa dulu yang mulai," elak Olive dengan menunjuk—ganar ke arah Zefa.

Joshua pun langsung menoleh ke arah Zefa yang juga spontan menggeleng-gelengkan kepalanya. Joshua kembali menatap tajam pada Citra dan kedua temannya.

"Kalian pergi, kita bicarakan ini lebih jelas nanti," ucap Joshua. Jelas, pria ini pun akan memperpanjang perkara dengan berbicara tanpa Zefa nanti.

Citra dan temannya pun, lekas pergi dari toilet. Zefa kemudian langsung menghadap kepada Joshua dengan mengangukkan kepala sungkan, "Te-terimakasih," ucapnya sembari menundukkan kepala.

Joshua yang hanya menatap sejemang Zefa pun, lekas pergi meninggalkannya seraya berkata, "Sorry, aku gak menerima kata terimakasih."

Mendengar apa yang Joshua katakan, membuat Zefa spontan menekuk bibirnya ke bawah. Entah setan apa yang membuat Zefa malah melangkahkan tungkai menyusul Joshua. Ia tidak suka jika memiliki hutang budi.

"Lalu bagaimana cara aku bisa membalas kebaikan kak Joshua?" tanyanya. Joshua sontak menghentikan langkahnya, begitupun dengan Zefa yang melakukan hal sama.

Di mana ia berkedip bingung, tatkala Joshua menatap nya, serta menimbang apa yang akan ia lontarkan kepada Zefa. "Jika kamu ingin membalasnya, cukup pulang bersamaku nanti, bagaimana?"

"Tapi..."

"Aku akan menyeretmu sendiri saat pulang sekolah," lontar Joshua. Ia pergi meninggalkan Zefa yang masih membeku di tempat.

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika ia akan terlibat sejauh ini bersama dengan senior satu itu.

Sedetik kemudian, Zefa menyesali pendekatan yang baru saja ia lakukan hanya untuk berterima kasih.

"Astaga, Zefa bodoh! Apa yang harus aku lakukan sekarang, kaburkah?" gumamnya.

To Be Continued...