Aku tersenyum ketika kulihat Fara melambaikan tangannya menyapaku dan berjalan mendekatiku. Kali ini aku, hmmm.... untuk kesekian kali aku beralasan kepadanya hanya sekedar mampir di rumah tempat ia mengajar. Tak bisa kupungkiri aku tak bisa melihatnya untuk waktu yang lama dan bagaimana bisa aku melakukan ini seakan semua baik-baik saja sementara minggu esok acara itu telah disepakati, dimana aku dan Ester bertunangan atas keinginan kedua orang tua kami.
Aku masih di sini menemuinya, apa yang harus aku lakukan. Dan tak mungkin aku memberitahunya, tidak. Aku tak ingin Fara mengetahui tentang pertunanganku. Biarlah begini sudah baik, toh aku dan Fara tak memiliki ikatan apapun aku dan Fara, teman diskusi atau tepatnya sahabat, yah itu yang selalu Fara katakan ke semua teman-temannya ketika mereka bertanya tentang kami. Fara mengenakan Jilbab warna hijau kalem dan kemeja kotak-kotak warna senada nampak sederhana tak ada yang berlebihan.
Aku tak pernah menyangka seorang gadis berjilbab seperti Fara memiliki pandangan yang luas tentang hidup. Sifatnya yang blak-blakan dan tak seperti gadis berjilbab lainnya yang selalu ingin terlihat menawan dan alim dihadapan semua orang. Fara, menjadi dirinya sendiri. Ia gadis yang tegas dan berkarakter, apa adanya dan tak menutup diri atau mengkotak-kotakkan dalam pergaulan. Mungkin karena itulah aku sangat menyukainya.
"Sore Dokter, mau bergabung bersama kami."
"Hmmm ... aku hanya mampir sebentar. Ini ..." kuberikan sekantong besar berisi makanan untuk anak-anak di sini, Fara mengambilnya dan tersenyum. Aku melihat ke dalam rumah, nampak ramai mereka tengah belajar membaca bersama teman-teman Fara yang lain.
"Dokter terima kasih."
"Fara, bagaimana kabar Alif?"
"Kemarin ia datang ke sini dan kebetulan saat ini ia sedang ke Pulau seribu, Dokter Alif mengatakannya kemarin."
"Oohhh ... salam yah, sudah lama aku tak beretemu dengannya."
"Oh yah Dok aku hampir lupa, kemarin Dokter Alif juga menitipkan salam untuk Dokter."
"Terima kasih." Aku tak tahu harus berkata apa lagi dengannya. Mungkin untuk selanjutnya aku tak pernah bisa melihatnya lagi, Fara. Selalu seperti ini aku tak pernah bisa mengatakan apa pun dihadapannya. Seperti ini sudah cukup bagiku, melihat ia tersenyum dan baik-baik saja.
"Hmmmm... Fara."
"Yah.. Dokter tidak sebaiknya masuk saja."
"Tak usahlah, aku hanya mampir." Aku bingung haruskah aku memberitahunya tentang pertunanganku atau... apa yang harus aku lakukan. Kumainkan jari-jari tanganku dan aku masih berdiri dihadapan Fara, kami tak bicara seperti ini selalu.
"Baiklah Fara, aku pulang dulu salam untuk semua."
Aaahhh... aku hanya bisa mengatakan ini, ada apa denganku. Fara hanya mengangguk, ingin rasanya aku mengatakan semua tentang apa yang aku rasakan tapi.. aku telah duduk didepan setir mobil dan memandang kepergian Fara.
Kugenggam erat kemudi mobil dan aku hanya bisa menyesali apa yang telah aku lakukan. Aku tak pernah bisa mengatakan apapun atau setidaknya memberikan tanda kepadanya bahwa aku mencintainya. Haruskah seperti ini hidupku, seminggu lagi aku akan menjadi tunangan orang lain. Dan aku, masih mungkinkah aku dapat menemuinya. Tuhan....
Aku, sepertinya aku memiliki kehidupan baru setelah dua orang yang sangat perhatian denganku Alif dan adikku Agnes menasehatiku untuk memikirkan berulang kali atas apa yang telah aku putuskan. Aku tetap tak mengubahnya. Satu minggu acara pertunanganku dengan Ester berjalan cepat tak terasa.
Aku masih terbaring di atas tempat tidurku bermalasan menikmati minggu pagi. Aku sengaja tak ikut bersama ayah, ibu dan adikku ke gereja. Aku ingin pergi sore nanti dan bertemu dengan Bapa Hang. Sudah lama aku tak berdiskusi dengannya. Ester kemarin menelponku hanya untuk memastikan semua baik-baik saja dan apakah aku bersungguh-sungguh ingin melakukannya.
Aku bukanlah seseorang yang tak bisa memegang janjiku. Aku dilahirkan untuk setia dengan apa yang telah aku katakan. Dan semua telah aku serahkan kepada mereka, aku tak ingin ikut campur untuk masalah tetek bengek pertunangan nanti.
Aku hanya dengan mengepas baju, dua hari yang lalu dan semua bahan desain warna pakaian yang aku kenakan nanti semua Mamiku dan Maminya Ester yang mengatur. Sengaja pertunangan ini dilakukan lebih awal di tahun ini untuk rasa percaya dari keluarga Ester atas keseriusanku.
Dan pernikahan aku dan Ester akan dilaksanakan nanti setelah kepulanganku dari Jerman satu tahun yang akan datang, itu semua aku ajukan sebagai persayaratan kepada mereka. Aku hanya ingin serius dalam belajar nanti dan sesudahnya aku bisa fokus untuk urusan pernikahan.
Ester lebih mengiyakan dan tak banyak protes dan keluarganya mengikuti apa yang Ester katakan. Aku tak mau terlalu memikirkan semua tentang hidupku saat ini. Aku yakin semua sudah ditentukan.
Tak ada yang berubah dalam hidupku saat ini, karena aku masih bekerja di rumah sakit dan mengajar mahasiswa kedokteran satu hal aku tak lagi sering mengunjungi Fara. Fara, mengapa nama itu tak pernah mau pergi dalam pikiranku.
Aku bangkit dan duduk di pinggiran tempat tidur, berdiri berjalan mendekati rak koleksi buku pribadiku ku \buka laci bagian paling bawah dan kutarik kumpulan buku islam berada di sana masih rapi seperti terakhir kali aku membukanya.
Aku mengambil satu dari mereka dan membuka sampul pertama. Kisah Nabi Adam As. Sebuah buku tentang riwayat nabi pertama umat muslim. Aku penasaran ketika malam itu ibuku dan aku menangis bersama dan aku akhirnya mengetahui ibuku mantan seorang muslim memberiku nama Adam seperti keinginannya. Buku ini aku beli ketika aku mengetahui cerita dari ibuku.
Kubuka sampul halaman pertama. Apa isi dari cerita ini, aku berdiri dan duduk kembali di pinggiran tempat tidur. Aku mulai membacanya.
Sudah hampir sepuluh halaman ku baca, aku merupakan orang maniak baca buku dan tanpa terasa aku larut dalam buku ini. Semakin ku baca semakin aku tertarik untuk terus membacanya. Ibuku, aku baru mengetahuinya. Ia sangat mencintaiku, betapa ia ingin aku menjadi seperti Nabi Adam.
DREEEEEEETTTTT..... DREEEEETTTTT....
Aku kaget ketika suara ponselku bergetar dan kulihat dilayar ponsel tertera nama Ester. Ia mengirim pesan kuletakkan buku di tanganku di atas kasur dan kubuka pesan inbox dalam ponselku.
Kutunggu di kafe Kemang seperti biasa siang ini pukul dua belas. PENTING!
Ada apa dengan Ester, mengapa tiba-tiba ia ingin bertemu denganku. Bukankah semuanya telah baik-baik saja. Kubalas pesannya.
Baiklah.
Kukirim balasan kepadanya.
Kulirik jam di atas dinding kamarku pukul sebelas. Aku melotot, satu jam lagi. Tak terasa sudah hampir tiga jam aku membaca buku. Dan aku berlari ke dalam kamar mandi menarik handuk yang tergantung di depan pintu kamar mandi kunyalakan kran shower dan suara kran berbunyi dengan kencang meramaikan kamar tidurku.
Sengaja tak ku kunci pintu kamar mandi karena ku pikir tak ada siapa-siapa di rumah ini. Kubasahi tubuhku dengan air dingin dan aku mengambil botol cairan sabun kutuang di telapak tanganku, kugosok keseluruh tubuhku dan seluruh tubuhku berbusa.
Kupejamkan mataku, kubasuh dengan air pada kran shower tak butuh waktu lama, setelah itu aku menggosok gigiku dan mengeringkan tubuhku, kubalur dengan lotion aku mengenakan kaos putih berkerah dan jeans warna biru laut. Setelah itu kusisir rambutku aku berdiri di cermin begitu kulihat semua telah rapi aku meraih kunci mobil dan keluar kamar tidur.
Menuruni anak tangga aku melongok masih sepi, mungkin mereka mampir makan siang entah di mana. Percuma, aku terus berjalan dan aku berhenti ketika melewati pintu dapur, pasti tak ada apa-apa di sana.
Ibuku hari minggu seperti ini enggan memasak di rumah. Ia berpikir waktunya untuk memanjakan diri dengan mencicipi makanan di luar rumah. Aku tersenyum dan meneruskan langkahku.
Kubuka garasi mobil dan aku masuk ke dalam sedan kesayangaku menyalakan mesin dan kemudian mengeluarkannya. Beginilah jika di rumah tak ada satupun pembantu rumah tangga semua dikerjakan sendiri.
Aku kembali keluar dan mendorong garasi mobil memasang gembok dan kuletakkan diantara pot bunga kesayangan mamiku. Kami sekeluarga selalu melakukan hal itu jika salah satu dari kami keluar rumah tanpa ada satupun orang di rumah. Aku kembali ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan sedang semoga siang ini jalanan tak macet dan aku tepat tiba di sana.
Mengapa Ester menyuruhku menemuinya secara tiba-tiba. Ia bukanlah tipe gadis yang tak punya waktu luang hanya sekedar ingin berbincang mengabiskan waktu segala sesuatu selalu saja ia perhitungkan.
Ada sesuatu yang terjadikah, pikiranku tak karuan. Aku berusaha membawa mobil dengan penuh kosentrasi, untungnya jalanan tak terlalu ramai. Hanya butuh setengah jam aku telah tiba di depan halaman parkir kafe yang Ester maksud.
Pukul dua belas kurang sepuluh menit. Aku berjalan memasuki kafe, hanya ada dua orang pengunjung dan beberapa pelayan dengan ramah menyambut kedatanganku. Aku duduk di sebelah kanan pintu masuk di sudut dekat jendela.
Sengaja kupilih tempat ini agar aku bisa dengan leluasa memandang keluar kafe. Aku duduk dan mengambil daftar menu yang diberikan pelayan ketika aku duduk seorang pelayan laki-laki telah berdiri di sampingku, tersenyum dengan ramah dan masih terus tersenyum. Aku tahu ia harus selalu seperti itu, sebuah komitmen pekerjaannya.
Bersambung..