"Eh?" Reina mendadak merasa familiar dengan nama itu. Pikirannya melayang pada seseorang, tetapi ia segera menepisnya. Lagipula, orang yang memiliki nama 'Juna' ada banyak kan? Di sekolahnya juga pasti ada 'Juna-Juna' lain.
"Jadi ikut, kan?" desak Elang.
Reina mau tidak mau mengangguk. Ia juga pasti akan bosan jika terus-terusan sendirian di rumah.
Perjalanan menuju rumah sakit tersebut tidak terlalu lama. Tidak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai di salah satu rumah sakit terbesar di daerah itu. Kondisi rumah sakit tidak terlalu sepi, dilihat dari banyaknya perawat dan juga (mungkin) pasien yang hilir mudik di sekitar rumah sakit.
Sesampainya mereka di sana, mereka langsung menuju bangsal 223.
"Oh, Elang! Kamu beneran datang!"
Sesosok perempuan dengan rambut sebahu segera bangkit menyapa mereka. Senyum indahnya terpahat jelas di wajahnya, membuat gigi kelincinya menyembul malu-malu. Gadis itu tampak manis.
"Hai Ella! Saya bawa sepupu saya ke sini, enggak apa-apa, kan? Kebetulan mereka tinggal di wilayah ini. Jadi sekalian bantuin saya," timpal Elang.
"Enggak apa-apa, kok. Halo, saya Ella," ucap Ella seraya memberi salam pada Reina dan Wira.
Reina dan Wira juga memberikan perkenalan yang serupa.
"Ah, ayo masuk dulu. Maaf ya, saya merepotkan kalian."
"Enggak apa-apa, La."
Saat mendekati ranjang pasien, Reina tersentak melihat wajah yang familiar baginya.
Juna Alardo.
"Anak itu, bisa-bisanya dia salah makan kue. Padahal saya sudah bilang untuk tidak memakan kue yang ada di kulkas karena mengandung kacang," keluh Ella pada Elang.
Elang tersenyum tipis, "setidaknya dia sekarang baik-baik saja, kan?"
Ella mengangguk, "ya, sepertinya besok pagi ia sudah bisa kembali ke rumah."
"Baguslah kalau begitu."
Saat tengah berbincang dengan Elang, Ella menyadari Reina yang sejak tadi mencuri-curi pandang ke arah Juna.
"Reina."
Reina tersentak, "iya, Kak?"
"Kudengar dari Elang, kalian seumuran. Kamu bersekolah di mana?"
"Ah? Kukira tadi A' Elang sudah memberi tahu kakak. Soalnya, tadi dia berkata padaku kalau adik kakak satu sekolah denganku."
Ella menggelengkan kepalanya, lalu menatap Elang kesal, "kenapa kamu tidak memberi tahu saya?"
Elang meringis.
"Jadi, kamu satu sekolah dengan Juna? Kalian saling kenal?"
Reina menggeleng, "aku hanya pernah berpapasan dengannya beberapa kali, Kak."
"Ah, begitu? Aku kira kalian berteman. Sayang sekali," timpal Ella sembari manggut-manggut.
"Lho, ramai sekali," suara serak khas bangun tidur merasuki indra pendengaran Reina. Ia menoleh ke arah brankar. Juna tengah merentangkan tangannya lebar-lebar sembari melirik Ella.
Ella berdecak, "memangnya nggak terdengar? Mereka sudah datang sejak tadi."
Juna balas mencebik, "kan aku sedang tidur, Kak," lalu dia menatap para tamu tak diundangnya, "terima kasih telah datang."
Ella mendengus saat mendengar nada masam milik Juna, "mengapa nada suaramu seperti itu? Mereka sudah repot-repot datang kemari."
Elang gelagapan, "El─Ella, kau tidak perlu seperti itu."
Juna berdecak, "Kakak berisik sekali."
"APA?!"
Reina menelan ludahnya, "aku rasa, lebih baik kita pulang."
Di tengah-tengah perdebatan panas antara Juna dengan Ella, manik Juna tidak sengaja bertubrukan dengan manik Reina.
"Aileen Reina? Dari kelas 10-1?"
"Eh, kamu─"
"Jangan terlalu formal, enggak enak," potong Juna.
"Ah, iya. Lo tahu gue dari mana?"
Juna berdeham, "dari Julian."
Reina tidak bisa untuk tidak terkejut, "kok─"
"Kita bukan pajangan, Reina. Enggak ada gosip di dalam forum, ya," timpal Elang.
"Perasaan, aku sama Juna cuma ngobrol santai deh, enggak gosip," jawab Reina.
"Maksud Aa-mu itu, jangan keasyikan ngobrol berdua saja, Rei," jelas Wira.
"Kan kami─"
"Sudah, kalian tidak akan selesai jika terus berdebat seperti ini," potong Wira, "niat kita ke sini kan untuk menjenguk adik dari pacar─"
"Teman," sambar Elang diikuti rona merah samar di pipinya. Ella pun tidak jauh berbeda, pipinya juga merona.
"Ah iya, temanmu, Lang. Kasihan dia baru bangun, dia malah terganggu oleh perdebatan kalian."
Elang menggaruk tengkuknya, sedangkan Reina menelan ludahnya. Baru menyadari bahwa kebiasaan mereka sejak kecil tidak pernah berubah. Bila bertemu, pasti mereka akan berdebat. Terkadang, mereka sama sekali tidak memedulikan tempat di mana mereka berada.
"La─"
"Mau minta maaf lagi? Buat apa, Lang? Saya nggak mempermasalahkannya kok. Tadi saya sama Juna aja berdebat, kan? Kak Wira juga santai aja," timpal Ella.
Wira menghela nafasnya, "kamu tidak tahu saja bagaimana Reina dan pac─"
"Sudah kubilang, kami teman," sangkal Elang.
"Baik baik, kamu tidak tahu bagaimana Reina dan Elang berdebat," koreksi Wira.
"Kami hanya berdebat biasa, astaga," Reina menatap kakak sepupunya horror. Masih tidak habis pikir mengapa Wira sangat hiperbola.
"La, kami pulang, ya? Maaf kami terlalu ribut di sini. Maafkan juga perilaku Reina dan A'Wira," Elang berpamitan dengan dramatis. Ella tergelak melihatnya.
"Astaga, kau berkata seolah-olah kalian baru saja melakukan tindak kriminal. Kalian hanya berdebat kecil di sini, jangan berlebihan," ujar Ella disertai kekehannya. "Oh ya, terima kasih juga telah menjenguk Juna. Maaf ya membuat repot," lanjutnya.
Setelah berpamitan (disertai dengan sedikit basa-basi), mereka akhirnya menuju ke tempat parkir mobil dan bersiap pulang ke rumah.
Tanpa menyadari, bahwa Juna memerhatikan mereka dari jendela kamarnya dengan pandangan tajam.
───────
"Aa di sini sampai hari apa?"
Reina bertanya kepada kedua sepupunya yang tengah menonton pertandingan sepak bola.
Tidak ada jawaban, hanya terdengar seruan-seruan tertahan dari Elang dan Wira, Terang saja, klub yang mereka elu-elukan sedang bertanding. Pertanyaan dari Reina hanya menjadi angin lalu bagi mereka.
"Aa!" Reina berseru kesal.
"Rei, kami lebih tua, lho. Enggak sopan tau teriak kaya gitu," sambar Elang.
Reina mendengus, "habisnya tadi aku nanya, enggak dijawab."
"Aa enggak jawab, bukan berarti Aa enggak denger. Lagipula, kamu marahnya kaya udah diabaikan selama berjam-jam," sahut Wira.
Reina mendekat dan duduk di samping Wira, "ya udah aku ulang ya pertanyaannya." Reina berdeham singkat, "Aa sampai kapan mau di sini? Di rumahku?"
"'Aa' yang mana?" jawab Elang.
"Ya kalian berdua."
"Kenapa sih? Mau banget Aa sama Elang cepat pulang, ya?" goda Wira selagi matanya tidak lepas dari televisi.
"Enggak gitu!" Reina gelagapan.
"Hahaha, bercanda Rei," Wira terkekeh kecil.
"Ya bukannya A' Wira harus kerja? Terus, A' Elang juga harus balik ke rumah, kan? A' Elang enggak mungkin bolos," tuturnya.
"Rencananya sih, kita mau di sini sampai dua hari lagi, Rei."
"Oh, oke deh."
Setelahnya, hanya suara televisi dan sorakan tertahan dari Wira dan Elang yang lebih mendominasi. Sedangkan Reina, ia hanya memainkan ponselnya. Sesekali, ia juga membalas pesan dari beberapa temannya yang bertanya tentang tugas.
Reina kembali menghela nafasnya. Ia bosan. Walau begitu, ibu jarinya tetap setia menggulir beranda salah satu sosial media miliknya.
"Rei," ucap Elang.
"Hm?"
"Enggak jadi deh."
"Dih, enggak jelas," dengus Reina.
Elang hanya meringis.
Reina berdecak dan kembali menggulir beranda media sosialnya. Namun, sebuah pesan yang baru saja masuk, membuatnya mengurungkan niatnya untuk bertahan di beranda media sosialnya. Dengan segera, ia membaca beberapa pesan baru itu. Rasa terkejut kini melandanya.
[Unsaved number]
Ini Reina, kan?
Ini gue, Juna, yang lo jenguk kemarin
Besok lo free enggak? Gue mau ngajak jalan