Chereads / Tacenda / Chapter 9 - 8 ─ You're the Best

Chapter 9 - 8 ─ You're the Best

"Rei."

Reina menoleh, melirik Elang yang menatap heran dirinya.

"Hm?"

"Kamu enggak jadi keluar?"

"Tahu dari mana kalau tadinya aku mau keluar?"

"Eh, ya..."

"Aa yang memberikan nomorku ke Juna, ya?" ujar Reina dengan tatapan menyelidik.

Elang menggaruk tengkuknya, "enggak. Tepatnya, Aa memberikan nomormu ke Ella. Setelah itu, baru Ella berikan kepada Juna."

Reina berdecak, "lain kali izin dulu."

"Iya iya, maaf. Oh iya, kenapa kamu enggak jadi jalan?"

"Malas. Lagi pula, dia baru saja keluar dari rumah sakit. Ia lebih baik beristirahat daripada mengajakku jalan-jalan," ujar Reina.

"Masa? Bukan karena ada alasan lain?" goda Elang.

"Iya. Aa lebih baik mulai mengemas barang. Besok Aa sudah pulang, kan?"

Elang menepuk dahinya, "oh iya!"

Elang segera berlari menuju kamar yang selama ini ia tempati. Sayup-sayup, Reina dapat mendengar kesibukan di dalam kamar itu.

Ibu jari Reina kembali menggulir beranda sosial medianya. Saat ia tengah asyik bermain sosial media, tanpa sengaja, berandanya memunculkan salah satu foto. Foto itu di-upload sekitar setengah jam lalu.

Foto Julian dengan kekasihnya, Clara.

Reina mengetuk layar ponselnya dua kali, guna memberikan hati pada foto terbaru Julian. Setelahnya, ia kembali menutup ponselnya. Tidak, ia tidak cemburu. Hanya saja, ada perasaan aneh yang mendadak muncul. Ia tidak senang, namun juga tidak sedih.

Reina mengacak rambutnya, kembali bingung dengan perasaannya kepada Julian.

"Ini beneran perasaan suka atau cuma kagum, sih? Kalau suka, kok enggak sedih lihat foto yang tadi? Tapi kok gue sedih pas dia jadian?" gumamnya.

Reina menolak memikirkan lebih lanjut kebingungannya. Ia memilih untuk bermain sepeda dan menuju ke taman yang berada di perumahannya.

Suasana taman sore ini cukup sepi. Reina cukup senang melihatnya, suasana yang tepat untuk dirinya.

Ia duduk di salah satu ayunan. Lantas, ia mengayunkan ayunan tersebut perlahan. Ia ingin menikmati suasana yang tenang ini.

Setidaknya─

"Rei!"

Reina berdecak. Siapa orang yang berani-beraninya mengusik ketenangannya? Namun, ia terpaku saat melihat sumber suara.

"Eh, hai, Mark."

Mark tersenyum tipis, "tumben."

"Kamu yang tumben tahu. Ada apa? Tumben ke sini."

Mark terkekeh, "ayahku kebetulan ada perlu. Terus, aku juga merindukan suasana perumahan ini. Jadi ya, aku memutuskan ikut."

"Oh, pantas saja. Bagaimana tempat tinggal barumu?"

"Baik, tetangga di sana banyak yang ramah. Kamu, Rei?"

Reina mengangguk, "sama. Aku juga baik."

"Bagus deh."

Mereka kembali diam selama beberapa waktu.

"Sekolahmu... gimana? Aku dengar kamu diterima di salah satu sekolah terbaik di sini. Kamu hebat sekali!" sanjung Reina.

Mark terkekeh, "ah, terima kasih. Tapi aku tidak sehebat itu, Rei."

Alis Reina menukik, "itu hebat tahu. Apalagi, nilai ujianmu sangat bagus. Aku kagum kamu bisa mendapatkan sembilan puluh lima pada pelajaran matematika di ujian nasional."

"Eh, kamu tahu dari mana?" Mark jelas bingung.

Reina menggaruk tengkuknya, "memang kebiasaanku untuk melihat-lihat nilai ujian siswa yang masuk ke sebuah sekolah sebelum memutuskannya. Makanya aku bisa mengetahui nilaimu."

Mark mengangguk, "ah iya. Hal itu memang penting, sih."

"Tapi, aku serius. Kamu benar-benar hebat bisa mendapatkan nilai-nilai yang hampir sempurna pada ujian nasional," ujar Reina.

Mark tersenyum, "menurutmu begitu, ya? Terima kasih. Tapi jujur saja, bersekolah di sana tidak sebaik yang orang-orang pikirkan."

"Memangnya kenapa? Bukankah bagus jika masuk ke sekolah unggulan?"

"Hal itu emang benar. Tetapi, usaha ekstra yang harus dikeluarkan di sana, terkadang membuatku merasa lelah." Mark menengadah, "menjadi salah satu yang terbaik pada saat ujian nasional, belum tentu menjadikan diriku yang terbaik juga di sana."

Reina kini mengangguk paham, "pasti berat, ya?"

"Bagiku lumayan. Tetapi, aku tidak bisa melakukan apapun selain terus belajar dan tetap bertahan di sana, kan?"

"I─"

"Ah, maaf Reina! Sekarang sudah sore banget. Aku udah harus kembali, kita lanjut lain kali, ya," ucap Mark setelah melirik jam tangannya.

Reina mengangguk, menatap Mark yang berlari kecil ke arah aula. Ia menimbang-nimbang harus mengatakan ini atau tidak.

"Mark!" akhirnya Reina memutuskan untuk mengatakannya.

Mark menoleh, menatap Reina penuh tanda tanya.

"Terima kasih telah berjuang! Bagiku, kau tetap yang terhebat!" serunya.

Sejenak, ia melihat seutas senyum mengembang di wajah Mark. Namun, belum sempat Mark membalas ucapan Reina, suara ayah Mark membuat Mark mengurungkan niatnya.

Tapi, Reina sempat sekilas melihat bibir Mark menggumamkan 'terima kasih'.

Reina tersenyum saat melihat punggung Mark menjauh. Suasana hatinya mendadak menjadi lebih baik. Ia bersyukur sempat menghabiskan waktu dengan Mark, walau hanya sebentar.

───────

Reina (akhirnya) kembali berkutat dengan bukunya. Kedua sepupunya juga sudah pulang sejak tadi. Jadi, suasana di rumahnya harusnya bisa tenang.

Ya, harusnya.

Karena sejak tadi, kedua adik Reina berteriak-teriak saat bermain. Sungguh, hal itu benar-benar mengganggu konsentrasinya dalam belajar.

"Tidak bisakah kalian berdua diam?!"

"Dih, kalau mau belajar, di kamar saja. Jangan di sini," balas Mio, adik laki-laki Reina yang berusia sebelas tahun.

"Ck," Reina berdecak dan memilih untuk mengalah. Ia sedang tidak berselera untuk bertengkar dengan mereka.

Sesampainya di kamar, Reina justru membuka laptopnya. Selain harus mencari tambahan materi untuk ujian kenaikkan kelas beberapa minggu lagi, ia juga harus mencari ide untuk makalah. Ia masih mengingat dengan jelas tugas penelitiannya yang benar-benar membuatnya pusing.

Reina mengusap wajahnya. Baru mencari referensi materi saja, sudah banyak decakkan keluar dari dirinya. Apa kabar jika ia harus mencari data?

Ia membuka ponselnya, mencoba menghilangkan rasa penat yang melandanya.

Tepat ketika ia membuka ponsel, terdapat notifikasi pesan dari Shaleen. Tidak, bukan pesan pribadi, melainkan pesan ke sebuah grup yang bernama 'Bintang'.

Reina mengernyitkan dahinya, grup apa lagi ini?

Anggota di grup itu hanya ada tiga orang, Ia, Shaleen, dan satu nomor tidak tersimpan. Ia memerhatikan foto yang digunakan nomor itu, lantas menganggukkan kepalanya. Pemilik nomor ini pastilah Seno.

Reina dengan cepat menangkap maksud grup ini. Tentu saja agar mereka semua lebih mudah berkomunikasi.

"Kak Shaleen pasti cukup kerepotan saat harus menghubungi kami satu persatu," gumamnya.

'Bintang'

Kak Shaleen

Hai semua, maaf ya kakak langsung masukkan kalian tanpa izin

Tujuannya biar kakak gampang informasiin masalah LPSN

[Unsaved number]

Oke kak

Reina

Oke, kak

Kak Shaleen

Nah, kakak kan sudah meminta buat nyari ide kan? Kalian udah dapat belum?

[Unsaved number]

Wah, belum kak

Reina

Aku masih mencari ide tambahan, Kak

Kak Shaleen

Oh, oke. Berarti besok, pas di sekolah, kita bisa diskusi sebentar ya?

Reina

Sip

[Unsaved number]

Ok

Reina kembali menutup ponselnya. Maniknya dengan cermat memilah-milah ide, juga materi dari ide tersebut. Tidak butuh waktu lama, karena mendadak, ada tiga ide yang muncul di dalam benak Reina. Ia dengan cepat mencari referensi materi tentang ide tersebut. Kebanyakan dari artikel-artikel ilmiah yang bertebaran di internet.

Setelah selesai berkutat dengan 'tugasnya', ia merenggangkan tubuhnya. Meskipun hanya sebentar, rasa pegal ketika harus fokus di hadapan laptop tetap terasa.

Ponselnya lagi-lagi bergetar. Entah sudah yang keberapa kalinya untuk hari ini. Bola mata Reina melirik notifikasi yang otomatis muncul. Setelah melihat nama pengirimnya, Reina hanya berdecak pelan. Enggan membuka pesannya.

From: Julian

Rei, lagi ngapain? Sibuk enggak?