"ADAM" Aku menoleh, Hanif berdiri diambang pintu dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa Nif??"
"Mobil patroli berhasil masuk ke sini dan mereka siap membawa kita untuk keluar dari sini."
"Baiklah, tunggu sebentar."
Aku menutup emailku dan mematikan komputer, berdiri dan berjalan keluar bersama Hanif. Napas kami bersamaan memburu dan sesampainya di ruang kemahasiswaan ada empat orang polisi patroli telah berada di sana.
Mereka memberikan intruksi kepada kami, dan dari salah satu temanku menjelaskan polisi ini akan mengantar kami hingga ke rumah kami masing-masing. Kebetulan hanya aku yang tinggal berbeda dengan mereka.
Kebanyakan teman kampusku tinggal di apartemen yang sama hingga memudahkan para polisi patroli untuk mengantarnya sementara aku untuk saat ini terpaksa harus menginap di salah satu apartemen mereka. Hanif menawarkan, aku pun setuju.
Daerah tempatku agak jauh dan untuk kesana masih ditutup jadi terpaksa aku belum bisa pulang. Akhirnya aku pun ikut bersama Hanif dan kami semua berjalan mengikuti polisi patroli masuk ke dalam mobil berukuran lumayan besar.
Aku kedinginan, hujan salju belum juga reda. Jalanan tertutup salju, sepanjang mata memandang hanya putih dan putih tak ada apa pun. Jonathan mengatakan padaku, setiap tahun memang seperti ini. Namun ini adalah hujan salju terlebat setelah beberapa tahun terakhir. Aku percaya dengannya karena Jonathan semenjak kecil telah hidup di sini bersama keluarganya.
Mobil berkali-kali berhenti agar tak terpeleset atau terpental, aku dan semua orang di dalam mobil berdoa menurut keyakinan masing-masing. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lumayan menegangkan dan ternyata kami tak melalui jalan biasa karena jalan yang biasa kami lalui tak bisa dilewati.
Mobil parkir di halaman gedung apartemen. Kami satu persatu turun dari mobil dengan tubuh menggigil dan berjalan terseok-seok melewati gundukan salju. Sesampainya di lobby aku berkali-kali bersyukur atas keselamatan kami. Jonathan mewakili kami mengucapkan terima kasih kepada para polisi patroli dengan bahasa Jerman yang fasih aku dan yang lain bersalaman kepada mereka dan mereka pergi meninggalkan kami.
Aku telah sampai di kamar apartemen Hanif, lumayan mewah dan kurasa sesuai dengan harga yang selalu Hanif ceritakan kepada kami. Ia sengaja tinggal di tempat ini karena ia telat ikut program orang tua asuh seperti aku hingga akhirnya ia mendapatkan apartemen ini. Dan aku pikir tak masalah karena orang tua Hanif seorang saudagar minyak di Malaysia.
"Dam, kau bisa memakai selimutku. Aku sholat dulu."
"OK." Hanif melaksanakan sholat Isya. Aku tahu karena keluarga Atmodjo sering melakukannya dan di sini sangat susah menentukan waktu sholat seperti di Indonesia karena cuaca di sini tak bisa diprediksi dan tak ada satupun suara Adzan berkumandang seperti di negeriku sendiri. Aku mengambil selimut yang diberikan Hanif, jaketku telah basah kugantung dibelakang pintu masuk. Aku menggigil. Tak lama Hanif keluar dari kamar tidur.
"Kita makan mie instan saja yah, aku tak punya apa-apa. Kau tahu di sini susah mencari makanan halal."
"Baiklah." Aku mengikuti saja, memang benar perkataannya. Aku mengikuti Hanif dengan masih memakai selimut ke arah dapur dan Hanif membuka laci dapur mengeluarkan dua buah mie instan siap saji dibukanya dan disedu dengan air hangat dari mesin pemanas yang telah tersedia.
Aku dan Hanif tanpa menunggu lama memakan dalam keadaan masih panas. Sekujur tubuhku hangat dan perutku terasa hangat, kami lahap dalam hitungan menit. Dan Hanif dan aku tertawa bersamaan. Kubuang wadah bekas mie instan milikku ke dalam tempat sampah dekat dengan mesin cuci aku berjalan menuju ruang tengah depan TV.
"Kau ganti pakaian basahmu dengan ini." Aku menerima baju pemberian Hanif. Tubuhku masih menggigil karena aku belum berganti pakaian.
Aku tertidur di atas sofa dengan tubuh meringkuk dan ketika aku terbangun matahari sedikit menyembul dari balik tirai gedung berlantai dua enam ini. Aku menggeliat dan di atas meja telah tersaji secangkir kopi hangat aromanya membuatku ingin cepat menghirupnya. Aku membuka kedua mataku dengan malas dan Hanif telah duduk disamping ku dengan tersenyum.
"Kau sudah bangun" katanya sambil menyeruput kopi yang terdengar hingga gendang telingaku.
Aku bangun dan duduk kemudian aku masuk ke kamar mandi mencuci mukaku dan aku hanya berkumur karena aku tak memiliki sikat gigi.
Errrrrgg .... hanya itu yang bisa aku lakukan.
Aku keluar dan bergabung dengan Hanif ku raih secangkir kopi hangat, sekujur tubuhku seperti menerima sesuatu dan mengalir dengan cepat mengirimkan ke semua jejaring sel di tubuhku dan seperti mendapatkan kiriman insulin tubuhku terasa segar.
"Cheerss" Hanif mengangkat cangkirnya dan aku membalasnya kami tertawa bersama.
"Hari ini kita terpaksa tak pergi ke kampus. Jalanan masih belum bisa dilalui namun untuk ke daerahmu aku dengar berita tadi pagi sudah ada bus yang mengarah ke sana."
"Aku harus pulang dulu menemui orang tua asuhku. Aku takut mereka mengkhawatirkan aku."
"OK."
"Setelah ini aku akan pergi." Kataku masih menyeruput kopi buatan Hanif.
Cahaya mentari menerangi ruangan ini. Tak pernah bisa diduga, kemarin begitu pekat gelap gulita tertutup salju dan pagi ini matahari keluar dengan kesombongannya memancarkan aura kemewahannya dan menghangatkan seluruh negeri Kempten.
Bersambung ...