Keesokan harinya…
Sandra memencet bel, mengetuk pintu apartemen Surie berkali-kali. Masih tak ada respon dan ia mulai cemas.
"Surie…" Panggil Sandra.
"Surie ini gue, Sandra." Teriaknya lagi.
Sandra menoleh ke kiri dan ke kanan berharap tidak ada yang muncul karena komplain akan teriakan heboh Sandra layaknya seorang penagih hutang.
Sandra melihat kembali untuk kesekian kali jam di tangan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Namun tak ada jawaban dari dalam.
Sandra tak menyerah ia kembali memencent bel, mengetuk pintu, sambil memanggil nama Surie.
15 menit kemudian, akhirnya pintu apartemen Surie terbuka. Surie muncul di balik pintu dan Sandra bernafas lega. Setidaknya Surie masih hidup, fikirnya. Sandra pun masuk ke dalam dan menutup pintu kembali.
Sandra mengikuti Surie yang berjalan sempoyongan menuju ruang tamu. Surie duduk di sofa sambil menekuk kedua kakinya. Dagu Surie menumpu di lututnya. Sandra duduk di sofa dan berhadan dengan Surie.
Sandra memperhatikan Surie begitu lekat. Saat ini Surie terlihat sangat menyedihkan. Mata yang sembab dengan kantong mata yang melingkar di bawah matanya.
Wajah yang lesu, rambut yang berantakan seakan gak di sisir, dan ia terlihat masih mengenakan baju tidur.
"Surie."
"..."
Tak ada jawaban dari Surie. Ia hanya diam dengan posisi yang masih sama sejak tadi. Sandra mulai tak sabaran karena ia cemas setelah melihat keadaan Surie pagi ini.
"Rie.. lo kenapa sih? Ini udah jam 11 pagi dan lo tumben aja baru bangun."
"..."
Surie masih diam. Sandra kemudian berdecak kesal. Ia berdiri dan pindah duduk di samping Surie. Sandra langsung memeluk Surie begitu saja.
"Gue.. gak.. tidur.. semalaman.." Kata Surie dengan nada bicara yang sangat pelan.
Hal itu tentu saja membuat Sandra kaget. Ia segera memutar badan Surie dan membuat mereka berdua saling menatap.
"Apa yang terjadi, Rie?!" Tanya Sandra cemas.
Surie hanya menggeleng pelan.
"Lo gak tahu?" Sandra kembali bertanya.
Surie hanya menggeleng.
Sandra menghela nafas dan kembali memeluk Surie. Ia sedih dan hatinya terasa pilu melihat Surie seperti ini.
"Lo sebenarnya kenapa sih, Rie?. Cerita dong ke gue."
Pelukan Surie mengerat di tubuh Sandra. Ia kembali menangis, bahkan langsung menangis begitu kerasnya. Surie menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukan sahabatnya.
Sandra menyiapkan makanan untuk Surie. Menurutnya makanan bisa di jadikan untuk umpan. Sandra yakin kalau perut Surie sudah kosong sejak kemarin malam. Melihat kondisinya sekarang tentu saja itu juga berpengaruh pada selera makannya.
Seporti B.L.T Sandwich tersaji di piring dan juga segelas jus stroberi. Keduanya yang Sandra tahu merupakan kesukaan Surie.
Surie biasa membuatnya di saat ia sedang terburu-buru, malas memasak, atau di saat ia sedang tak minat untuk makan makanan yang terlalu berat.
Sandra memperhatikan Surie yang mulai meminum jus stroberinya. Setelah itu Surie juga terlihat mengambil sepotong sandwich dan memakannya.
Sandra tersenyum lega, setidaknya sekarang perut Surie tidak kosong lagi. Walaupun hal itu tidak berarti kesedihan yang melanda sahabatnya langsung menghilang.
"Kemarin.. Gue dan Tante Marissa bertemu." Celetuk Surie tiba-tiba.
Deg!! Sandra kaget, ia mengenal nama itu.
Surie tersenyum simpul dan melanjutkan ucapannya. "Bahkan gue gak boleh panggil dia dengan sebutan mama lagi."
Sandra mengerutkan keningnya namun ia tak berbicara apapun.
"Hhhhhh…. Hal itu masuk akal, karena gue bukan menantunya lagi. Gue.. Surie, bukan istri Alex lagi."
Hati Sandra sakit mendengar cerita Surie. Ia tak menyangka kalau seorang Marissa Hilman yang pernah menjadi Ibu mertua Surie bisa bersikap kejam seperti itu.
Sandra yakin kalau Marissa pasti telah mengatakan dan bersikap sangat buruk pada Surie. Wanita terhormat itu pasti mengerahkan semua egonya untuk melukai harga diri dan perasaan sahabatnya.
"Apa lo udah cerita ke Alex?"
Surie mengangguk, "Udah." Jawabnya singkat.
"Terus respon Alex gimana?"
"Dia gak terima. Tapi apa yang bisa di lakuin, Alex gak mungkin melawan Ibunya sendiri demi gue kan?. Gue hanya mantan istrinya, wanita yang tidak memiliki status penting di kehidupan Alex lagi."
Sandra berusaha untuk memberikan pendapatnya lagi. "Kalau Alex cinta sama lo, harusnya dia juga perjuangin lo kan?. Memang benar lo bukan istrinya lagi, tapi lo adalah kekasih Alex saat ini."
"Kekasih?"
"Iya, Surie." Sandra mengulangi perkataannya.
"Apa benar.. Alex menganggapku seperti itu? Apa aku berarti di hidup Alex saat ini?" Batin Surie.
*****
Di kantornya, Alex tak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Fikirannya bercampur aduk, dan hatinya berkecamuk. Ia gundah karena masalah yang terjadi antara dirinya, Surie, dan Ibunya.
Alex tidak bisa terjebak seperti ini. Rasanya penat dan sesak. Ia memutar-mutar ponselnya untuk melihat apa ada kabar dari Surie. Sejak kemarin ia pergi dari apartemen Surie hinggak saat ini, Surie masih belum ada kabar. Surie masih belum merespon setiap panggilan telfon dari Alex. Belum membalas semua pesan dan pesan suara yang Alex kirimkan.
"Hhhhh….."
Alex berdiri dari kursi kerjanya. Sambil berkutat dengan ponselnya Alex berdiri di dekat jendela. Ia terlihat menelfon seseorang.
Hingga dering kelima barulah orang yang Alex telfon menjawab panggilan telfonnya.
"Fey, Lunch with me this afternoon. 1pm at your apartement." Ucap Alex tanpa basa-basi terlalu panjang lagi.
Setelah menutup panggilan telfonnya, Alex memasukkan ponselnya ke kantong celananya.
*****
Fey tersenyum begitu cerah melihat makanan yang sudah tersaji di atas meja. Ia merasa puas dan senang atas makan siang yang ia buat.
Tingg… Tong…
Bel pintu apartemennya berbunyi. Tepat jam 1 siang dan Fey yakin kalau itu pasti Alex.
Fey bergegas membuka pintu dan benar saja, Alex kini ada di hadapannya. Fey tersenyum menyambut kedatangan Alex.
Mereka duduk berdua dan mulai makan siang bersama. Alex memperhatikan makanan yang ada di atas meja. Makanan untuk makan siangnya dan Fey.
"I hope you like it, Al." Ucap Fey sambil tersipu malu.
Alex hanya tersenyum tipis dan mulai memakan makan siangnya. Sesekali Fey melirik ke arah Alex. Kali ini Alex hanya makan dan tak banyak bicara. Mungkin Alex lapar, begitulah yang Fey fikirkan.
Hingga Alex akhirnya mengatakan sesuatu.
"Aku dan Surie, kita bertengkar."
Fey menaikkan pandangannya. Ia melihat Alex yang kini meletakkan cutleries makannya di atas piring.
"I got a bad feelings about this." Ucap Alex dengan raut wajah kecemasan.
Salah satu alis Fey terangkat naik. "Then what will you do?"
"I don't know. My mind is stuck right now."
Fey menatap Alex dalam diam. Saat ini bisa Fey lihat kalau Alex terlihat begitu frustasi akan masalah ini. Ia yakin Surie pasti menolak untuk bertemu dengannya dan tak memberi kabar dalam bentuk apapun. Sementara Ibunya sendiri masih bersikap kerasa kepala pada apa yang menurut ia benar.
Fey pernah melihat Alex seperti ini sebelumnya. Namun ia bersikap cuek karena menurutnya itu bukanlah urusannya. Hal itu terjadi karena Alex sendiri. Tapi kali ini…. Fey merasakan hal yang berbeda. Perasaan yang terasa menganggu baginya.
"Kenapa terasa menyakitkan?" Batin Fey.
Bersambung…