Namaku Kayla Nadhifa Almaira, seorang putri Kyai termahsyur di kota Ledre. Bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah dan bermain setiap sekolah menjadi aktifitasku. Nilaiku selalu bagus setiap ulangan dan bacaan Al-Qur'anku pun sudah lancar dan Alhamdulillah sudah hafal 3 juz Al-Qur'an. Mungkin karena Abah seorang Kiai dan selalu menyimak setiap hafalan yang ku lantunkan.
Setiap aku menginginkan sesuatu dari Abah dan Umi. Mereka selalu mewajibkanku untuk menggantinya dengan hafalan Al-Qur'anku karena tak ada yang gratis didunia yang fana ini.
Aku masih memiliki Nenek yang masih sehat wal'afiat. Walaupun terkadang sikap beliau menjengkelkan kepadaku. Beliau menganggap diriku kurang segalanya dari semua keponakan dan cucunya. Padahal aku tak pernah sedikitpun membencinya dan tetap takdhim padanya. Walaupun begitu beliau adalah seorang nenek yang harus kusayangi.
Suatu hari aku sedang memakai tudung kepalaku dan berlenggak lenggok di depan cermin. Terasa ada sorot mata yang melihatku dari belakang. Ia pun melihatku. Nampak anak laki-laki yang lebih tua dariku.
Namanya Muhammad Ali Miftahuddin. Seorang abdi ndalem. Kulihat Ia selalu memandangiku setiap kali bercermin
Tanganku menutup mataku dan Ia melakukan hal yang sama, saat ku sentuh hidung mungiku pun Ia melakukan hal yang sama hingga tanganku menyentuh pipiku, Ia pun melakukannya juga Hal itu sangat membuatku tertawa lepas melihat kelakuan Kang Ali.
Peka dengan tertawaku, Ia pun tersenyum padaku lalu aku menghampirinya dan membengkokkan pecinya.
"Eh, Ning Kayla." Kang Ali pun mengejarku Mengelilingi Abah Yang sedang berdiri dan memegang kitabnya.
"Gak kena, gak kena," ledekku padanya
Semakin Ia ingin menangkapku. Akhirnya Ia dapat menangkapku dengan memegang pergelangan tanganku.
"Kena sampean!" seru dia
"Eh, ayok ke Pesantren sana acaranya mau mulai," kata Abah sambil memegang bahu kami.
Kang Ali sudah seperti keluarga sendiri di keluargaku. Walaupun statusnya abdi ndalem, dia juga seperti pengasuhku. Usianya lebih tua dariku 6 tahun.
Kami pun berlari menuju Pesantren. Lalu lalang para tamu memenuhi area Pesantren. Kali ini Lek Ali tampil sebagai vokal banjari anak-anak di Pesantren. Maklum suaranya memang bagus dan sesuai untuk karakter Munsyid.
Aku duduk bersama Umi menyaksikan acara Maulid Nabi. Laki-laki yang menjadi pembawa acara adalah Mas Syarif, anak pertama Pak dhe Ishak.
Sejak Pakdhe Ishak tinggal di Pesantren anaknya banyak berkontribusi untuk Pesantren Abah.
Lantunan Suara merdu terdengar merdu di balik iring-iringan tepukan rebana. Suara yang sangat khas dan syahdu.
Maulaa Ya Sholli Wassalim daiman Abada
Alaa Habibika Khoiril Khokiqullihimi
Penggalan syair burdah terlantun indah dan penuh penghayatan. Tak terasa air mataku terjatuh. Entah karena suaranya atau aku melihat tangis di mata sang Munsyid yang di atas panggung sana.
Kang Ali pun selesai menampilkan bakatnya dan akan di panggil lagi ketika acara selesai. Dari samping Ia memberikan kode agar aku mengikutinya. Aku pun bangkit dan menghampirinya. Kami menuju luar pesantren.
Terdapat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya.
Tiba-tiba Kang Ali menarik tanganku dan mengajakku ke salah satu pedangan disana. Harum bau dadar gulung yang sedang di sajikan oleh pedangang. Ia pun peka membawaku ke pedagang itu.
"Kang mbeto yotro pinten (Kang bawa uang berapa) ?"
"Ono iki 5000," ujarnya sambil mengeluarkan satu lembar uang berwarna coklat dari saku kokonya dan memberikannya pada penjual tersebut.
Dadar Gulung siap untuk dinikmati, Kami pun tak masuk ke dalam pesantren dan duduk di luar Pesantren sambil memakan dadar gulung tersebut. Saos itu mencemotkanku hingga membuat Kang Ali tertawa terbahak-bahak. Hmm, seharusnya Ia membantuku untuk mengelapnya bukan menertawakanku.
Ia pun menyapukan tangannya Ke bagian wajahku yang terkena saos. Aku pun memandangnya.
"Makane ati-ati lek maem (Makanya hati-hati kalau makan)," ujarnya kepadaku.
"Niku di telaskan terus ayo masuk lagi, ngko di goleki Abah kalih Umi," ucap Kang Ali menengok ke arahku
Kami pun menuju Pesantren dan saat kami akan masuk. Mbah Uti sudah ada di depan kami dan menjewer telingaku. Sakit, panas itu yang aku rasakan. Ah, kebiasaan orang tua tak pernah membiarkan cucunya untuk bersenang-senang.
"Ko ndi sampean? Mlebu! Kae lo delok Mbak Sepupumu Azizah, cah wes ayu, pinter, sholeha, meneng gak kakean polah koyo awakmu!" cerca Mbah Uti padaku dengan pandangan yang mengerikan.
Aku berlari sekencang mungkin dan di ikuti oleh Kang Ali sampai ke pangkuan Umi. Aku mengadukan semua perbuatan Mbah Uti kepadaku.
"Sampean seng sabar ya Nduk," tutur Umi padaku.
"Mbah kok ngoten Mi kalih Kayla?" ucapku mencemberutkan bibirku.
"Seng sabar," ucap Umi sambil memelukku.
"Al maafkan Mbah nyai yo Le, seng sabar. Kalian anak hebat kudu sabar ya Nduk, Le," tutur Umi kepadaku dan Kang Ali.
Aku pun beranjak pergi ke rumah ndalem ditemani Kang Ali. Air mataku berjatuhan bak gerimis hujan yang menerpa bumi. Selalu dengan hal yang sepele Mbah Uti selalu marah dan jahat padaku.
Apa aku bukan cucunya? Tapi aku anak Umi dan Abah, tapi kenapa aku diperlakukan dengan sifat yang berbeda dari saudara-saudaraku?
Tak lama kemudian datang Kang Ali menenangkanku. Aku pun memeluknya dan membiarkan air mataku jatuh di baju putihnya. Seorang anak kecil belum tau dosa yang dilakukannya.
"Seng sabar ya Ning Kayla," ucap Kang Ali. Selama ini memang aku dekat dengan Kang Ali dan Ia seperti kakak kandungku sendiri. Ia selalu ada ketika aku sedih, tertawa dalam suka dan duka.
"Wes, Ning mau apa? Nanti tak beliin,"
"Ndak mau apa-apa Kang,"
"Ya wes ndak pengen ke depan lagi?"
"Ndak Kang, males,"
Kang Ali masih memandangiku dan Ia bercerita sebuah kisah.
Ning Kayla, dulu ada sebuah kisah teladan dari Rasulullah. Ketika Nabi disakiti, beliau tidak pernah membalasnya. Nabi menghadapinya dengan kesabaran.
Setiap kali Nabi melintas di depan rumah seorang wanita tua, Nabi selalu diludahi oleh wanita tua itu. Suatu hari, saat Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam melewati rumah wanita tua. Beliau tidak bertemu dengannya. Karena penasaran, beliau pun bertanya kepada seseorang tentang wanita tua itu.
Justru orang yang ditanya itu merasa heran, mengapa ia menanyakan kabar tentang wanita tua yang telah berlaku buruk kepadanya.
Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapatkan jawaban bahwa wanita tua yang biasa meludahinya itu ternyata sedang jatuh sakit. Bukannya bergembira, justru beliau memutuskan untuk menjenguknya. Wanita tua itu tidak menyangka jika Nabi mau menjenguknya.
Ketika wanita tua itu sadar bahwa manusia yang menjenguknya adalah orang yang selalu diludahinya setiap kali melewati depan rumahnya, ia pun menangis di dalam hatinya, "Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjengukku."
Dengan menitikkan air mata haru dan bahagia, wanita tua itu lantas bertanya, "Wahai Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?"
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, "Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya."
Mendengar jawaban bijak dari Nabi, wanita tua itu pun menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya terasa tersekat. Lalu, dengan penuh kesadaran, ia berkata, "Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu,"
Lantas wanita tua itu mengikrarkan dua kalimat syahadat, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."