Delvin benar-benar ke kelasnya saat jam istirahat.
"Permisi, ada Reina?"
Pandangan semua murid di kelas Reina menoleh padanya.
Reina menelan ludahnya, sedikit gugup, walau ia tak mengerti mengapa ia harus gugup. Tatapan teman-temannya entah kenapa sedikit mengintimidasinya.
Reina berhasil keluar dari kelasnya, dengan menghindari tatapan 'menuntut' beberapa temannya.
"Komik gue mana dah?"
Reina menggerutu, lantas mengarahkan komik yang sedari tadi ia pegang ke arah kepala Delvin.
BUGH!
"Lo tau enggak sih kalau lo itu mencolok banget?!"
Delvin mengaduh, lantas merebut komiknya dan mengusap kepalanya yang sedikit nyeri.
"Kebiasaan banget lo, langsung mukul orang, mana enggak pakai salam."
Reina mendecak, lantas memindai Delvin dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Tumben jam segini seragamnya masih rapih," sindir Reina.
Delvin meringis, "gue udah jarang berantem sejak masuk ke sini, Rei. Lo saja yang enggak memperhatikan."
"Buat apa gue merhatiin lo? Kaya gue enggak ada kerjaan aja."
"Yah, sedih gue enggak diperhatiin sama lo. Padahal gue seneng diperhatiin sama lo."
Reina bergidik ngeri, "jauh-jauh lo! Balik sana ke alam lo."
"Iya iya, makasih komiknya Reina. Jadi makin sayang gue, dah!"
Reina merinding, Delvin tambah menyebalkan sejak masuk ke sekolah ini. Mungkin pergaulannya lebih parah di sini.
Seperti dugaannya, saat kembali ke kelas, ia diberondong oleh pertanyaan dari teman-temannya.
"Lo kok bisa kenal sama Bagas?"
"Lo deket sama dia?"
"Eh kalian pacaran ya?"
"Baru aja gue mau deketin dia, Rei."
Reina sedikit kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan sabar, ia pun menjelaskan kepada teman-temannya.
Tiba-tiba, Tari, salah satu teman─Reina sebenarnya sangat malas menganggap Tari sebagai temannya namun apa boleh buat, mengatakan hal yang nyaris tidak diduganya.
"Lo manfaatin Bagas, ya? Kok kayanya tadi dia keliatan terpaksa gitu sama lo?"
Reina mendelik saat mendengar ucapan Tari. Raut tak nyaman terlihat dari netranya. "Apaan, sih? Enggak jelas," gerutunya.
"Masa iya Reina manfaatin Bagas? Mereka kan teman baik, buat apa Reina kaya gitu? Nonsense, enggak usah aneh-aneh, Tari." Julian yang menjawab pertanyaan Tari. Intonasinya mendadak terdengar berbeda dari biasanya. Seingat Reina, intonasi Julian baru kali ini terdengar seperti ini. Tenang, namun tegas.
Reina menganggukan kepalanya pelan. Lantas menundukkan kepalanya. Ia melakukannya untuk menghindari tatapan teman-temannya serta menyembunyikan rona merah yang mendadak muncul.
Hatinya berdesir senang, ia merasa senang dibela oleh Julian. Mungkin ini hanya hal kecil, namun bagi Reina, dibela seperti itu sudah cukup untuk membuatnya serasa terbang hingga ke langit.
"Kenapa pada di meja Reina? Kembali ke tempatnya masing-masing. Pak Wahyu sebentar lagi ke sini!" seru Chandra. Ia tak habis pikir mengapa teman-temannya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
Teman-teman Reina berhenti mengerubunginya dan melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
Reina menghampiri Julian. Dilihatnya Julian tengah memainkan ponselnya, namun ia nampak sedikit gugup.
"Ju?"
Julian menoleh, "apa?"
Reina berusaha menahan senyumnya dan mencoba menurunkan intonasinya, "hm, itu, makasih buat yang tadi."
Julian menatap Reina lembut, lalu menyunggingkan senyum tipis, "anytime."
Reina mengangguk pelan dan berjalan kembali ke arah tempat duduknya. Ia baru hendak duduk tepat ketika Julian memanggilnya.
"Rei!"
Reina mengangkat wajahnya, "ya?"
"Istirahat kedua ke kantin ya, bareng Ilona sama Naya juga."
Reina mengangguk kecil.
Reina, Ilona, Naya, dan Julian berkumpul di kantin sekolah. Biasanya mereka akan membahas pelajaran (dan mungkin beberapa gosip yang sedang hangat di sekolah. Biasanya pakarnya merupakan Julian atau Ilona). Namun, kali ini mereka berbicara santai, seperti mengenang beberapa hal saat mereka baru pertama kali masuk sekolah dan ditempatkan dalam kelompok yang sama.
"Kalian semua ingat enggak waktu kita dapat tugas untuk mencatat barang yang ada di ruang guru? Eh ternyata guru-guru lagi ghibahin Pak Ted. Masih ingat kan gimana canggungnya kita berempat?" ucap Ilona sembari terkekeh.
Julian mengiyakan, "mana gue laki-laki sendiri kan ya."
"Kaya sekarang Ju?" timpal Reina jahil.
Julian mengangguk.
"Bagaimana nih perasaannya menjadi satu-satunya laki-laki dalam kelompok ini?" Naya ikut-ikutan menjahili Julian.
"Sengsara," ucap Julian masam.
"Oke, nama lo nanti gue hapus ya dari tugas seni budaya," balas Ilona.
"Hapus aja, nanti gue laporin balik. Lagipula, kalian masih butuh gue dalam kelompok ini," ucap Julian dengan agak jumawa.
"Enggak perlu, di sini ada Reina sama Ilona yang otaknya bisa dimanfaatkan. Ada gue juga yang tulisannya paling rapi," timpal Naya.
"Kita butuh otak lo lebih tepatnya. Orangnya sih enggak perlu," balas Reina.
"Oh beneran? Ya udah nanti malam gue ubah nama anggotanya," ancam Ilona.
Julian mendadak panik, "eh jangan dong. Gue cuma bercanda, kalian kenapa serius banget deh?"
"Cie panik," balas Naya singkat.
"Oh iya, gue mau nanya dong. Terutama buat Naya sama Reina," Julian buru-buru mengubah topik pembicaraan.
"Apa?"
"Kan Bagas—"
"'Bagas'?" potong Naya bingung.
"Delvin, Delvin Argani Bagaskara. Dia kan dipanggil 'Bagas' di sini," jawab Reina.
Naya manggut-manggut, "oh, dia. Silakan lanjut, Julian."
"Kan Bagas teman kalian berdua dari SD. Nah, berhubung kejadian tadi," Julian menatap Reina sebentar, "memang dia dari dulu banyak dikagumi, ya?"
"Lumayan sih, emang kenapa?" jawab Reina.
"Ada hubungannya sama Fira, ya?" kini Ilona yang bertanya pada Julian.
Julian menggaruk tengkuknya, "mungkin."
"Jangan bilang lo curiga Fira naksir sama Delvin?" ucap Reina curiga.
Julian mengendikkan bahunya. Tatapannya seolah berkata, 'ya menurut kalian bagaimana?'
"Wait, jangan bilang lo masih kepikiran yang waktu itu?" tebak Ilona.
Julian mengangguk sedangkan Naya dan Reina menatap keduanya bingung.
Reina mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahinya, "yang rumor kalau Fira sebangku sama Delvin? 'Anak Tertampan' dan 'Anak Tercantik'-nya kelas 7-5 disatukan? Habis itu kalian berdua putus?"
Julian berdeham, "iya yang itu."
Naya sontak mengernyitkan keningnya, "bukannya itu udah lama banget?"
"Namanya juga kepikiran," sergah Julian.
"Waktu itu bilangnya udah move on, tapi masih kepikiran gimana ceritanya?" sorak Ilona. Ia melempar bungkus makanan ringannya (yang pastinya sudah tandas isinya) ke arah Julian.
"Ya susah sih kalau kepikiran, tapi lo coba biarin aja. Semua yang ada di masa lalu, biarkan aja di masa lalu," jawab Reina.
Ilona mengangguk, "benar kata Reina. Lagipula, kalau memang benar Fira putus sama lo karena Delvin, emangnya ada lagi yang bisa lo lakuin?"
Julian mengangguk, seutas senyum tipis terukir di wajahnya, "terima kasih saran-sarannya. Nanti bakal gue coba."
Di dalam kelas sekarang tersisa Reina dan beberapa temannya. Sebagian dari mereka pulang terlambat karena baru selesai melaksanakan piket.
"Rei!"
Reina menghentikan aktivitasnya, ia segera menoleh ke arah orang yang barusan memanggil namanya.
Julian melempar sebuah kertas ke arahnya. Reina dengan mudah menangkap kertas itu. Sebelum ia membukanya, maniknya menangkap bahwa setelah melempar kertas itu Julian segera pergi keluar kelas. Reina membuka gulungan kertas itu, lantas tersenyum saat membacanya.
Rei
Pas pulang sekolah ketemuan di lapangan ya. Enggak terima penolakan, kecuali kalau lo punya urusan yang penting banget.
-Narendra