Tak sadar di ujung loker ada Siska dan Ayu memandangi kami, "Heh, anak santri baru, kamu bawa jajan apa? Bagi-bagi jangan pelit" ujar mereka dengan wajah yang membuatku kesal.
Aku jadi ingat kisah yang di sampaikan Kang Ali tentang kesabaran dan keramahan Rasulullah pada seorang nenek yang selalu meludahi beliau, ketika beliau lewat.
Aku pun menjawabnya dengan tenang, sopan dan ramah ."Maaf ya, aku ndak bawa apa-apa kesini, aku hanya bawa ridho Allah dan Rasulullah juga doa dan harapan kedua orang tuaku, apa kamu mau memintanya?"
Mereka bingung dengan jawabanku lalu berkata, "Apaan, gak modal. Lihat nih semua ngasih kita makanan. Hanya kamu yang tidak!" gertaknya sedikit marah.
(Sabar, Ning Kayla. Sabar )Seperti bisik Kang Ali membisiki telingaku.
"Abah ndak memberiku jajan tapi Abah memberiku ilmu dan adab, itu lebih baik dari semua rentengan jajan-jajan yang ada di depan kalian" ucapku tersenyum pada mereka.
"Jadi kamu fikir kita tak ada adab?"
"Kasih pelajaran Sis!"
Mereka geram terhadapku dan aku hanya diam.di tempat melihat mereka ke arahku. Tangan siska hampif melayang ke pipiku tapi Amel menghalanginya.
"Jangan seperti ini Siska, jika Mbak Ainun tau, kau akan di takzir" terang Amelia.
"Ajarkan sopan santun kepada santri baru ini!" bentak Siska sebagai ketua kamar disini. Amelia lalu menarik tanganku keluar dari kamar asrama tersebut. Menuju lantai satu.
"Kamu jangan cari gara-gara ke Dia. Kamu tau kan dia ketua kamar yang sangat uh, aku males ngejelasinnya" ucap Amelia agak geram melihat kelakuan dua santriwati tersebut.
"Dia anak mana to?" tanyaku ke Amelia dan Ia menjaelaskan anak madura. Hmm, kata Lek Ali dulu juga orang madura keras tapi ndak semuanya sih. Tapi kalai baik bisa baik sekali. Kalau jahat bisa jahat sekali.
Tiba-tiba Amelia menepuk kakiku, dan pandangannya menuju seorang ikhwan, mungkin sepantaran dengan Lek Ali. Dengan koko putih sarung hijau dan peci putih. Ia melangkah kakinya ke pintu yang kemarin ku lihat.
Ternyata itu pintu kedua Rumah Ndalem. Amelia menepukku lagi "Kayla, itu Gus Zein putra Kyai disini. Ku lihat pandangan mata para santriwati dari lantai atas dan bawah tetuju kepadanya.
Yah, aku tak heran lagi, seorang Gus atau putra Kyai, ketika Ia lewat seperti mangsa bagi mbak-mbak santri disini. Itu pun berlaku di dalam Pesantren abahku. Tak jarang ketika Mbak Azizah dan Aku ke pondok putra juga mempunyai pengagum rahasia dalam diam di setiap hati santri putra yang menatap.
Namun kami biasa saja, memang tak ada apa-apa, hanya memberikan jatah makanan pada mereka semua.
Sesekali, Gus Zein menatap ke arah kami lalu tersenyum pada kami.
Aku pun menyambut senyumannya dan menelungkupkan tanganku sebagai tanda takdhimku padanya.
"Ciyeee, Kayla. Wah, jarang lo ada orang yang disenyumin sama Gus Zein" ucapnya. Aku hanya bisa menghela nafas.
"Apaan to, wong Gusnya cuma senyum, masa aku mau balas cemberut, ndak sopan to" ucapku memberikan argumen agar Amelia tak salah faham dengan kejadian ini.
"Hilih, Kayla. Masa kamu ndak naksir sama Gus Zein?"
"Ya Allah, ndak lah" ucapku seraya menggelangkan sedikit kepalaku.
Kami kembali ke kamar asrama, tak kudapati sosok santriwati yang menyebalkan itu. Amelia mengambil sesuatu dari lokernya. Nampak biskuit dan snack ia ambil dan menghampiriku. Kami pun makan bersama.
Tiba-tiba satu santriwati menghampiri kami "Bagi-bagi donk!" ucapnya.
Ia adalah Ririz salah satu santriwati. Ia mempunyai kesamaan denganku, yaitu sama-sama berasal dari kota Bumi Angling Dharma.
"Loh, Ning Kayla?" tuturnya mendekati kami. Aku tak mengerti, bagaimana bisa dia kenal aku sedangkan aku tak kenal dia. Astaghfirullah aku lupa dia juga berasal dari kota ledre. Mungkin Ia kenal dengan Abah.
"Ning?" sahut Amelia yang pandangannya bolak balik terarah menuju kami. Aku hanya diam seribu bahasa.
"Iya, ini Ning Kayla to? Putrinya Kyai Ja'far?" timpa Ririz. Aku hanya diam seribu bahasa.
"Ning, kok diam to?" ucapnya lagi
"E.. Enggih Mbak, ngapunten nggih ampun ngendikan teng lare-lare nggih" ucapku dengan lirih.
"MasyaaAllah, Lha kengeng nopo nggih Ning?"
"Dalem mboten pengen sedoyo semerep dalem putri Kyai" ucapku pada mereka dan menjelaskannya dengan bahasaku dan bahasa mereka yang intinya, Aku tak mau mereka tahu, karena jika mereka tahu, mereka akan mengistimewakannya.
Nampak wajah dengan alis akan menyatu dan bibir melengkung terbalik. Aku mengerti mereka menyayangkan apa yang aku putuskan.
"Ya Allah Ning, kenapa Ning gak bilang kalau Ning"
"Hussst..." Aku memotong perkataan Amelia.
Akhirnya mereka dapat memaklumi apa yang menjadi keputusanku menyembunyikan identitasku.
Ghuroba oh... Ghuroba oh..
Ghuroba..Ghuroba...
Suara itu membuyarkan wacana kami. Suara yang bagus mungkin dari arah Pesantren putra yang letaknya agak jauh dari sini. Syair Ghuroba yang berarti orang asing. Dulu aku juga pernah melantunkannya dengan Lek Ali saat lomba banjari tingkat nasional se-Jawa Timur.
Bibirku bergeming dengan refleks ketika mendengar suatu lantunan suara. Ku lihat semua mbak santri keluar dari kamarnya tak terkecuali Ririz dan Amelia. Mereka berjajar di pagar pembatas lantai satu dan dua.
Suara itu semakin lama semakin menggema terdengar di halaman asrama putri. Seperti ada microfon yang tersambung antara Pesantren Putra dan Putri.
Setelah suara itu berhenti di susul adzan yang tak kalah merdu terdengar seperti di depan telinga kanan kiriku. Aku segera mengambil mukena dan kami semua turun ke bawah untuk melaksanakan sholat Ashar.
Sebuah kaki terasa menginjak mukenaku dan "Krakkk" sepertinya ada yang sobek, ternyata itu ulah Siska yang masih tak suka dengan keberadaanku di Pesantren ini.
"Heh, kamu kok su'ul adab tenan to!" seru Ririz dengan muka yang merah memadam. Aku hanya mengingatkan mereka tetap sabar dengan keadaan ini. Sasaran mereka adalah aku bukan Ririz ataupun Amelia.
Tersadar aku mukenaku robek, Ririz dan Amelia berebut untuk menjahitnya. Aku pun tak mau melepas mukenaku. Lalu aku naik ke atas lagi untuk menambal robekan itu dengan isolasi bening.
"Alhamdulillah, tak terlalu parah" walaupun aku bisa membalas mereka dengan cara mengadukannya ke Ustadzah Ainun atau Bu Nyai, Aku tak mau melakukan itu. Karena tindakan seperti itu hanya dilakukan seorang anak kecil dan aku tersadar aku sudah menginjak ke Madrasah Tsanawiyah.
Setelah menambal bagian mukena yang robek, aku pun turun ke bawah. Dari atas nampak semua santriwati sudah berkumpul untuk menunaikan sholat Ashar. Dengan langkahan kaki yang cepat aku menuruni tangga dan menunaikan sholat Ashar secara berjamaah.
Mungkin hari ini hari apesku, aku mendapat tempat shaf di depan Siska dan Ia berulah padaku lagi, sujudku di buat tak sempurna. Hal itu membuatku harus mengulang sholat ashar dengan mufrod.
Setelah melaksanakan sholat ashar aku pun menderes hafalanku untuk di setorkan kepada ustadzah saat malam hari tiba.
"Kasihan, mukenanya sobek. Makanya jangan sok jadi orang" cibir Siska padaku dan aku hanya tersenyum memandanginya dan terfokus lagi dengan kitab Imrithi yang ku bawa dan Ia pun pergi.
Tak lama kemudian datang Amelia. Dengan sontak menarik tanganku menuju luar Pesantren.
"Mau kemana to?"
"Aku di sambang kakaku, temani aku Ning" Ajak Amelia.
Dasar bocah, harusnya Ia biarkanku mengganti baju dulu bukan dengan mukena yang masih melekat pada kepalaku. Ia menarikku menuju ruang tunggu wali santri.
Seorang ikhwan dengan jubah putihnya dan peci putih terpampang di hadapanku. Sepasang mata itu masih menatapku kala Amelia memperkenalkan aku pada kakaknya. Masih muda dan kata Amelia, Ia adalah alumni Pondok Pesantren di Cirebon.
Sesekali Ia menunduk, mungkin karena ingin menjaga pandangannya.
"Gimana Mel? Kamu betah?" ucap Kak Hasan dengan tersenyum pada Amelia.
"Alhamdulillah Kak"
"Ini ada sedikit makanan buat kamu buat....Ning Kayla juga...kalau mau" ucapnya sedikit terbata saat menyebut namaku.
"Ehmm, Ehmm" dehem Amelia yang menyindir kami.
"Jazakallah khoir Mas Hasan"
"Kalau butuh sesuatu boleh panggil saya Ning, apa mau makan bareng sama Amel?" Ajak Mas Hasan sedikit malu kepadaku. Ingin hati menolak tapi rezeki tak boleh di tolak apalagi orangnya langsung yang mengajak.
"Ayo wes ikut saja, kapan lagi Ning makan gratis" tandas Amelia.
Aku pun meminta Izin untuk naik sebentar mengganti pakaianku dengan hijab. Setelah itu aku turun kembali. Tiba-tiba saat aku memperbaiki jilbab dengan tak memperhatikan jalan. Gus Zein berjalan ke arahku dan hampir saja kita saling menabrakkan raga ini. Untung kesadaran datang tepat waktu.
"Tunggu" ucap Gus Zein menghentikan langkahku.
"Santri baru?" ucapnya lagi. Kali ini aku hanya mengangguk dan diam.
"E...na"
Tiba-tiba belum sempat Ia akan bicara apa padaku terdengar suara panggilan "Zein..!" dari dalam rumah ndalem. Aku pun segera memohon diri untuk pergi dari hadapan Gus Zein dan menuju luar asrama.
"Dari mana saja Ning?"
"Maaf nggih, tadi ada sedikit insiden di dalam" ucapku menundukkan pandangan. Amelia sepertinya mencurigaiku, ada insiden apa.
"Ya sudah, ayo! Izin dulu" ucap Mas Hasan.
Kami menuju meja pengurus untuk meminta izin pada pengurus.
"Kayla wa Amelia shofia 2"
Pengurus itu pun mencatat nama kami. Ini adalah absen jika santri ingin keluar dengan berbagai urusan. Kecuali untuk membeli barang di dekat asrama putri.
"Mau makan apa?" tanya Mas Hasan pada kami.
"Apa ya Kak, banyak makanan disini, ngebakso aja yuk!" ajak Amelia pada kakaknya.
"Ning mau makan apa?"
"Dalem ngikut mawon" ucapku dengan lirih. Nampak Mas Hasan tersenyum lagi padaku.
Aku merasa pandangan itu tak biasa. Senyuman itu mengandung pesan yang tersirat didalamnya, entah apa aku tak mengerti. Langkah kami menuju warung bakso yang tak berada jauh dari Pesantren.