"Reina!"
Gadis yang dipanggil Reina menoleh sebentar. Melihat sosok yang memanggilnya, ia segera merapikan rambutnya.
"Ada apa?"
"Itu, gue mau minta bantuan. Boleh?"
Reina mengangguk pelan.
Lelaki itu memperlihatkan beberapa lembar kertas pemberitahuan. Di atasnya tertera tulisan "LJS Basketball Club".
"Nanti tolong disebar ke kelas kita, ya? Gue mau ketemu senior-senior gue di ekskul dulu. Thanks in advance, Reina cantik."
"Eh, Ju!" Reina berseru, berusaha menutupi rasa malu yang berbuah menjadi rona kemerahan yang kini menjalari wajahnya.
Lelaki itu menolehkan kepalanya.
"Lama enggak? Gue mau minta tolong soalnya."
"Iya kayanya. Clar minta gue buat bantuin data anak basket yang lain."
Reina mengulum bibirnya, "oh, ya sudah. Julian, ini nanti kalau ada sisa, gue kasih langsung ke lo, kan?"
"Iya."
Reina tersenyum jahil, balas menggoda Julian, "okay, Prince. See you later."
Julian terkekeh pelan mendengar panggilan itu, "jangan ikut-ikutan Chandra sama yang lain, Rei. Gue enggak cocok menyandang predikat 'pangeran' soalnya."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Julian melesat menuju lantai 3, tempat para senior dari ekskulnya berkumpul. Meninggalkan Reina yang menatap punggungnya nanar.
"DOR!"
"AS—Kak Shaleen? Kok Kakak di sini?" ucap Reina sembari menghela napasnya.
Shaleen hanya tersenyum tipis, "Kakak dikasih tahu sama Bu Yuni, kita satu kelompok LPSN. Tapi, kita disuruh mencari satu orang lagi. Beliau juga ingin agar kita mencari anak laki-laki yang pintar IPA dan IPS. Kamu kenal enggak di angkatan kamu siapa saja?"
Reina hanya terpikir satu nama, "Julian."
"Oh, Julian. Yang dulu pernah ikut pelatihan OSN IPA, kan? Yang teman kamu itu?"
Reina mengangguk pelan.
"Apa tidak ada yang lain? Maksudku, dia kan sedikit menyebal—"
"Tapi, laki-laki di angkatanku yang aku tahu pintar dalam kedua bidang itu hanya Julian, Kak," potong Reina.
"Santai dong, ngegas banget kamu."
"Y-ya maaf."
Shaleen hanya menggelengkan kepalanya sebentar, "besok bantuin Kakak buat ngumpulin rapor anak pelatihan OSN IPA sama IPS ya."
Setelahnya, Shaleen segera kembali ke kelasnya sedangkan Reina kembali menatap tumpukan kertas di depannya dengan decakkan samar.
"Kak Clara lagi ya, Ju?"
───────
Reina baru saja menaruh tasnya di kelasnya. Ia menatap sekelilingnya dengan pandangan bosan. Mendadak ia tersentak karena ponselnya bergetar pelan, menandakan ada pesan yang masuk.
Julian
Udah lo bagiin?
Reina
Kertasnya?
Julian
Ya
Reina
Udah
Reina menghela napas kesal. Julian bahkan tidak merasa perlu mengucapkan "terima kasih". Pesan terakhir darinya hanya dibaca oleh pemuda di ujung sana.
Karena bosan, Reina akhirnya membuka salah satu media sosialnya. Ia iseng mengetik nama seseorang di kolom pencarian. Seseorang yang selama beberapa waktu terakhir, kerap memenuhi pikirannya.
Gotcha!
Reina menemukan dua akun sekaligus. Tapi, nampaknya salah satu tidak aktif. Reina masih merasa ragu, bahkan untuk menekan 'follow'. Sudah sekian tahun berlalu, keberaniannya belum kembali juga. Reina masih menimbang-nimbang pilihannya ketika ia merasakan ponselnya bergetar kembali.
Kak Shaleen
Rei
Kakak tunggu di lantai 4
"Ada apa, Kak?"
Shaleen yang atensinya sedari tadi terfokus ke lantai dasar, kini beralih pada Reina.
"Oh, kamu udah di sini? Ayo bantuin Kakak ambil salinan rapor mereka."
Reina melirik daftar yang diberikan Shaleen. Lantas terpaku ketika ada nama seseorang yang terlalu familiar baginya.
'Julian Narendra'
"Kak? Julian..."
"Lah, kan kamu yang minta."
Reina mengangguk kikuk, "iya sih. Tapi, Kakak udah ngasih tahu mereka?"
Shaleen mengangguk pelan, "iya. Di grup OSN IPA."
"Ya sudah, ke kelasku dulu aja, Kak."
"Julian!"
Julian menoleh, begitu maniknya melihat Shaleen ia bergegas masuk ke dalam kelas. Saat keluar, ia membawa selembar kertas, "rapor kan? Nih."
Reina menerimanya dengan senyum kecil, yang sejujurnya, terlihat amat kikuk. Shaleen menyadari atmosfer ganjil yang dikeluarkan gadis tersebut dan membuat kesimpulannya sendiri. Dengan cepat, ia mendapat ide untuk menjahili mereka.
"Eh, kalian berdua menghadap ke sini, deh."
Reina dan Julian sontak menghadap Shaleen, menatapnya bingung. Shaleen tersenyum jahil.
"Kalian mirip, cocok banget."
Mereka sontak memalingkan wajah dengan Reina yang mati-matian menahan senyum sedangkan Julian pura-pura muntah.
"Males banget gue sama Reina, kaya enggak ada perempuan lain aja."
"Dih, gue juga males sama lo. Masih banyak yang jauh lebih cakep dari lo."
Shaleen hanya geleng-geleng kepala, "awas nanti jadian."
"Enggak mungkin!"
"Enggak mungkin!"
"Tuh kan," goda Shaleen yang membuat Reina membekap mulut kakak kelasnya itu.
"Sekarang kita langsung ke kelas lain aja, yuk?"
"Ayo."
Reina menarik Shaleen pergi dengan seutas senyuman sendu terlukis di wajahnya. Ia berjalan di belakang Shaleen sembari sekali lagi menatap pada sosok pemuda yang kini tengah bergurau dengan yang lainnya.
Reina melamun, tatapannya memang mengarah ke lapangan sekolah, tetapi pikirannya melayang entah kemana.
Reina menghela napasnya. Pikirannya kembali penuh siang ini. Ia sejak tadi berkali-kali menghembuskan napasnya frustasi.
"Reina."
Suara seseorang membuatnya tersadar akan lamunannya. Ia berbalik, lantas mendapati sosok Julian yang tengah tersenyum padanya.
"Ada apa?"
Julian tersenyum tipis, sorot matanya menatap Reina dalam.
"Rei, besok atau lusa, gue boleh minta bantuan lo enggak?"
Reina mengernyitkan dahinya, "boleh. Emang terkait hal apa?"
"Besok gue kasih tau. Makasih ya sebelumnya, gue mau ke bawah dulu. Sampai jumpa, Reina yang paling baik!"
Reina mengangguk pelan. Tak lama setelah tubuh Julian menghilang di balik tangga, Reina tak kuasa untuk menahan senyumnya. Lantas sedetik kemudian merutuki jantungnya yang berdetak terlalu cepat.
"Kok bisa-bisanya dia bilang hal itu dengan raut wajah santai?"
"Rei? Lo ngomong sama siapa?"
Reina tersentak. Lantas ia menggelengkan kepalanya pada gadis yang barusan membuatnya terkejut.
"Enggak kok, gue enggak ngomong sama siapa-siapa," sangkalnya.
Ilona, gadis yang tadi, balas tersenyum. "Ya udah. Gue duluan ya, Rei. Mau ketemu Bu Siti."
Reina hanya membalasnya dengan senyum kecil. Setelah Ilona pergi, ia kembali menatap ke lapangan. Maniknya menatap ke arah Julian yang sedang bermain basket bersama beberapa anak kelas lain.
Tanpa disadari, ia kembali tersenyum. Maniknya berulang kali menatap wajah Julian yang terlalu terlarut dalam permainannya.
Manis, pikir Reina.
Hingga pada akhirnya, tim Julian menang dengan skor 20-12, Julian yang menembak terakhir dan untungnya tepat sasaran. Di saat anggota timnya bersorak pada Julian, Julian justru menatap ke lantai 2. Lebih tepatnya, tempat Reina berdiri.
Reina menoleh ke arah kiri dan kanannya. Namun, tidak ada satupun orang selain dirinya yang berada di tempat itu. Anak-anak kelasnya pun sebagian besar masih di kantin.
Julian menatap Reina, lantas tersenyum lebar. Ia berusaha mengucapkan sebuah kalimat, yang dapat langsung Reina tangkap dengan mudah saat membaca gerak bibirnya.
"Makasih ya dukungannya!"
Setelahnya, ia menyibak rambutnya yang sudah basah oleh keringat, lantas melemparkan senyum tipis.
Reina menggigit bibir bawahnya, balas tersenyum singkat, lantas berlari ke toilet. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin toilet. Pipinya memerah, yang membuat dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ju, tolong banget jangan kaya gini bisa?!"
Reina menatap langit-langit kamarnya dengan kosong. Di kepalanya masih terngiang ucapan kakak kelasnya. Padahal, tadi di sekolah, Reina sudah tidak memikirkannya. Ia baru memikirkan kalimat itu lagi saat tak sengaja melihat wajah Julian yang terpampang di akun sosial media Julian.
'Kalian mirip.'
Bahkan semesta mungkin saja tertawa mendengarnya. Apa miripnya? Reina mendengus kecil.
Wajah Julian setelah bermain basket kembali mendatangi pikirannya. Senyumnya, wajah bahagianya, semuanya. Ia sangat memesona, walau hanya dibalut seragam sekolah. Sepertinya, julukan 'Prince Charming' benar-benar pantas untuk Julian.
Julukan itu awalnya sebuah candaan yang dilontarkan oleh ketua kelasnya, Chandra, saat Julian menggunakan setelan formal di pengambilan rapor semester lalu. Namun, Reina pada akhirnya menggunakannya sebagai julukan khusus untuk Julian.
Reina segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba untuk mengusir wajah Julian dari benaknya. Namun, ia tidak bisa.
Reina memang menyukai Julian. Ia menyukai Julian sejak mereka pertama kali masuk sekolah ini dan ditempatkan ke dalam kelas yang sama. Yang artinya, Reina menyukai Julian sejak semester lalu.
Tapi, seperti kisah cinta pada umumnya. Perasaan Reina pada Julian (sepertinya) bertepuk sebelah tangan.
Sejujurnya, Reina cenderung tidak mau laki-laki yang disukainya itu mengetahui perasaannya. Ia hanya takut hubungan pertemanan mereka akan renggang, atau lebih buruk, hancur.
Ponsel Reina bergetar pelan.
Reina mengernyitkan dahinya sembari mengambil ponselnya.
Di layar ponselnya, tertera nama sang penelpon, 'Delvin'.
Kebingungan kembali menghantam pikiran Reina. Meskipun ia dan Delvin satu sekolah saat berada di sekolah dasar, mereka kini jarang berinteraksi karena berbeda kelas.
"Ha—"
"Woi Reina!"
"Salam dulu, baru ngegas."
"Selamat siang. Apakah ini dengan Nona Aileen Reina?"
"Siang, iya saya sendiri."
"Wah, kebetulan saya juga sendiri. Jadian yuk?"
"Wah maaf, tapi saya sudah menaruh rasa pada orang lain."
"Yah sayang sekali, padahal saya baru saja mau menjadikanmu sebagai hak paten saya."
Reina mendengus. Ucapan Delvin sudah semakin ngaco.
"To the point, Del. Lo bukan tipe orang yang bakal menelepon gue kalau enggak ada keperluan, apalagi lo kan sibuk. Banget."
"Hehe, tau aja."
"Lo mau minta apaan?"
"Komik gue masih di lo, kan? Balikkin dong."
"Komik yang man-OH YANG ITU!"
"Balikkin besok pas sekolah ya. Jam istirahat. Gue yang samperin lo."
"Lah, Del?"
Pip
Sambungan dimatikan sepihak oleh Delvin.
Reina menggerutu dalam hati, ia merutuki sikap Delvin yang terlampau sering memutus perkataannya.
Reina mengambil komik milik Delvin, dulu ia pernah meminjamnya karena ia dilarang membelinya. Wajar, karena itu merupakan komik detektif dengan banyak adegan pembunuhan, yang belum boleh dilihat olehnya sewaktu kecil.
Mendadak Reina tertegun, lebih tepatnya ia mendadak memikirkan reaksi teman-temannya saat Delvin nanti berkunjung ke kelasnya.
Ah ya, sekedar informasi, banyak teman sekelas—ralat, banyak anak di sekolah Reina yang diam-diam menaruh rasa pada Delvin. Selain wajahnya yang tampan, ia juga seorang atlet anggar tingkat nasional. Jadi, wajar jika banyak yang menyukai Delvin.
Wajar menurut khalayak ramai, karena bagi Reina, Delvin tidak semenarik itu. Wajah Delvin memang di atas rata-rata, sedikit, kalau Reina boleh mengakui. Namun baginya pribadi, Delvin tak lebih dari sekedar teman yang menyebalkan dan baik bila ada maunya.
Mungkin saat Delvin datang, teman sekelas Reina akan menanyainya dan mengancamnya untuk menjauhi Delvin. Reina segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran-pikiran berlebihan itu. Mereka tidak akan berani melakukan hal itu padanya, kan?
Dan kalau teman-temannya tahu kalau ia berteman dengan Delvin, semoga saja itu tak membuat beberapa temannya menjadikan ia 'tukang pos' antara mereka dengan Delvin.
Baik, mari berdoa saja semoga Delvin tidak menarik terlalu banyak perhatian saat datang ke kelasnya.