Chereads / If Tomorrow We Meet / Chapter 14 - Berjuang Untuk Kita

Chapter 14 - Berjuang Untuk Kita

Pratinjau : Jani masih terdiam di tempatnya berdiri. Menatap nyalang pintu apartemen yang dibanting Dana. Dia sedikit meremas dadanya. Nyeri.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jani POV

Gue terbangun dengan kepala pening. Mencoba menyadari apa yang sudah terjadi semalam. Melirik pada jam yang berada di sisi kanan tempat tidur, gue mendesah pasrah. Pukul 04.45 pagi. Gue beranjak dari tempat tidur dan berjalan tanpa semangat ke kamar mandi. Tapi sampai depan meja rias gue memutuskan berhenti sebentar. Benda-benda asing yang dulu sempat membuat gue bertanya-tanya, akhirnya malah membuat gue kalang kabut sekarang. Hati gue kebat-kebit. Apa barang-barang ini milik Reyna yang dimaksud Mas Dana?

Gue segera menjauhkan pikiran-pikiran tersebut dari kepala gue. Gue harus berpikir positif. Mas Dana cowok gue sekarang. Nggak boleh ada cewek lain masuk diantara kami. Dan gue nggak mau tambah jauh karena kejadian semalam. Gue harus bisa melunakkan hatinya.

Entah, gue kembali bersemangat hanya dengan pikiran seperti tadi. Bergegas mencuci muka dan menggosok gigi. Gue langsung menuju dapur untuk membuat sarapan. Gue memutuskan membuat roti isi telur. Setelah semua siap, gue bergegas mandi dan berdandan. Sumpah muka gue kayak zombie dan gue baru sadar ketika gue ngaca. Mata bengkak hmm mantap. "Lo nggak boleh cengeng lagi mulai sekarang, Mas Dana cuma punya lo. Selama lo memperjuangkan Mas Dana mati-matian pasti Mas Dana akan selalu stay sama lo," gue mencoba memberi motivasi ke diri gue sendiri. Ya, gue mau berjuang demi Mas Dana.

Author POV

Jani memberanikan diri mengetuk pintu kamar Dana. "Mas Dana?!" panggil Jani. Karena sampai panggilan dan ketukan pintu ketiga kali Dana belum membuka pintu, Jani memberanikan diri masuk ke kamar laki-laki itu yang ternyata tidak dikunci. Jani memutar knop pintu sepelan mungkin karena takut akan membangunkan Dana. Jani kembali menutup pintu kamar Dana juga dengan gerakan pelan. Kemudian dia memutar tubuhnya melihat dengan teliti setiap sudut kamar Dana. Saat pandangannya jatuh pada pigura yang terpajang di depan tempat tidur Dana, Jani dikagetkan dengan Dana yang baru keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk di bagian bawahnya.

"Kamu ngapain masuk kamar saya?!" Tanya Dana tidak suka.

"Say…saya… cuma mau bangunin Mas karena sudah jam 06.15 pagi," jawab Jani sedikit tergagap.

"Untuk kali ini saya memaafkan kamu, tapi tidak untuk lain kali saat kamu dengan berani masuk ke kamar saya!" kata Dana tajam tanpa mau memandang Jani.

"Maaf saya lancang Mas, tapi Mas nggak pernah melarang saya untuk masuk ke kamar Mas Dana," Jani membela diri. Dia tidak ingin dituduh macam-macam.

"Apa seperti ini dirimu yang sebenarnya? Tidak punya sopan terhadap privasi saya?" Dana mulai tersulut emosi. Bahkan dia memandang Jani dengan sorot yang berbeda dari biasanya.

Jani teringat bahwa dia sedang berjuang untuk hubungan mereka. Dia mengalah. Mungkin Mas Dana-nya sedang tidak enak hati.

"Maaf Mas sekali lagi, saya permisi," Jani seperti pembantu yang ketahuan sudah dengan lancang masuk kamar tuannya. Menyedihkan. Setelah mengucapkan permintaan maaf dan membungkukkan badan, Jani bergegas keluar kamar. Dia kembali menuju dapur untuk membuatkan Dana kopi. Dia tidak ingin terlalu memikirkan apa yang terjadi. Dia sudah terlalu cinta dengan Dana.

Dana keluar kamar dengan sudah berpakaian rapi. Jani menatap Dana tanpa berkedip. Dia segera beranjak dari kursinya. "Saya sudah buatkan kopi dan sandwich untuk Mas," Jani berkata sambil tersenyum tulus.

"Saya tidak sarapan pagi ini," jawab Dana ketus. Bahkan tanpa menatap Jani.

"Tapi saya sudah buatkan Mas sarapan, biasanya Mas sarapan dulu. Ini baru jam setengah 7 pagi lho Mas, nanti Mas bisa kena maag," cerocos Jani sambil mencoba menyamai langkah Dana yang hampir mencapai pintu keluar apartemen.

Dana berhenti dan menatap Jani tajam. "Kenapa kamu cerewet sekali? Kalau kamu ingin makan yasudah makan saja, jangan membuatku muak dengan sikap kekanakanmu itu. Saya tidak punya waktu untuk mendengarkan semua ocehanmu!" setelah berkata demikian Dana bergegas pergi.

Jani terlonjak kaget karena Dana keluar dengan membanting pintu. Jani masih terdiam di tempatnya berdiri. Menatap nyalang pintu apartemen yang dibanting Dana. Dia sedikit meremas dadanya. Nyeri.

Dia berjalan gontai kearah meja makan. Dia berusaha menyemangati dirinya kembali. Dia terus berpikir positif. Dana hanya sedang marah padanya, nanti pasti akan membaik. Akhirnya dia memilih membawa sandwichnya ke kantor dan meminum 2 cangkir kopi, yang sebenarnya untuknya dan Dana sarapan. Daripada mubazir, pikirnya.

****

Jani duduk di kubikelnya dengan lesu.

"Napa lo Jan? buset mata lo bengkak gitu, lo nangis?" Rena nyerocos tanpa henti.

"Gue nggak apa-apa, cuma ngantuk semalam begadang nonton film," jawab Jani cuek.

"Ini lo bawa apaan?" Rena mengambil tas bekal Jani.

"Makan aja! gue bawa sandwich, satu-satu noh sama Amran," kata Jani sambil menghidupkan komputernya.

Jani POV

Sudah jam 12 siang. Gue mencoba mengirim pesan singkat untuk Mas Dana. Tapi cuma centang satu. Gue cuma minum susu kotak yang tadi nitip sama Amran. Rasanya udah kenyang banget. Entahlah apakah karena terlalu banyak memikirkan Mas Dana atau karena pekerjaan yang memang tidak bisa dinalar untuk hari ini. Gue lembur hingga pukul 9 malam. Terpaksa sebenarnya karena deadline yang harus diserahkan ke atasan besok pagi.

"Belum pulang, Jan?" sapa suara berat yang gue kenal suara Pak Arga.

"Ini baru siap-siap pulang pak, baru selesai," kata gue sopan.

"Pulang sama siapa?" katanya lagi. "Naik taksi online pak, bapak sendiri baru mau pulang?" gue balik bertanya.

Memang awalnya Pak Arga terlihat pribadi yang tidak menyenangkan untuk diri gue pribadi tentunya. Tapi ternyata dia diluar dugaan gue, baik, menyenangkan dan yang jelas sabar.

"Saya juga baru selesai, emmm… gimana kalau saya antar saja? Lebih aman daripada kamu sendirian malam-malam begini nunggu taksi online," tawarnya.

"Eh nggak perlu pak, saya sudah biasa sendirian," tolak gue halus.

"It's okay kalau begitu, hati-hati ya," dia tersenyum kemudian beranjak keluar kantor.

Author POV

Jani berjalan menuju lobi kantor. Dia sesekali mengecek ponselnya namun nihil. Dana tidak menjawab pesan yang beberapa kali Jani kirimkan. Sekedar bertanya sudah makan siang atau belum, lagi apa dan bertanya pulang jam berapa.

Bagaimana mau ada jawaban, pesan Jani saja cuma centang satu sampai malam ketika Jani pulang. Jani bahkan sudah mencoba menelepon Dana beberapa kali tapi selalu dialihkan. Jani mendesah pasrah. Dia bergegas masuk ke dalam taksi online yang dipesannya.

"Mbak kenapa mbak? Sakit perut?" Tanya sang sopir taksi.

"Iya nih pak sepertinya maag saya kambuh," jawab Jani sambil memegangi perut dan meringis mencoba menahan sakit. Jani ingat dia sama sekali belum makan apapun seharian ini. Ya Tuhan, dia kenapa tiba-tiba menjadi bodoh seperti ini.

"Pak mampir ke apotek sebentar ya pak, nanti saya tambah ongkosnya pak," kata Jani. Bodohnya lagi Jani lupa untuk nyetok obat maag yang biasanya selalu dia bawa kemana-mana.

"Lah mbak nggak langsung ke rumah sakit saja? Mbak pucat banget lho mbak," tawar sopir taksi.

"Saya masih kuat kok, pak," jawab Jani seraya tersenyum.

Sampai di apartemen Jani segera menyalakan lampu setiap sudut ruangan. Dia terdiam mengamati. "Mas Dana lembur kayaknya," batin dirinya. Dia meneruskan minum obat maag kemudian masuk ke kamarnya untuk bersih-bersih diri. Dia masih menahan sakit yang mendera. Dalam hati dia berdoa semoga rejeki bapak sopir taksi tadi ditambah. Bapak sopir tersebut tidak mau ditambah ongkosnya padahal Jani biasanya menambah ongkos apabila mau mampir-mampir terlebih dulu.

Dia baru selesai mengeringkan rambutnya dan akan beranjak keluar kamar untuk membuat sesuatu yang bisa dimakan, namun saat akan berdiri dari meja riasnya, dia merasakan nyeri kembali menyerang perutnya. Kali ini lebih terasa sakit, melilit sampai membuat Jani sulit bergerak. Dia mencoba berjalan tertatih-tatih sambil terus memegangi perutnya. Badannya lemas. Sepertinya obat yang dibelinya kurang manjur karena hanya meredakan sakit sebentar saja. Dia meringkuk di atas tempat tidur sambil merintih. Wajahnya pucat pasi. Keringat dingin terus keluar.

"Mas Dana tolong! Sakittt!" Jani mengucapkan kalimat tersebut seolah-olah Dana ada di dekatnya dan akan menolongnya. Jani terus bergumam tidak jelas. Dia mencoba menghubungi Dana tapi tetap tidak aktif. Akhirnya dia menghubungi Rena. Jani tidak tahu bahwa Dana memang sengaja menonaktifkan ponselnya. Yang sampai saat ini Jani pikirkan, Mas Dana-nya sedang lembur bekerja tanpa sempat memegang ponsel meski hanya untuk mengabari dirinya.