Singkatnya dengan pengertian itu dapat di tarik kesimpulan bahwa pakaian disini bermakna 'Harga diri' dan Pakaianmu (dodotiro) adalah jati diri dan harga dirimu yang sesungguhnya yang bila rusak atau kotor harus dibersihkan dengan ikhtiar mencari kebenaran dengan berpegang teguh pada ahlulbait tadi, berpegang teguh pada ajaran Ahlul Bait memang tidak mudah, namun dengan usaha-usaha diatas akan menunjukkan ketinggian statusmu di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ketinggian statusmu disisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala, membuatmu menjadi orang yang berilmu tentunya akan dihargai dalam masyarakat, setelah kau menjadi manusia seperti ini maka kau akan menjadi manusia yang siap pada pertemuan dengan sang Pencipta kelak, ketika kematian datang menjemput.
Kumitir bedha ing pinggir
Yang robeknya sudah tidak beraturan pada sisinya
Dondho mono, Jru metono
Perbaikilah! Rapikanlah! Jahitlah!
"Niki masih bersambung kalih dodotiro"
Kanggo sebho mengko sore
Agar dapat dipakai pada pertemuan sore nanti
"kanggo sebho mengko sore", menandakan berlalunya hari, berlalunya sang waktu, berganti hari yang lain. Hakikat kematian pada dasarnya adalah seperti pergantian waktu, pergantian alam, dengan kematian kita memasuki alam berikutnya dengan bekal yang kita usahakan selama kehidupan didunia yang digambarkan dengan waktu sebelum sore.
Mumpung jembar kalangane
Selagi masih luas jangkauannya (selagi masih sehat badannya)
kanjeng Sunan Ampel memberikan semangat kepada anak-anak dan para pemuda murid-murid sang Sunan untuk tidak menyia-nyiakan waktu, untuk segera bergegas, berikhtiar, belajar selagi masih muda (mumpung padang rembulane), selagi masih ada daya dan upaya untuk melakukan ikhtiar sebisa mungkin dengan mempelajari dan mencontoh para ahli ibadah, yaitu AhlulBait dan para ulama pecinta dan pengikut mereka.
Sun-surak-o-surak hiyoo
Ayo! Bersegeralah!
kesimpulan singkat dari makna tembang lir-lilir adalah nasehat sang sunan untuk mempelajari sebanyak mungkin ilmu dengan berbagai cabangnya seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Pelajarilah Islam dengan berpegang dan mengikuti langkah yang diajarkan Ahlulbait.
Belajarlah dan teladanilah para ahli ibadah karena mereka adalah orang-orang yang berilmu, dan sebaik-baiknya ahli ibadah adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Ahlul Baitnya.
Ilmu dari semua cabangnya digunakan untuk memperkuat iman dan keyakinan, karena hanya dengan meneladani perjuangan mereka dan ilmu yang kita pelajari yang akan menjadi benteng pertahanan dari setiap godaan setan dan pengikut-pengikutnya yang membujuk manusia untuk mengikuti nafsu duniawi.
Allahumma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad
"Allahumma Sholli Alaih" jawabku tersenyum pada Kang Ali, yang sangat bersabar menjelaskan makna tersebut. Dalam dan sangat memotivasi para Umat yang ingin meraih Ridho Sang Illahi.
Ku rasakan mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah gang kecil di pinggiran jalan yang tak seberapa luas. Kulihat para mbak santri keluar masuk gang kecil itu. Kami pun pergi ke sana.
Kulihat asrama dan sekolah itu berdempetan hanya jembatan kecil yang menjadi pembatas keduanya kulihat di atas kepalaku. Yah, lebih besar dari Pesantren Abah.
Ku lihat disisi kanan terdapat pintu yang mengarah ke ruang asrama, pikirku. Abah menarik tanganku menuju rumah sebelah asrama tersebut. Nampaknya ini rumah Pak Kyai pengasuh Pesantren. Kami pun masuk ke dalam untuk sowan kepada beliau.
Sambutan tangan yang hangat dari bunyai mendarat ke arahku dan aku mencium telapak tangannya dengan takdhim.
"Ayune nduk sampean" ucapan itu terlontar dari bibir beliau. Bu Nyai yang sangat anggun dan ramah.
Beliau mendudukkan kami dan menyuguhkan kami makanan. Nampak Abah dan Pak Kyai mengobrol dengan akrab.
Aku masih memandang setiap sudut rumah ini dan sesekali memangdang keluar. Kulihat lalu lalang para santriwati di depan rumah ndalem.
"Mugo betah nggih Nduk" ucap Pak Kyai padaku. Aku hanya tersenyum dan berucap "InsyaaAllah"
"Mondok iku lek gak gudiken, gak panuen ilmune berarti durung mlebu. Lek wes keno iku ilmune iku wes mlebu" canda Pak Kyai dengan kami.
Mungkin orang jawa akan paham dengan apa yang dikatakan Pak Kyai. Aku pun tak mau sampai kena penyakit kulit tersebut.
Setelah sowan ke ndalem Kyai. Kini saatnya aku berpisah dengan Abah, Pakdhe dan Lek Ali. Air mataku menetes lagi. Melihat perpisahan sudah ada di depan mata.
"Kang Ali" teriakku melihatnya melangkahkan kakinya dan langkahnya terhenti menujuku.
Kami pun berpelukan menangis. Semua mata tertuju pada kami. Ya, aku meresa tak memperdulikan suasana sekitar. Sampai pada akhirnya Abah dan Pakdhe melepaskan kami.
"Wes Nduk, seng sabar 6 tahun iku cepet kok Nduk" ucap Abah padaku.
Ku kira aku disini tiga tahun saja, lalu pindah ke Pesantren yang baru lagi, ternyata aku salah. Enam tahun? Apakah aku bisa berjumpa dengan Kang Ali lagi? Ya Allah, cobaanku.
"Jadi wanita yang sholiha nggih Ning" ucap Lek Ali menyalamiku. Aku tak bisa melepaskan tangannya, berat bagiku untuk berpisah dengan Kang Ali. Tapi harapanku sirna ketika Abah melepaskan tangan kami.
Dengan langkah yang pelan Kang Ali, Abah dan Pakdhe meninggalkanku. Aku hanya dapat melihat mereka dari jauh. Sesekali Kang Ali menengokku, sedih dan haru menghiasi hariku kali ini.
Mereka pun pergi menuju Pesantren Al-Fatah kembali.
"Dek, ayo masuk. Sampean insyaaAllah betah disini" kata salah satu mbak pengurus Pesantren itu. Kami pun masuk pintu yang kulihat tadi.
Mataku menyusuri setiap kamar asrama di depanku. Ada dua lantai dan sempit sekali. Jauh berbeda dari Pesantren abah yang arsitekturnya dari kayu. Kurasa ini Pesantren Modern namun tetap dalam balutan Salaf (tradisional).
Kulihat para santriwati sesang sibuk dengan aktifitasnya, mulai dari Memasak mi instan, bersih-bersih. mencuci bahkan ada yang berlaku gila dengan sapu di tangannya lalu menyanyikan lagu yang tak jelas.
Mbak Ainun, adalah nama dari pengurus pedantren yang ada di sampingku saat ini. Kaki kami mengarah ke tangga sebelah kanan. Tangga yang pendek dan kecil sebagai penghubung lantai satu dan dua.
Nampak di samping tangga ada sesuatu yang berbeda, "Sepertinya itu bukan kamar asrama," fikirku.
"Saya bingung mau manggil apa, njenengan putrinya Kyai Ja'far nggih Ning?" Ucap Mbak Ainun menghentikan langkah kami.
"Ampun nimbali ngoten nggih Mbak, timbali Kayla mawon" Jawabku karena Aku tak mau santriwati disini ndak enakan kepadaku jika tau statusku.
"Nggih mpun Dek Kayla, monggo" ucapnya sedikit tak enak, tapi aku mencoba merilekskan Mbak Ainun. Langkah kami perlahan menaiki anak tangga.
Satu
Dua
Tiga
Dua belas
Anak tangga itu berhasil mengantarkan kami sampai ke puncak lantai dua. Ku lihat kamar per kamar ukurannnya sangat kecil. Kira-kira 4x2 ukuran kamat tersebut. Akhirnya langkah kami sampai ke ke kamar Shofia 2.
Nampak semua pasang mata mengarah kepadaku, dan aku hanya tersenyum.pada mereka. Mbak Ainun mengenalkanku pada semua penghuni kamar tersebut.
"Isma Kayla Nadhifa Almaira min Bojonegoro" nampak semua bersalaman kepadaku. Kecuali dua orang yang duduk di pojok loker sebelah kiri. Mereka nampak memandangiku dengan sinis.
"Siska, Ayu kenapa kalian masih disana, berdiri dan ta'aruf lah dengan teman baru kalian" perintah Mbak Ainun.
Mereka lalu bangkit dengan wajah tak senang menghampiriku, perlahan mereka sodorkan tangannya ke arahku dan aku menyambutnya, tapi memang dasar orang yang tak suka dari awal. Mereka menyalamiku dengan keras hampir telapak tanganku linu di buatnya.
"Dek Kayla, niki loker sampean" ucap Mbak Ainun padaku, lalu beliau memohon diri untuk pergi sembari aku menata semua barangku di loker kecil ukuran 30*30cm. Sungguh ukiran yang sangat kecil bagiku, jika dibandingkan dengan almari yang ada di kamarku.
Kini aku harus mengotak atik otakkku agar aku dapat memasukkan semua barang-barangku yang cukup banyak di lemari tersebut. Otakku mulai menyusun rencana.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepukku dari belakang, membuatku kaget. Nampak mbak santriwati dengar sarung ungunya ada di sampingku.
"Butuh bantuan Kayla?" ucapnya padaku dengan ramah.
"Ndak usah, syukron" Jawabku sembari tersenyum ke arahnya.
"Tak apa, aku bantu" ucapnya sambil membantuku merapikan beberapa baju dan sarungku juga jilbab dan peralatan makeup sederhana yaitu bedak bayi dan beberapa alat-alat sehari-hari.
"Lupa namaku? Aku Amelia" ucapnya sembari membantuku untuk menata beberapa bukuku.
"Syukron Amel, sampean dari mana?"
"Aku dari Jakarta"
"MasyaaAllah jauh nggih"
"Tak apa Kay, yang penting dekat kan sekarang" ucapnya tersenyum ramah.
Dari awal firasatku memandangnya, Ia adalah santriwati yang baik dan sangat senang membantu orang lain.