Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 17 - Sebuah Pengakuan

Chapter 17 - Sebuah Pengakuan

Pratinjau : "Nggak apa-apa kalau kamu nggak suka bilang aja. Aku bisa mencoba berhenti merokok mulai sekarang"

--------------------------------------------------------------------------------------------

Author POV

Acara makan malam di rumah Jani nampak menyenangkan. Jani dan Netha yang memasak tentu saja. Kalau ada hal lain yang dapat mengalihkan segala kegundahan di hati Jani, disinilah tempatnya.

Tok… tok…tok…

Arjuna buru-buru membuka pintu depan. "Lo akhirnya datang juga, bro! gue kira lagi asyik di rumah main PUBG hahaha," sambil bersalaman ala anak muda Arjuna sedikit menggoda.

"Demi adik lo, PUBG yang biasanya jadi nomor 1 malam ini gue duain," laki-laki itu terkekeh geli. Arjuna mempersilahkan laki-laki itu masuk.

Jani telah selesai menata makanan bersama Netha. Saat dirinya membalikkan badan untuk mengambil piring tambahan, dia terkejut bukan main. "Pak Arga? Kenapa bapak bisa ada disini?" Jani terperangah.

"Gue yang ngundang dia, dek. Arga temen gue pas SMP. Dan dia juga yang ngebantu gue buat dapat kerjaan yang baru. Semoga diterima deh lamarannya," jawab Arjuna sambil meninju bahu Arga.

Arga hanya mendengus geli mendengar penuturan Arjuna. Ambigu. Lamaran pekerjaan atau lamaran yang lain?

"Apa aku mengagetkanmu?" Arga berkata dengan luwesnya seolah memang mereka seakrab itu.

"Ah saya hanya sedikit terkejut, pak. Mari silahkan duduk," jawab Jani sesopan mungkin. Bagaimanapun Arga atasannya di kantor. Dan demi Neptunus kenapa juga Arjuna harus mengundangnya kemari? Jani mulai merasa tidak enak hati. Dia curiga.

Ketika Jani akan meneruskan aktivitasnya mengambil piring tambahan, Arga mencekal tangannya. "Jangan panggil bapak kalau di luar kantor," senyum yang mungkin akan membuat banyak wanita histeris, namun malah membuat Jani tidak nyaman.

"Tapi saya tidak sopan kalau seperti itu, pak. Oh ya bapak mau minum apa?" Jani tidak ingin terlalu akrab dengan laki-laki ini. Takut Mas Dana-nya kembali cemburu. Ah cemburu? Benarkah? Hati Jani menertawakan kata 'cemburu' yang Jani pakai untuk menegaskan sikap Dana kemarin.

"Really? Jani aku bukan atasan kamu ketika di luar kantor. So please, jangan membuat saya terkesan tua seperti itu. Oiya aku minum air putih saja," Arga terkekeh.

"Baiklah kalau begitu, emm Arga," Jani tersenyum canggung dan langsung berlalu dari hadapan Arga.

Makan malam yang sebenarnya memang hanya untuk Arjuna, Netha dan dirinya namun kini malah bertambah satu orang dan parahnya dia atasan Jani di kantor. Padahal Jani ingin membahas soal mencari kosan putri dan berniat jujur pada kakaknya soal tinggal seatap dengan Dana, namun dia mengurungkan niatnya karena ada Arga disini. Untung saja papanya lembur loading barang toko.

Ya, dia sudah memutuskan untuk keluar dari apartemen Dana. Dia memikirkan hal ini semalaman. Akal sehatnya menyuruhnya untuk pindah kosan tapi tidak dengan kembali tinggal di rumah. Karena dia memang ingin mandiri dan dia ingin pindah kos yang dekat dengan tempat kerjanya. Tinggal dalam satu apartemen bersama Dana membuatnya takut kalau sampai ketahuan papanya. Apalagi Dana yang memang belum mencintainya. Apa jadinya kalau papanya tahu kemudian meminta mereka untuk menikah saja? Dia tidak mau menikah tanpa cinta.

"Gimana, Ga? Enak nggak masakan Netha sama Jani?" Arjuna tersenyum penuh arti.

"Enak, sudah cocok jadi istri sepertinya," Arga tersenyum tulus.

"Iya nih kak Netha udah cocok jadi istri, lagipula kan memang mau nikah," Jani menimpali.

"Kamu yang aku maksud," Arga melemparkan tatapan teduhnya ke arah Jani. Gadis yang dia ajak bicara hanya mampu menatap piringnya yang sudah kosong sambil memainkan sendoknya.

"Denger kan lo, Jan? Arga ini udah suka sama lo pas pertama kali ketemu di kantor lo. Kebetulan banget pas gue curhat waktu nongkrong bareng dia tentang rencana nikah sama Netha, eh dia curhat balik. Pas gue tanya nama ceweknya siapa ternyata elo. Siang ketemu lo malamnya Arga curhat ke gue, lo pelet ya, dek?" Arjuna berbicara seolah tanpa beban.

Jani hanya mampu tersenyum kaku. Dia tidak menanggapi. Dia merasa tidak nyaman. Setelah selesai makan mereka menikmati hidangan pencuci mulut berupa puding coklat buatan Netha. Mereka duduk di depan TV sambil ngobrol dari yang penting sampai yang absurd.

"Bisa kita bicara?" Arga mendongak kearah Jani yang memang duduk di sofa dan dia di karpet tepat di depan Jani.

Jani mengangguk kemudian mereka bergegas keluar rumah. Mereka duduk di teras. Namun, baru duduk ponsel Jani meraung ingin segera diangkat.

"Saya terima telepon sebentar, ya?" kata Jani kalem. Arga mengangguk. Jani berjalan masuk ke dalam rumahnya lagi.

"Ya Mas?" Jani tersenyum. Dana meneleponnya.

"Kenapa mendadak pulang ke rumah? Nanti saya jemput, ya?"

Dana seharian ini meeting dengan klien yang rencananya ingin menanam saham untuk pembukaan Green Trees di Jogja. Malam hari ketika mendapati apartemen nampak kosong, dia segera mengecek ponselnya. Ah ternyata Jani mengirim pesan singkat berpamitan akan pulang ke rumah. Dan lagi-lagi dia tersadar kurang mempedulikan Jani. Terbukti gadis yang sedang di teleponnya sempat menelepon hingga 10 kali tapi tidak dia angkat. Padahal dia dan kliennya meeting dalam suasana yang santai di kafenya, tidak susah untuk mengangkat telepon bukan?

"Ah maaf saya lupa bilang kalau semalam kakak saya ngajak makan bareng di rumah sambil ngomongin rencana dia nikah Mas. Eummm tidak perlu dijemput, saya akan menginap disini dan besok pagi langsung ke kantor," jawab Jani lancar.

"Besok dari kantor pulang kesini, kan?" Tanya Dana.

"Ya, tentu saja Mas," Jani tersenyum semakin lebar.

"Yasudah kalau begitu, saya tutup teleponnya, ya?" setelah Jani menjawab 'ya' Dana benar-benar langsung menutup teleponnya.

Gadis itu tampak kecewa. Mendesah pelan dan mulai merutuki dirinya yang tidak ada habisnya mengharapkan Dana. "Sudah Jan lagian lo pengennya dia bilang rindu gitu? Mimpi!" batinnya.

Jani bergegas kembali ke teras menemui Arga yang ternyata sedang merokok.

"Kamu ngrokok?" Tanya Jani saat sudah duduk di samping Arga. Mereka terpisahkan oleh meja yang terdapat asbak.

"Ya, apa kamu nggak suka kalau aku ngrokok?" pertanyaan yang membuat Jani salah tingkah.

"Eh bukan gitu. Kalau di kantor kamu nggak pernah ngrokok soalnya. Lagipula kenapa saya harus nggak suka," Jani tertawa berusaha mencairkan suasana weird yang tercipta karena tatapan mata Arga padanya.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak suka bilang aja. Aku bisa mencoba berhenti merokok mulai sekarang," bersamaan Arga selesai bicara, dia juga langsung mematikan rokoknya ke dalam asbak.

Jani speechless. "Ini kenapa jadi aneh gini, sih? Ini orang sakau apa, ya? Gue harus ngomong apa?" Jani belum berhasil mengeluarkan tanggapannya atas sikap Arga.

"Aku suka sama kamu. Tapi aku nggak tahu gimana bilangnya ke kamu dari pertama ketemu, kamu kayak udah menciptakan benteng di antara kita," Arga semakin membuat Jani kelojotan ingin pergi dari sana.

"Kenapa saya? Saya tidak tahu harus bilang apa ke kamu. Saya bahkan tidak pernah kepikiran buat suka sama kamu. Selain karena kamu atasan saya di kantor tapi juga saya sedang dalam fase rumit, saya juga tidak ingin memberikan kamu harapan semata," jawab Jani diplomatis.

"Serumit apapun itu aku bakal nunggu kok. Aku juga nggak maksa kamu buat nerima aku sekarang juga. Dan soal harapan, aku bahkan sudah berharap lebih setelah aku bertemu denganmu," Arga tersenyum tulus.

****

Jani tidak dapat memejamkan matanya. Dia melihat Netha sudah terlelap disampingnya. Dia tidak ingin berasumsi Arga sudah mencintainya. Dana saja yang sudah menjadi kekasihnya bahkan sudah melakukan adegan ciuman, nyatanya belum memiliki perasaan itu. Tidak mau terlalu memikirkan kejadian tadi di teras rumah, Jani segera memejamkan mata. Dia berharap dapat menjangkau hati Dana meski baru lewat mimpi semata.Ya dia menginginkan Dana sampai membuat dia seperti sulit bernafas.

Author POV

Pagi yang cerah. Jani sudah bersiap ke kantor. Belum sempat dirinya memakan apa yang sudah ada di piring sarapannya, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Ketika Jani membukakan pintu, wajahnya seketika berubah kaget saat tahu yang datang adalah Arga.

Arga tersenyum di depan pintu yang dibukakan oleh Jani. "Ke kantornya bareng aku aja ya? Motormu ditinggal sini aja nanti biar Pak Marno yang ambil kesini," Arga tersenyum dengan mata sepenuhnya memandang iris mata Jani.

Meneguk ludah yang rasanya seperti meneguk duri, Jani menolak halus permintaan Arga, "maaf Ar, saya berangkat sendiri saja. Eumm… Lagipula saya sudah bilang sebelumnya bahwa saya dalam masa rumit." Arga nampak kecewa dengan jawaban Jani.

"Yasudah saya ikutin dari belakang aja ya nanti?" tawarnya lagi.

"Eh… nggak usah repot-repot, Ar," tolak Jani semakin merasa kesal namun tertahan karena Arga adalah bosnya. "Dipikir ini kampungmu yang jalannya bebas macet," batin Jani.

Akhirnya karena Jani terus menolak, Arga mengalah.