Pratinjau : Bagi Dana, Jani seperti potret sosok masa lalu yang dia cintai, tapi untuk masa depan entahlah Dana tidak ingin berandai-andai.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sinar matahari malu-malu menelusup ke sela-sela ruang tamu. Jani menggeliat dan merasakan sebuah tangan kekar melingkar erat di pinggangnya. Ah dia ingat sekarang. Kemarin adalah hari yang membuatnya tersenyum bahagia. Dia merasakan deru napas Dana di lehernya. Dengan berhati-hati Jani bangun dan melepaskan tangan Dana. Dia bangkit berdiri kemudian sedikit merenggangkan otot-otot tubuhnya. Bahkan balkon saja lupa mereka tutup, TV sudah mati, mungkin Dana yang mematikan.
Jani melihat ke arah Dana yang masih tertidur pulas. Menatap wajah tampan pria itu dengan senyuman tercetak jelas di wajahnya. Dia bahkan seketika merona malu kala ingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Dana dan dirinya sekarang sudah berkomitmen. Tangan gadis itu perlahan mendekat ke wajah Dana, ingin menyentuk mata sang pria namun urung dia lakukan. Dirinya takut mengganggu Dana yang sedang terlelap dengan damainya.
Ah! Semoga mereka terus bisa seperti sekarang. Bersama dan bahagia. Saling memiliki dan saling melengkapi. Betapa cintanya Jani dengan seorang Dana. Bahkan belum ada 24 jam mereka berkomitmen, sudah banyak pikiran yang hilir mudik di kepalanya. Ingin ini ingin itu, yang bahkan Jani sendiri-pun tidak yakin bahwa Dana akan menurutinya. Jani bahkan tidak yakin apakah Dana juga mencintainya. Tapi, harusnya Dana memiliki perasaan yang sama dengannya mengingat Dana yang meminta berkomitmen dengan Jani. Sudahlah, masalah itu bisa belakangan Jani pikirkan. Saat ini dirinya hanya perlu menikmati setiap momen berharga bersama dengan Dana.
Jani ingat setelah menerima komitmen yang diberikan Dana, dia ditarik ke pelukan Dana erat sekali. Penuh dengan emosi dan rasa rindu. Entah rindu seperti apa yang dirasakan Dana. Jani tidak tahu, yang dia tahu Dana miliknya sekarang. Setelah berpelukan Dana menggendong ala bridal tubuh Jani Masuk ke ruang TV. Bahkan Jani merona malu jika mengingatnya. Dana mendudukkan Jani di sofa. Mengelus pipi Jani, tersenyum kemudian dengan hati-hati Dana mulai memajukan wajahnya ke arah Jani. Jantung Jani seperti terpompa tiga kali lebih cepat. Dengan gerakan seringan kapas Dana menyapukan bibirnya di atas bibir Jani. Pelan namun pasti. Mereka larut dalam ciuman yang menggebu. Hanya sampai situ. Kemudian mereka menonton serial favorit Jani "The Good Doctor".
"Saya hari ini mau pulang ke rumah. Mau jenguk papa dan ke tempat kak Arjuna sebentar," tangan Jani Masih sibuk mengambilkan sarapan untuk Dana.
"Pulangnya saya jemput, ya?" sambil mencomot nugget, Dana memberikan tawaran.
"Nggak usah Mas, saya nggak nginep kok. Lagian paling jam 9 malam sudah sampai apartemen. Mas harus kerja nanti repot dan capek lho," kata Jani.
"Saya nggak pernah merasa repot kok, malah seneng. Yaudah nanti hati-hati, ya. Naik taksi aja jangan motor," setelah mengatakan hal tersebut Dana menyuapkan nasi goreng seafood ke dalam mulutnya.
Jani tersipu. Terharu karena laki-laki yang dia sukai memberikannya perhatian, bahkan dulu Jani harus memantapkan hatinya apakah benar itu cinta. Jani hanya takut hatinya hanya sekedar tersipu saja tidak lebih.
Setelah Dana mengantarkan pacarnya ke kantor, dia bergegas ke Green Trees. Dia berjalan sambil tersenyum. Menyapa semua karyawannya. Bahkan Egi sampai menyahut "Wong Gendheng! Baru dateng udah senyum-senyum sendiri."
(Orang gila!)
"Gue lagi bahagia, Gi," Dana langsung masuk ke office-nya.
Dia yakin nanti siang Egi, sahabat serta manager kedai kopinya akan masuk ke office dan bertanya banyak hal. Kepo memang. Tapi Dana nyaman bersahabat dengan Egi. Sudah sejak SMA mereka bersahabat.
****
Jam makan siang Jani mengirimkan sebuah pesan untuk Dana. Jani mengetikkan sebuah pesan melalui aplikasi WA.
Jani : "Makan dulu, jangan kerja terus Mas."
Tidak sampai 2 menit balasan Dana muncul di layar ponselnya.
Dana "Iya, kamu sudah makan?"
Jani : "Baru jalan ke kantin sama teman, saya rindu."
Dana : "See you tonight, love."
Jani : <3
Mereka berdua seperti anak SMA yang dimabuk cinta. Bagi Dana, Jani seperti potret sosok masa lalu yang dia cintai, tapi untuk masa depan entahlah Dana tidak ingin berandai-andai. Dia takut sakit kembali. Dia tidak ingin memikirkan apa yang belum saatnya dia pikirkan. Bukankah seperti anak remaja?
"Kenapa lo?" Rena heran menatap Jani yang senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
"Lagi happy banget gue." Jani kemudian meletakkan ponselnya di sebelah es jeruk yang tadi dipesannya. Gadis itu kemudian mengaduk bubur ayam yang ada di depannya dan segera memakannya dengan lahap.
Rena yang melihat gelagat aneh dari Jani hanya bisa gekeng-geleng kepala. "Lo laper karena banyak kerjaan apa karena bawaan bayi?"
Seketika Jani tersedak. "Uhuk!" Jani kemudian menepuk dadanya pelan dan segera meminum es jeruknya. "Gila ya lo kalau ngomong nggak pakai rem mulutnya!" Jani menatap sebal ke arah Rena.
"Kamu hamil?" Rena dan Jani seketika menoleh ke arah sumber suara. Arga.
Jani malu bukan main saat itu. Sedangkan Rena hanya tersenyum penuh ejekan pada Jani.
"Enggak Pak, saya nggak hamil kok." Jani buru-buru menggeleng dengan tegas. Dirinya tidak ingin dikira hamil betulan oleh Arga dan bahkan beberapa karyawan yang duduk di dekat meja mereka, yang memang masih bisa mendengar percakapan yang mereka lakukan.
Arga kemudian duduk di samping Jani dan meletakka gado-gado dan es teh manisnya ke atas meja. "Serius?" Arga kini menatap Jani penuh selidik.
Jani gemas sekali dengan Rena yang bahkan pura-pura tidak menggubris omongan Arga. "Serius Pak, Rena cuma bercanda karena saya makannya lahap banget," Jani berusaha menjelaskan.
"Bercanda kok Pak saya," Rena mengangkat tangannya dan membentuk jarinya dengan huruf V.
"Saya kira beneran hamil," Arga terkekeh kemudian mulai menyuapkan gado-gadonya.
"Hamil juga sama siapa, belum ada yang ngelamar juga," Jani bergumam namun masih bisa didengar oleh Arga dan Rena.
Rena terkikik geli. "Emangnya kenapa Pak kalau beneran? Jani ngasih kode tuh Pak." Jani seketika melotot ke arah Rena karena perkataan tidak jelas Rena mulai kembali membuat suasana menjadi canggung.
"Rena gila Pak," Jani menyahut cepat.
"Berarti saya masih ada kesempatan," Arga menjawab enteng setelah berhasil menelan gado-gadonya.
Jani seketika menganga, dirinya bingung akan berbuat apa. Canggung mulai menguasai meja mereka. Atmosfer seketika berubah. Hanya Rena yang nampak Manahan tawa namun pura-pura cuek.
"Ekhm! Bapak lapar banget kayaknya sampai salah ngomong." Jani terkekeh untuk mencairkan suasana.
"Saya serius." Arga kini sudah menatap Jani dengan tatapan serius dan mengunci mata Jani.
Jani hanya tersenyum kecil. Sungguh dirinya ingin menjitak kepala Rena sekarang juga. Untung saja Arga bukan tipe laki-laki yang kaku, sehingga hanya berselang beberapa detik suasana sudah mencair kembali.
Jani sebenarnya bingung, apa yang dilihat dari dirinya oleh Arga? Padahal lebih banyak perempuan di kantornya yang cantik dengan tubuh seksi dan kecerdasan otak di atas dirinya. Atau jangan-jangan Arga hanya bercanda dan Jani yang terlalu over percaya diri? Mungkin Arga hanya bercanda supaya mereka lebih akrab dan tidak kaku. Begitu pikir Jani.