Pratinjau : Gue pasrah dengan keadaan kami berdua yang sudah berada diujung tanduk.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Author POV
Mata gadis itu terbuka ketika merasa sinar matahari mulai nampak mengganggu tidurnya. Ruangan berbau obat tersebut membuatnya ingin cepat pulang. Saat dia melihat sekelilingnya, dia mendesah pelan. Semalam dia diantar oleh Rena ke rumah sakit. Rena panik saat dia menelepon dengan merintih. Jani memaksa diri untuk membukakan pintu ketika sahabatnya itu datang. Dengan sigap Rena memapah sahabatnya ke rumah sakit. Rena bahkan heran ketika sahabatnya sedang ditangani di UGD. Sebenarnya apartemen siapa yang ditempati Jani, kenapa dia sendirian. Bahkan Jani sudah siap membawa tas dan memakai jaket saat dirinya datang. Tapi dia menahan diri untuk tidak banyak bertanya mengingat kondisi sahabatnya sedang menahan sakit.
Jani ingat semalam setelah mendapatkan kamar, dia menyuruh Rena untuk segera pulang. Dia berpura-pura sudah baikan padahal dia merasa tubuhnya seakan lemas sampai ke tulang. Dia sendirian. Setelah mencoba duduk, dia meraih gelas berisi air putih. Dia tidak ingin manja dengan sedikit-sedikit memanggil perawat. Ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mencuci muka, makan, minum, semuanya dia lakukan sendirian. Padahal tubuhnya masih terasa lemah. Setelah menyelesaikan sarapannya, dia mengambil ponsel di nakas. Lagi-lagi Jani tersenyum kecut, sudah centang dua namun tidak ada balasan apapun dari laki-laki itu. Namun, saat dirinya akan menaruh ponselnya kembali ada notifikasi masuk. Sebuah chat dari yang ditunggunya.
Dana : "Dari semalam kamu nggak pulang, apa kamu menginap di rumah mantanmu?"
Jani merasa sangat kesal dengan sikap Dana. Dia menarik napas panjang berusaha sabar.
Jani : "Tidak, saya sedang di rumah sakit."
Tidak sampai 5 menit Dana sudah membalas chat yang dikirimkan Jani.
Dana : "Apa mantanmu sakit? Setelah selesai mengurusnya kamu bisa cepat pulang dan mari kita bicara."
Jani sudah hilang mood untuk membalas pesan yang dikirimkan Dana. Dia merasa lelah dengan sikap Dana yang seperti anak kecil. Tidak menyangka bahwa Dana bisa merajuk sampai seperti ini. Apa boleh buat, Jani akan pulang sore ini. Dia harus segera pulih. Dia hanya ingin melihat Dana. Tidak lebih. Kalaupun Rena melarang untuknya pulang, maka dia akan pulang diam-diam.
Pukul 4 sore, Jani benar-benar nekat pulang. Dia sudah mengirimkan pesan singkat untuk sahabatnya supaya tidak perlu mampir ke rumah sakit. Tubuhnya Masih terasa begitu lemah. Dia segera memesan taksi online. Seperti orang terburu-buru, Jani bahkan sempat menabrak orang yang berjalan di koridor rumah sakit ketika dia sibuk mengetikkan pesanan taksi online-nya. Dia memang sedang buru-buru, dia tidak ingin saat sampai apartemen malah Dana sudah kembali pergi. Mereka harus bicara. Entah pembicaraan apa yang akan terjadi. Yang jelas Jani hanya ingin menjelaskan semua apa adanya. Setelah itu, terserah Dana akan mengambil langkah seperti apa. Jantungnya berdentam keras saat taksi online yang dia naiki berjalan menuju tujuannya.
Sampai depan pintu masuk apartemen milik Dana, dia mencoba meredakan debaran jantunya yang tambah menggila. Mengelus dada sebentar, kemudian dia mulai masuk ke apartemen. Suasananya tampak sepi. Dia segera menuju kamarnya, namun ketika sampai di depan pantry dia dikagetlkan dengan suara yang menginterupsinya untuk berhenti melangkah.
"Sudah selingkuhnya?" Tanya Dana sinis.
Jani menolehkan kepalanya ke kanan dan melihat penampilan Dana yang hanya menggunakan celana pendek dan kaos oblong. Dana meneguk air putih dalam gelasnya hingga tandas. Sampai Dana meletakkan gelas dan berdiri di depan Jani, gadis itu masih saja tidak mampu menjawab. Dia merasakan nyeri itu lagi. Hatinya akhir-akhir ini memang sedikit aneh. Entah kenapa semakin mudah merasakan nyeri. Jani sampai takut kalau-kalau ternyata itu tanda-tanda serangan jantung.
"Kamu udah mulai suka mancing emosi saya ya?!" Dana bahkan belum tahu bahwa pada salah satu pergelangan tangannya yang masih terdapat bekas infus.
"Maksud Mas apa?" Jani masih mencoba menata hatinya, berusaha sok tegar padahal ia sudah sangat ingin berteriak di depan Dana. Dia tidak selingkuh sama sekali. Dia tidak menemui Rangga. Yang ada dia terkapar di rumah sakit.
Jani POV
"Kamu mau tahu kesalahanmu?" tanya Mas Dana sinis.
Ya Tuhan gue lama-lama nggak tahan juga dibentak-bentak seperti ini. "Ya, saya ingin tahu kesalahan fatal apa yang saya buat sampai Mas seperti ini kepada saya," jawab gue berusaha mendongak balas menatap mata Mas Dana. Mas Dana menarik tangan gue dan menyuruh gue duduk di sofa. Kemudian dia menyugar rambutnya sambil mendesah frustasi. Kemudian dia duduk disamping gue. Jujur gue rindu dipeluk sama dia. Gue rindu disenyumin sama dia. Gue rindu semuanya tentang dia.
"Kamu berani berbohong pada saya tentang pertemuanmu dengan mantanmu, kamu bahkan sudah berani tidak pulang. Saya yakin pasti kamu pergi dengan laki-laki itu. Apa memang sebegitu murahnya kamu?", tepat ketika Mas Dana menyelesaikan kalimatnya dengan mata menatap gue nyalang, gue terdiam kaku.
Ah rasa nyeri ini lagi. Tapi anehnya kenapa semakin sakit, kenapa mata gue juga rasanya buram begini?
"Izinkan saya menjelaskan satu persatu sama Mas, jangan menyela ucapan saya, setelah saya selesai menjelaskan maka semua keputusan ada di tangan Mas," gue ambil risiko kalau Mas Dana memang akan meninggalkan gue. Meskipun sumpah hati gue berasa mau rontok padahal cuma mikirin kemungkinan Mas Dana ninggalin gue. Gue nggak tahu akan sanggup atau nggak.
"Saya waktu itu ketemu Rangga di supermarket. Saya bingung ketika Rangga mulai bertanya. Saat itu bukan hati Rangga yang saya jaga, tapi nama baik Mas yang saya jaga. Saya juga malu kalau ketahuan menginap dengan laki-laki yang bukan suami saya. Dalam budaya timur itu adalah hal yang sebaiknya dihindari Mas, ketika laki-laki dan perempuan yang belum menikah tinggal bersama. Makanya saya berbohong pada Rangga. Saya cuma menuruti Rangga yang mengajak untuk minum kopi supaya dia tidak curiga pada saya. Saya juga diantar pulang, lagi-lagi supaya dia tidak curiga," kemudian gue menyeka air mata yang udah nggak sanggup gue tahan lagi.
Dengan sesenggukan gue meneruskan penjelasan, gue mau masalah ini selesai dengan damai. "Saya memang belum bicara jujur ke sama Mas, karena saya pengen cari waktu yang tepat supaya nggak salah paham. Tapi ternyata salah juga langkah yang saya ambil," gue mencoba sedikit tertawa yang terdengar sumbang. Suara gue terdengar sengau dan seriusan ingus gue udah kemana-mana. Bodo amat.
"Saya berusaha memperbaiki keadaan. Saya berusaha jadi yang terbaik untuk Mas hingga saat ini. Kalau Mas kira saya dari kemarin nggak pulang itu salah Mas. Pagi setelah Mas marah-marah, saya pergi kerja bukan main. Saya masih berusaha Mas, mengirim pesan dan menelepon namun hasilnya nihil. Mas mendiamkan saya. Bodohnya saya karena terlalu memikirkan Mas dan pekerjaan saya yang banyak. Saya lupa makan. Saat pulang dalam taksi online maag saya kambuh. Saya udah coba minum obat saat tiba di apartemen. Tapi ternyata sakitnya tidak bisa saya tahan lagi. Saya mencoba menelepon Mas tapi tidak bisa. Rena yang menolong saya Mas," gue tercekat. Kalimat panjang yang gue utarakan sukses membuat Mas Dana mengerutkan kening dalam.
"Lalu semalam kamu tidur dimana? Apa kamu pulang ke rumahmu?" suara Mas Dana mulai melunak. Ada sedikit lega yang tercipta.
Dengan memaksakan senyum sebisa mungkin gue menjawab, "Saya nggak pulang kerumah. Saya juga nggak ke rumah Rena, apalagi saya menemui Rangga. Cewek yang Mas bilang rendah semalam ditolong Rena dan dilarikan ke rumah sakit sampai tadi sore saya nekat pulang dan berbohong saya sudah baik-baik saja. Supaya cewek rendahan kayak saya mendapat kejelasan status hubungan seperti apa yang sedang saya jalani."
Cukup. Gue nggak bisa lebih panjang lagi dari ini. Gue udah nggak sanggup. Gue berusaha tegar. Gue mencoba meredakan tangisan gue. ���Saya sudah selesai menjelaskan dan sekarang saya akan menuruti apapun kemauan Mas," menarik nafas panjang gue tersenyum semanis mungkin dan tentu saja gue pasrah dengan keadaan kami berdua yang sudah berada diujung tanduk.