Chereads / Tacenda / Chapter 7 - 6 - Mark

Chapter 7 - 6 - Mark

Lelaki yang dipanggil 'Mark' tadi juga menunjukkan raut terkejutnya, "Reina?"

"Ke sini sendiri?"

Sejujurnya Reina menahan diri untuk tidak gugup. Mereka terakhir berpapasan sekitar 1 tahun yang lalu sebelum Mark pindah dan benar-benar bercengkrama beberapa tahun lalu. Ia pikir, ia hanya akan bertemu Mark di acara-acara kompleknya saja yang diadakan setiap satu tahun sekali. Tak disangka ternyata mereka bisa bertemu di tempat ini juga.

"Enggak, tadi bareng beberapa teman. Apa kabar, Rei?"

"Ah, baik kok. Kalau Mark?"

"Baik juga."

Di saat Reina hendak berbicara lebih banyak pada Mark, Elang dan Wira menghampirinya. Mereka berdiri di belakang Reina dan tersenyum pada Mark.

Wira tersenyum singkat, "temannya Reina ya?"

"Ah, iya. Saya sahabatnya."

Elang dan Wira bertatapan, lantas tersenyum penuh arti.

"Oh, kami kakak sepupunya Reina. Kamu ke sini sendirian?"

Mark gelagapan, "enggak, Kak, saya bersama beberapa teman saya."

"Ya sudah, kami duluan ya."

Reina menatap kedua sepupunya sebentar, lalu menatap Mark, "aku duluan, ya."

Mark melambaikan tangannya.

"Makan dulu, yuk?" ucap Wira seraya mengusap kepala kedua adik sepupunya lembut.

Reina menatap keduanya datar, "mau makan atau mau kepo?"

Elang tergelak, "ya dua-duanya lah."

Mereka makan di salah satu restoran dekat toko buku tersebut. Restoran itu cukup ramai, sehingga mereka mau tak mau harus mengantri agar bisa mendapatkan tempat duduk serta memesan makanan. Untungnya, makanan mereka cepat sampai. Jadi, mereka tak perlu menunggu lebih lama lagi.

"Jadi..." ucap Wira ditengah suapannya, "dia beneran cuma 'sahabat' kamu Rei?"

Wajah Reina memerah, "iya kok. Dia sahabat aku dari kecil."

"Sahabat atau apa? Kok mukanya merah?" goda Elang.

"Apa sih, A!" wajah Reina sekarang sudah memerah laksana tomat matang. Ia menggigit bibirnya.

"Siapa sih dia?" tambah Elang.

Reina tak menjawab dan memilih untuk membuka ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu. Tak lama, seringai jahil tercipta di wajahnya.

"A' Elang, Ella itu siapa?"

Elang tersedak, wajahnya mendadak merah, "TAU DARI MANA?!"

"Yah, panik. Kan aku nanya doang, A."

Reina terkikik. Sebenarnya ia tadi sedang berkirim pesan dengan Rani, adik sepupunya sekaligus adik kandung Elang. Reina tahu, kedua sepupunya akan terus bertanya tentang Mark. Jadi, akan lebih baik jika ia mengalihkan pembicaraan.

Wira menaikkan alisnya, "pacar kamu, Lang?"

Elang menggeleng panik, "enggak A, Elang enggak punya pacar!"

"Terus siapa hayo?"

Elang mendengus, "Rei, kamu tau Ella dari mana? Rani?"

"Kepo hahahaha."

"Rei!"

Wira berdeham, "sudah, lanjutkan makannya."

Reina masih tertawa, namun, matanya tanpa sengaja melirik ke arah jam tangannya.

"A, Aa sudah izin ke orang tuaku kan kalau kita pulang terlambat?"

Wajah Wira seketika memucat.

───────

Reina menatap jam di ruang tamu dengan malas. Ia sedang sendirian di rumah. Wira dan Elang pergi ke toko elektronik, sedangkan kedua orang tua dan adik Reina sedang mengunjungi pernikahan salah satu teman ayahnya.

Tadinya, ia ingin ikut pergi bersama Elang dan Wira, namun mengingat Shaleen akan datang ke rumahnya untuk membahas tentang tema LPSN, ia batal ikut.

Setelah sekian menit─yang terasa seperti berabad-abad karena Reina terlalu bosan, Shaleen akhirnya datang. Mereka segera membahas tema yang cocok untuk karya ilmiah mereka. Tadinya, Seno mau datang, tetapi berhubung ia ada acara keluarga, ia batal ikut.

"Menurut kakak, mending kita milih yang IPS aja. Soalnya, kalau kita milih IPA, kita harus membuat sesuatu yang baru," jelas Shaleen.

"Oh, ya sudah."

Setelah mereka menentukan tema, mereka beristirahat sejenak. Shaleen menulis di bukunya seraya membalas pesan dari beberapa temannya. Reina membuka ponselnya, namun matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang ditulis oleh Shaleen.

'Ian'

"'Ian' siapa, kak?"

Shaleen tersentak, dengan segera ia menutup bukunya.

"Bukan siapa-siapa."

Reina menatap Shaleen curiga, "pacar kakak ya? Anak sekolah kita?"

Shaleen menatap Reina sebentar, kemudian mengangguk ragu.

"Aku tebak boleh?"

"Boleh, tapi sebagai gantinya kakak juga menebak nama orang yang kamu suka, bagaimana?"

Reina tersenyum simpul, "oke. Ngucapinnya barengan ya?"

"Oke, 1...2...3..."

"Seno kan?"

"Julian kan?"

Mereka berdua sama-sama terdiam, lantas bertatapan dan tergelak saat menyadari bahwa tebakkan mereka akurat. Terlampau akurat.

"Kok kakak bisa nebak? Sekelihatan itu ya?"

Shaleen masih tergelak, "sorot mata kamu ke Julian itu beda. Kamu sendiri kok bisa menebak?"

"Nama, seingatku nama lengkap Seno adalah 'Artaseno Adrian' dan satu lagi, aku pernah melihat kalian, hm..." Reina menggantungkan kalimatnya. Ia menatap Shaleen ragu.

"Kami kenapa?" desak Shaleen.

"Kakak pernah merapikan dasi Seno saat di sekolah, bukan cuma itu, sih. Tapi menurutku, itu pertama kali aku nyadar, kalau kalian punya 'sesuatu'. Tapi serius, aku tak sengaja melihatnya."

Wajah Shaleen menegang, kepanikan terpancar jelas dari sorot matanya, "ah... seperti itu, ya?"

Sebenarnya banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Shaleen, namun, ia tak enak. Ia tak mau disangka lancang atau semacamnya. Akhirnya, dengan ragu ia bertanya.

"Kak, apa aku boleh bertanya? Tapi pertanyaannya sedikit sensitif, apa boleh?"

"Silakan."

"Mengapa kakak berpacaran dengan Seno? Maksudku, kalian kan berbeda. Maaf sebelumnya, aku tak berniat menggurui hanya penasaran dan sedikit terkejut," cicit Reina.

"Jujur saja, kamu bukan orang pertama yang bertanya tentang itu," balas Shaleen. "Kakak juga enggak tahu, Rei. Entah kenapa, saat kita bertemu dengan perasaan itu, entah 'suka' ataupun 'cinta', sebagian orang pasti ingin menjalin hubungan dengan orang tersebut. Terkadang, mereka juga melupakan beberapa batasan tertentu. Namun, sebagian besar orang langsung menyadarinya saat mereka menjalani hubungan tersebut. Walau sebagian lainnya, baru menyadari di saat hubungan tersebut renggang atau berakhir."

Reina tertegun, berusaha mencerna ucapan kakak kelasnya itu.

"Ada lagi yang mau ditanyakan Rei?" lanjut Shaleen.

"Enggak kak, sebaiknya kita lanjut menentukan metode pengumpulan datanya saja," jawab Reina canggung.

───────

Reina duduk disamping Wira, sedangkan Elang dengan santainya berbaring di karpet. Reina sejak tadi hanya menelusuri beranda sosial medianya pun merasa bosan. Ia menatap kedua sepupunya yang tenggelam dalam dunia mereka masing-masing.

"A, main yuk. Aku bosan."

"Ajak saja Rani bermain, lewat video call tuh," balas Elang dingin. Nampaknya ia masih kesal karena kejadian kemarin. Reina menaikkan sebelah alisnya heran, "Aa masih marah?"

Elang diam, tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Reina. Reina menatap Wira meminta bantuan, namun, Wira hanya mengendikkan bahunya heran.

"A' Elang. Kalau ada orang yang bertanya, sebaiknya dijawab."

"Diam."

"Yah masih kesal, ya sudah."

Reina kembali sibuk pada ponselnya. Wira yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya lelah. Kedua adik sepupunya tak banyak berubah meskipun umur mereka sudah tergolong remaja. Tak lama, suara Elang memecah kesibukkan mereka semua.

"Rei," interupsi Elang, raut wajahnya berubah menjadi serius.

"Iya?"

"Rumah Sakit Kesayangan Ibu dekat dari sini nggak?"

"Dekat kok, kenapa?"

"Adiknya Ella masuk rumah sakit, A' Wira sama Reina boleh ikut aku enggak? Soalnya, aku kan bukan orang sini."

Reina menatap Elang ragu, "ya tapi aku enggak kenal sama mereka."

"Ikut saja ya? Adiknya seumuran sama kamu kok. Kalau Aa enggak salah ingat, dia juga satu sekolah sama kamu."

Mata Reina membola, "memang nama adiknya siapa, A?"

"Juna."