Udara dingin menerpa wajahku, berkali-kali aku membenarkan syal di leherku yang tertiup angin. Hari ini suhu sangat ekstrim, aku beku. Salju turun dengan deras dan beberapa aktifitas terhenti. Aku sesekali berhenti berjalan berusaha agar tak terpeleset. Di halaman depan rumah para penduduk nampak sepi, hanya beberapa orang saja yang keluar rumah.
Aku, kalau saja hari ini tak ada acara aku pun enggan keluar rumah. Namun karena aku sudah berjanji dan mereka pun telah siap untuk pergi aku harus pergi. Beruntung tiba di depan halte bus menuju kampus bis datang berbarengan denganku.
Aku meniupi tanganku terus-menerus dan hembusan napasku tak beraturan. Sering kali teman-temanku menawarkan aku anggur untuk penghangat tubuh, tapi aku tak pernah mau. Karena aku sangat menghormati kedua orang tua angkatku, mereka muslim dan anggur adalah minuman yang tak mereka sentuh. Maka aku menolaknya mentah-mentah.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di kampusku, sesampainya di sana beberapa mahasiswa telah menunggu kedatanganku akan tetapi wajah mereka terlihat tak menyenangkan aku mendekati mereka dan berusaha mencari tahu.
"Apa yang terjadi Hanif?" aku bertanya pada Hanif salah satu teman sekelasku, ia berasal dari Malaysia.
"Nampaknya kita tak bisa pergi ke sana, kami baru saja mendapat kabar jalanan tertutup salju dan tak bisa melewatinya dan terpaksa kita membatalkannya. Salah satu staff sudah menghubungi mereka dan memberitahu tentang perihal ini." Jelasnya padaku.
Aku mengangguk dan bukankah itu terjadi setelah bus yang aku tumpangi lewat dari dan berarti aku dan mereka semua tak bisa kembali ke rumah untuk sementara.
"Benarkah?" aku masih tak mempercayainya dan menegaskan lagi.
"Iya" salah satu mahasiswa menjawab pertanyaanku, aku menutup mulutku dengan tangan kananku dan saling berpandangan dengan yang lain.
Badai salju telah terjadi dan kami terperangkap di kampus ini hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Aku segera mengambil handphone dari saku jaketku dan memencet tombol nomor rumah keluarga Atmodjo, cukup lama mereka tak menjawab panggilan teleponku hingga akhirnya diangkat.
"Hallo"
"Ibu, ini aku Adam."
"Adam, kamu baik-baik saja?"
"Iya Bu, aku baik-baik saja."
"Aku dengar ada badai salju di jalan dan kami khawatir, kamu gimana? Syukurlah kamu baik-baik saja Adam."
"Ibu, kemungkinan aku tidak akan bisa kembali ke rumah saat ini."
"Iya, tak apa ibu paham. Kamu jaga diri yah. Semoga semuanya segera terselesaikan dan kamu bisa kembali pulang."
"Iya bu."
"Hati-hati Adam.."
"Iya."
Klik suara telepon dimatikan aku menghela napas panjang, ada sekitar dua puluh orang di sini dan kami semua bukan warganegara sini.
"Baiklah teman-teman, karena ada suatu hal di luar rencana maka lebih baik kita masuk ke dalam ruangan mahasiswa untuk sementara dan menunggu berita tentang badai salju, semoga tidak akan lama dan kita bisa kembali ke rumah masing-masing. Namun jika tak ada kabar, maka kita terpaksa menginap di sini. Ayo kita masuk." Jonathan mahasiswa dari Australia mengajak kami para mahasiswa untuk masuk ke dalam ruang kantor kemahasiswaan.
Aku berjalan mengikuti rombongan masuk ke dalam ruangan mahasiswa dan mereka saling mencari tempat duduk masing-masing dengan wajah tegang. Semua nampak kedinginan, salah satu dari kami menyalakan mesin penghangat. Beberapa menit kemudian tubuhku terasa hangat, aku duduk dengan tangan mendekap dan berdoa semoga badai salju segera berhenti.
Aku tak bisa berdiam diri seperti ini untuk waktu yang lama. Aku berdiri dan berpamitan dengan Jonathan untuk ke ruang perpustakaan. Aku berjalan menelusuri lorong kampus nampak sepi ada beberapa pegawai yang tengah berjaga di dalam gedung. Aku menundukkan kepala dan hanya tersenyum menyapa mereka, karena aku tak seberapa paham dengan bahasa sini yang aku tahu hanya sekedar "Guten Morgen" (Selamat Pagi) dan "Auf wieder sehen" (Selamat tinggal) itu saja.
Tepat di ruang perpustakaan aku membuka pintu ternyata tak dikunci, aku menggosok-gosokkan kedua tanganku, dingin. Aku berjalan menuju rak paling belakang rak besar kubuka satu persatu namun aku merasa enggan untuk membaca lalu aku kembali ke depan, aku duduk di meja komputer. Kunyalakan dan kumasukkan pasword milikku, di sini setiap mahasiswa memiliki pasword sendiri untuk semua program pribadinya. Kubuka, aku iseng dan ketika layar menyala terdapat beberapa pesan di emailku.
Fara...
Jariku mengklik dan sebuah pesan terbuka,
Apa Kabar Dokter? Semoga sehat selalu. Hmmm.. Dokter pasti sibuk karena tak sempat membalas suratku. Enggak apa aku paham.
Bagaiamana dengan Kempten? Aku dengar di sana tengah musim dingin, Dokter jangan lupa pakai pakaian tebal, dokter pasti sangat kedinginan.
Aku terlalu banyak bicara ya Dok.
Ok, Dok. Selamat belajar semoga harimu bahagia dan tetap semangat.
Fara..
Astaga bagaimana mungkin aku sampai lupa membalas suratnya. Aku masih tertegun menatap layar komputer. Fara, tak ku sangka ia kini ... apa kabarnya. Mengapa aku setega ini kepadanya. Aku mulai menulis surat balasan untuknya, bodoh. Mengapa aku jadi seperti ini.
Tanganku gemetar, aku masih terpaku apa yang harus aku katakan ... Merindukanmu ... aahhh terlalu sentimentil ... apa kabar? Biasa saja. Kuangkat tanganku dari keyboard dan aku terdiam cukup lama menatap tulisan dari Fara.
Aku tersenyum sendiri, sepertinya aku menjadi lebih gila saat ini. Hatiku ... dalam suasana seperti ini aku begitu sangat bahagia. Aku tidak pernah berpikir kalau Fara akan ... hmmm ... kupikir dia sudah melupakanku dengan kepergianku tapi ternyata justru sebaliknya.
Dear Fara,
Berkat Tuhan, aku baik-baik saja hingga saat ini. Badai salju terjadi akhir-akhir ini. Aku selalu mengenakan pakaian dingin dan syal tebal untuk menyelimuti tubuhku. Ekstrem sangat ekstrem cuaca di sini.
Kau tahu, terkadang aku enggak mandi loh, hmmm iya aku memang benar-benar jarang mandi setiap hari karena terlalu dingin. (kamu jangan menertawakan aku yah)
Bagaimana kabarmu? Apa kamu masih rutin untuk kontrol ke rumah sakit?
Semoga kamu selalu sehat juga, jaga kesehatan ya jangan malas untuk selalu mengontrol kesehatanmu.
Adam
Sent
Aku tersenyum masih terus tersenyum. Ada perasaan aneh dalam diriku. Sepertinya memang mungkin Tuhan tak ingin aku dan Fara terpisah. Bagaimana kalau memang iya.
Aahhhh ... untuk saat ini biar saja seperti ini. Aku telah berjanji untuk belajar dan kembali dengan prestasi yang membanggakan. Hampir enam bulan aku tak pernah tahu kabar tentang Fara. Agnes tak pernah sekalipun bercerita tentangnya dan aku pun tak pernah bertanya kepada Agnes. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Aku takut mendengar sesuatu yang tak ingin aku dengar. Dan ternyata tiba-tiba dia mengirim pesan melalui email untukku. Aku pikir dia telah lupa denganku dan dia telah menemukan seseorang. Tidak ... semuanya tak seperti apa yang aku bayangkan. Fara dan aku ...
Bersambung..