Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 16 - Kecewa

Chapter 16 - Kecewa

Pratinjau : "Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk hubungan kita. Tapi saat ini saya akan berusaha untuk setidaknya peduli padamu"

--------------------------------------------------------------------------------------------

Author POV

Dana menelan ludahnya kasar. Dia merasa bersalah sekarang. Sosok di masa lalu yang terus menekannya untuk bertindak di luar dugaan. Masa lalu yang tidak ingin dia ingat namun selalu memaksa pikiran dan hatinya untuk mengingat. Kehampaan yang menuntut untuk selalu menghadirkan sosok dari masa lalu, yang sudah seharusnya dia buang dari jauh-jauh hari.

"Kenapa nggak bilang ke saya kalau kamu masuk rumah sakit?" Dana seperti tercubit ketika mengucapkan pertanyaan bodohnya. Gadis disampingnya bahkan Masih terlihat begitu lemas, wajahnya bahkan jauh dari kata ceria. Pucat seperti tidak ada kebahagiaan disana. "Lo yang buat cewek lo sendiri kayak gini, brengsek!" hatinya mulai memberontak.

"I've tried, Mas. Bukan saya yang nggak mau bilang tapi Mas yang milih untuk nggak peduli pada saya," Jani sudah tidak menangis lagi. Tidak mau dicap cengeng dan malah membebani kekasihnya. "Kekasih? Dia saja cuma menganggap lo murahan , kekasih macam apa memangnya yang lo maksud? dan apa tadi? Membebani? Nggak salah? Peduli saja tidak. Bodoh!" setan di pikirannya mulai menyangkal apa yang dewi batinnya bicarakan.

Dana seperti seorang pecundang sekarang. Fakta yang terucap dari gadis disampingnya mampu membuat pikiran dan hatinya kacau. Dana tidak bisa menampik bahwa muncul rasa kasihan melihat kekasihnya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini.

Pria itu berjongkok di depan si gadis. Memegang kedua tangan Jani dengan mata yang menatap lurus mencari kebohongan disana. Nihil. Dia hanya mendapati jelaga kekecewaan yang sedari tadi dipancarkan mata indah itu. Jani menatap mata Dana nanar. Pikirannya berkecamuk. Dirinya siap menerima penghakiman dari Dana, apapun itu. Dia lelah. Fisik, hati dan pikirannya sangat lelah. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Dana. Di sisi lain, rasa cinta yang menggebu masih sama hebatnya menguasai dirinya.

"Maaf, saya terlalu pengecut waktu itu. Maaf saya tidak mendengarkan segala penjelasanmu kemarin. Saya terbawa emosi. Saya pikir kamu menganggap saya hanya sebuah permainan," Dana menatap Jani dengan sorot penuh penyesalan.

"Apa seperti ini sifat Mas yang sebenarnya?" tanya Jani berani.

"Maksud kamu?" Dana mengernyit dalam.

"Apa seperti ini sifat Mas? Selalu berasumsi sendiri dan tidak mempedulikan saya?" suaranya semakin lirih. Hatinya sesak. Dadanya nyeri luar biasa diperlakukan seperti ini oleh laki-laki yang dia harapkan bisa percaya dan menjaga dirinya.

"Saya minta maaf. Saya menyesal atas sikap saya kemarin. Mari kita mulai perbaiki semuanya. Hmm?" tawar Dana dengan mudahnya.

"Benarkah Mas ingin meneruskan hubungan ini? Saya… saya terlalu takut Mas meninggalkan saya. Saya ketakutan dari kemarin. Saya hanya pura-pura semuanya akan membaik," Jani kembali terisak

Ada sedikit lega kala mengetahui bahwa Dana tidak mengambil keputusan untuk meninggalkannya. Tapi, ada sedikit rasa tidak nyaman yang dia rasakan. Dana dengan mudah menarik ulur Jani. Dia ragu dengan keputusan Dana. Dia juga takut sebenarnya kalau Dana tidak serius dengan ucapannya. Dia takut Dana akan menarik ulur hatinya kembali suatu hari nanti. Dan Jani merasa berat kalau harus bertahan terus-menerus dengan laki-laki seperti itu.

"Dan memang semuanya baik-baik saja, kan? Kita masih bersama dan saya tidak meninggalkan kamu. Saya mohon jangan menangis lagi," Dana menarik Jani ke dalam pelukannya. Dia mengusap punggung gadis itu dengan lembut. "Ssssttt sudah jangan menangis lagi, kita akan terus bersama. Maafkan saya," Dana terus menenangkan Jani.

"Benarkan kita akan terus bersama, Mas?" Jani melepas pelukan Dana hanya untuk melihat wajah pria yang sangat dicintainya itu. Dana tidak langsung menjawab. Jani Masih menunggu dengan kerutan di dahi yang semakin menjadi. "Please jawab iya Mas!" Jani membatin.

"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk hubungan kita. Tapi saat ini saya akan berusaha untuk setidaknya peduli padamu. Maafkan saya. Saya hanya minta satu hal sama kamu. Tolong bantu saya untuk mencintai kamu," Dana serius dengan ucapannya.

"Baiklah kalau itu yang Mas inginkan, memangnya saya bisa apa? Saya tidak bisa dengan mudahnya membuat Mas jatuh cinta. Saya tidak tahu kalau Mas ternyata tidak mencintai saya. Ahh saya lupa kalau Mas memang tidak pernah bilang cinta ke saya. Maaf ya Mas selama ini saya terlalu percaya diri kalau ciuman Mas waktu itu artinya mencintai saya," Jani tertawa dengan sangat buruk. Dia menertawakan dirinya yang begitu percaya pada laki-laki di depannya yang menatapnya dengan sorot entahlah… seperti kasihan mungkin?

"Tolong jangan kasihani gue Mas, gue nggak sanggup lebih kecewa lagi dari ini," dia begitu kecewa pada dirinya sendiri dan juga pada Dana.

"Maafkan saya," hanya itu yang mampu Dana ucapkan. Dengan gerakan seringan kapas Dana mencium kening Jani. Orang lain yang melihat mereka akan mengira mereka pasangan yang romantis, apalagi Dana. Namun bagi Jani, gerakan seringan kapas tersebut malah membuatnya semakin tertekan. Ciuman kening yang Dana berikan seolah menegaskan permintaan maaf pria tersebut karena tidak mencintai Jani. Dia hanya sekedar tertarik karena rasa penasaran. Hanya itu yang ada dalam pikiran Jani.

Suasana tidak nyaman dirasakan oleh Jani. Sebagian benda yang ada di sekitarnya seperti sedang menatapnya kasihan. Sebagian lagi seperti melihat dirinya sembari mengolok-olok betapa bodoh gadis sepertinya. Hal yang sulit dilakukan dalam hidup salah satunya adalah mencintai tanpa dicintai dan berharap tanpa diharapkan. Mengayuh sampan seorang diri menerjang ombak yang datang silih berganti bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dan Jani mengambil segala risiko tersebut seorang diri. Poor Jani.

****

Jani masih izin sakit. Sampai siang dia hanya tiduran di kamar. Pagi tadi Dana menyiapkan sarapan untuknya. Kemudian berkata "Nanti siang saya pesan makanan untuk kamu ya? Nggak usah kemana-mana biar cepat sembuh." Jani hanya menjawab "ya" dan mengangguk. Dia Masih bingung harus seperti apa dalam bersikap. Semuanya terlalu ambigu baginya.

Arjuna is calling…..

"Ya halo?"

"Lo dimana? Besok malam bisa pulang nggak? Makan malam bareng yuk di rumah. Sekalian gue mau ngomong rencana kawinan gue sama Netha acaranya bakal kayak gimana," Arjuna sudah seperti kereta api kalau berbicara dengan adiknya.

Arjuna dinyatakan tidak bersalah dan sudah bebas dari pusat rehabilitasi. Hal yang sangat melegakan bagi Jani dan papanya. Tepat sebelum rencana pernikahan yang sudah di tentukan ketika lamaran dulu berlangsung.

"Iyaa bisa. Sekalian gue pengen ngineplah, kangen rumah rasanya,"

"Lagian lo juga kenapa jarang banget pulang sih, udah kayak artis aja dicariin susah," kakaknya mulai mengomel dan berhasil membuat Jani tersenyum. Ah Jani rindu rumah. Jani rindu sahabat-sahabatnya. Jani rindu bercengkrama dan bergurau seperti sebelum semua ini terjadi.

"Aminn semoga adik lo ini bisa jadi artis hahaha, yaudah gue mau boker nih. Mau ikut nggak? Kalau nggak gue tutup nih ya byeee!" Jani langsung menutup teleponnya.

Jani bukannya susah dicari, dia hanya terlalu sibuk dengan rutinitasnya yang dipenuhi oleh Dana. Sampai sahabat-sahabatnya mengirim pesan hanya untuk mengajaknya nongkrong, namun Jani tolak. Dia masih dipenuhi Dana baik pikiran maupun hatinya. Dia masih terlena kemarin. Sampai sebuah fakta menamparnya. She's nothing for him. Namun bukan Jani kalau dia menyerah. Dia akan terus memperjuangkan apa yang saat ini masih menjadi miliknya. Demi hatinya, dia rela menolong pria itu sesuai permintaannya untuk mencintai Jani. Entah sampai kapan.