Tiga tahun berlalu, aku naik ke Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan Kang Ali tetap tinggal di Pesantren.
Seperti biasa, Aku dan Kang Ali berlari-lari di hamparan sawah di belakang Pesantren. Kami beristirahat di gubuk yang selalu menjadi tempat kami untuk bertukar cerita.
Namun hari ini jiwa ini tak berdaya dan terasa mengemban beban yang sangat berat. Kala Kang Ali berbicara padaku, Ia menyatakan Aku akan pergi nyantri di Pesantren yang baru.
"Sebentar lagi Ning akan mondok di Pesantren yang baru"
"Kang Ali ndak bercanda to? siapa yang bilang?" ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ndak Ning Kayla, aku serius. abah yai yang dawuh, " ucapnya menatapku dengan wajah yang agak melas.
"Abah ndak kasih tau Aku. Apa ndak bisa mondok disini saja? Aku ndak mau. "
"Ning Kayla, ilmu itu luas dan tak terbatas. Ning juga harus tau dunia luar biar banyak pengalaman"
"Tapi Kang, Aku ndak mau mondok."
"Kenapa Ning?"
"...."
"Ning Kayla harus tau dunia pesantren yang lain."
"Al-Fatah pun punya segudang ilmu" ucapku menggerutu.
"Masih banyak ilmu yang lain Ning yang berguna untuk masa depan pesantren,"
Kang Ali masih memandangku dengan haru. Aku pun semakin menganak sungai dan Kang Ali pun tak dapat berbuat apa-apa. Hanya dapat menyemangatiku
"Ning Kayla, belajar sing rajin nggih. Ka-kang Ali sayang kalih Ning Kayla,"
Deg, kali ini aku mengerti. kami sudah terlibat cinta lokasi yang statusnya cinta monyet.
Suasana mengharu biru. Langit pun mendung dan awan pun ikut menangis mengeluarkan ribuan air matanya. Seperti mengerti perasaan kami saat ini. Rasanya aku tak rela Kang Ali jauh dariku.
Tapi aku tak bisa menolak permintaan Abah. Karena niatnya baik untukku tholabul ilmi. Tak terasa air mataku menetes dengan keadaan ini. Aku harus kehilangan teman sepermainanku dan juga kakak yang baik untukku yang kadang Ia berubah menjadi lebih dari kakak kala di depanku.
Tiba-tiba tangannya mengenggamku saat ku ingin turun dari gubuk itu. Pandangannya masih terarah padaku dan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
Mungkinkah Ia sebenarnya tak ingin pergi dariku. Tapi kenapa Kang Ali tak mengungkapkannya? Ya, aku sadar diri ini masih seumur jagung bahkan anak tadi sore yang masih tak mengerti dengan cinta-cintaan.
Kami pun menuju rumah ndalem. Nampak semua melihat kedekatan kami. Sepertinya Abah mengerti aku takkan rela berpisah dengan Kang Ali. Beliau pun menghampiriku seakan Abah mengerti Aku sudah mengetahui rencana Abah.
"Nduk, thollabul ilmi itu tidak hanya di satu tempat saja. "
"Tapi Bah."
"Sampean nggih badhe Abah pondokkan ke pondoke temennya Abah"
"Kayla pengen di Al-Fatah saja"
"Nduk, Abah mengerti perasaanmu.
"Kayla mboten purun abah!" teriakku dan pergi masuk ke dalam menangis meratapi nasib dan takdirku harus berpisah dengan orang yang sangat dekat denganku.
Bagai bunga dan kumbang
Kisah lembaran ini takkan habis
Meskipun jarak akan menerpa
Suara rasa akan tetap di dalam jiwa
Ya aku rasa KAli tidak hanya sekedar seorang Abdi Ndalem yang mengasuhku atau kakak bagiku. Ia lebih dari itu. Seseorang yang berbeda dari ikhwan yang lain di luar sana. Kesabarannya menghadapi kebawelanku dan gaya yang sederhana dapat memberikan rasa nyaman terhadapku.
Perangainya yang indah dalam pandangan. Pancaran Imannya yang terlukis dalam akhlaq santunnya membuat kedamaian dalam hati.
Aku masih memandangi mahkota bunga padi yang di berikannya padaku. Dia seperti padi, tak ada rasa sombong ketika Ia mempunyai Ilmu dan tetap menampakkan ketawadhu'annya dalam segala kelebihannya.
Entah apa jadinya jika nanti aku melangkah tanpanya di sampingku. Dia adalah teman yang baik, sangat baik dan lucu.
"Kayla," sapa Umi yang menghampiriku ke dalam kamar.
"Nggih Mi."
"Seng sabar yo Nduk, Umi yo ngerti sampean caket karo Kang Ali"
"Kengeng nopo Mi, abah mboten mengijinkan Kayla mondok di Al-Fatah saja?"
"Ilmu itu tak terbatas Nduk, setiap Pesantren mempunyai ilmu dan barokah yang berbeda-beda, Abah ingin kalian iku biso menyerap Ilmu yang ada di Pesantren baru kalian, untuk memajukan Pesantren Abahmu"
Aku hanya bingung saja, untuk apa? Sedangkan Al-Fatah pun sudah mempunyai metode sendiri untuk mengajar para santrinya. Aku hanya bisa mengikuti kemauan Abah dan Umi.
Satu minggu berlalu, Aku harus meninggalkan Pondok Pesantren Al-Fatah menuju Pesantren yang baru. Lek Ali tetap mengajar di Al-Fatah, Sedangkan aku harus mondok di Pesantren yang ada di kota Gresik.
Ya, jarak kami jauh sekarang. Mungkin, aku akan menghabiskan sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyahku di Pesantren.
Kami berangkat dengan Mobil Pesantren di temani Abah dan Pakdhe Ishak. Aku dan Kang Ali duduk di bangku tengah dengan perasaan yang sedih.
Hari ini aku harus berpisah dengan orang yang kusayangi. Seorang saudara yang selalu ada di di setiap hariku, kini takkan ku lihat lagi di dalam setiap ujung mataku memandang.
Tetasan air mataku semakin lama semakin ingin jatuh saja di atas kerudungku. Ku lihat mata Kang Ali pun berkaca-kaca, tetapi Ia bisa menahan tangisnya. Sedangkan aku tak dapat membendung air mataku sendiri.
Kang Ali memberikan sapu tangannnya untukku. Mengusap air mataku dengan lembut dan hati-hati. Aku hanya dapat memandanginya.
"Ning, sampun ampun nangis malih," kata Lek Ali padaku
"Tapi."
"Janji nggih, Teng Pesantren ampun nakal, semangat ngaji, raih prestasi lan rendah hati nggih," ucapnya mengelus kepalaku. Abah dan Pakdhe tak heran dengan kedekatanku dengan Abdi Ndalem spesial Abah. Kang Ali adalah yatim piatu yang dibawa abah ke Pesantren. Karena kepintarannya Abah mengangkatnya jadi Ustadz dan Ia memilih mengabdi ke ndalem.
"Kang Ali, ampun lupakan Kayla," ucapku padanya.
Tapi Kang Ali hanya tertawa. kok ketawa to?" imbuhku memanyunkan bibirku dan itu semakin membuatnya tertawa. Abah dan Pak dhe hanya tersenyum melihat tingkahku di belakang bersama Kang Ali.
"La sampean aneh-aneh saja Ning, ndak mungkin to Kang Ali melupakan sampean. Ning paling cerewet sedunia"
"Kang...!!" teriakku, nyebelin banget sih jadi orang, saat-saat sedih seperti ini Kang Ali masih bisa tertawa dan ku lihat tertawanya semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa diam dan memandanginya.
"Oh ya, Kang Ali gadah hutang nggih kalih Ning Kayla?" ucapnya, membuatku bingung. Hutang apa yang di maksud? Aku rasa Kang Ali tak berhutang apa-apa kepadaku.
"Lak bingung" ucapnya lagi membuat aku menyusuri otakku untuk mencari tahu apa hutangnya padaku.
"Lirr-Ilir" senandungnya.
Hmm, baru aku mengerti hutang apa yang di maksud. Ternyata hutang memaknai lagu Lir-Ilir kepunyaan Mbah Sunan Kalijaga.
Ia pun meneruskan memaknai lagu tersebut dan aku hanya mendengarkannya.
Dodotiro...dodotiro...
Pakaianmu...Pakaianmu...
Dodot adalah kain panjang yg digunakan utk menutupi bagian bawah tubuh, bagian bawah tubuh bawah kita baik laki-laki atau wanita adalah AURAT atau HARGA DIRI kita sebagai manusia.
Bila aurat dibiarkan terbuka tanpa penutup dan dipamerkan kepada setiap manusia tak ada lagi yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan.
Pakaian dalam arti harfiah adalah sesuatu yang kita gunakan selain untuk melindungi diri dari alam, pakaian juga berfungsi membedakan orang waras dengan orang gila, ketika orang tidak berpakaian dan berjalan ditengah oran ramai dengan mudah orang yang melihat akan mengatakan bahwa orang tersebut tidak memiliki hargadiri atau tidak tau malu atau orang gila, pakaian juga membedakan status dan kedudukan sosial pemakainya di kalangan masyarakat.