Nyaman, itu yang kurasakan ketika Kqng Ali ada di hadapanku. Bagaimana tidak? Wajah jawa yang sederhana, slow dan rendah hati. Tak kalah dengan oppa-oppa korea yang kata mereka sebagian orang tampan.
Oh ku tak suka itu, apa spesialnya mereka? Sampai orang-orang mengagumi mereka? Sedang mereka tak dapat memberikan syafa'at di kemudian zaman. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam adalah idolah sepanjang zaman, seperti kerinduan umat di dalam lantunan syair burdah yang selalu dilantunkan penuh penghayatan oleh Kang Ali.
"Jika seseorang mencintai kalangan saleh dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, Ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak seperti yang dilakukan orang-orang saleh tadi, sebab keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi agar bisa berbuat serupa." (Muhammad bin Abdurrahman al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami' at Tirmidzi [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah], juz 7, hal 53)
Kang Ali pernah berkata seperti itu padaku. Laki-laki yang cerdas dan berwawasan luas kata yang pantas ku ucapkan untuk sosok Kang Ali. Kepiawaiannya memaknai syiir lagu dan menerjemahkannya dengan bahasa yang gamblang membuatku merindukan setetes ilmu darinya.
"Ning Kayla," ucapnya membangunkanku dari lamunanku.
"Nggih Kang."
Selalu saja senyum yang di sunggingkannya. Semakin membuatku mengotak-atik otakku kenapa Kang Ali seperti itu.
"Kayla, Nduk," ucap Abah menghampiri kami.
"Nggih Abah."
"Mulai sak iki sampean di sambang Kang Ali nggih sebulan sekali," ucap Abah. Ternyata benar apa yang di katakan Kang Ali.
"Abah wangsul sek yo Nduk, seng pinter ngajine, seng rajin, seng ikhlas umpomo awakmu mengko di jaluk ngabdi nang Pesantrene Yai Faqih."
Deg, Ya Allah, haruskah aku mengabdi disini? Aku hanya terdiam saat Abah berbicara dan Aku menundukkan pandanganku.
"Yai Faqih mau sanjang kalih Abah, insyaaAllah sampean Mengko di angkat dadi pengurus nang pesantren iki," ucap Abah membuatku berfikir kenapa Abah harus menyodorkanku? itu seperti sogokan saja dan aku tak menginginkan itu. Aku ingin menjadi pengurus dengan ilmuku dengan prestasiku bukan dengan cara seperti ini! Tapi, apa dayaku? Aku hanya dapat meng-iyakan kata Abah. "batinku"
Aku sangat menginginkannya Abah. Tapi, setelah aku timbang-timbang ingin rasanya aku kembali ke Al-Fatah saja mengabdi disana dan menyebarkan ilmuku pada adik-adik santri disana. "gerutuku dalam hati"
"Nduk."
"I...inggih Abah."
"Yo wes, Abah mantuk sek yo," ucap Abah sambil membelai kepalaku. Haru selalu menjadi suasanaku, kala di sambang. Apalagi untuk pertama kali aku di sambang setelah 3 tahun yang lalu Abah menitipkanku di Pesantren ini.
Abah dan Kang Ali lalu pergi dan meninggalkanku di luar Asrama, aku masih melihat langkahan mereka menuju batas gang Pesantren. Ya Allah, aku hanya ingin membahagiakan orang yang ku sayangi. Semoga Engkau ridho dengan langkahku thollabul ilmi disini.
"Ning Kayla!! kamu disini," ucap Amelia sambil menepuk bahuku membuatku terkaget.
"Ya Allah Mel, jantungku mau copot rasanya, sampean ini ngagetin aja."
"Lagian aku lihat Ning ngelamun sendirian."
"Hmm."
"Ada apa Ning?"
"Tadi Abah nyambang kesini,"
"MasyaaAllah, kok Ning gak bilang sih?"
"Maaf, aku terlalu bersemangat ketika mendengar panggilan itu. Kamu dari mana?"
"Dari kantin Ning, biasa stok jajan mulai menipis."
"Hmm....,"
Kami pun masuk ke dalam asrama. Nampak gerombolan santriwati ada di sebelah aula. Seorang santri sedang di takzir dengan kalung kertas bertuliskan SAYA SANTRI NAKAL serta coretan muka seperti badut. Ku lihat air matanya menganak sungai di tengah gerombolan para santriwati.
"Ini hukuman untuk orang yang tidak di siplin, keluar pondok tanpa izin!" teriak Ustadzah Arumi.
Aku pun mendekat dan berkata, "Apa tak ada takziran yang lain yang lebih bermanfaat untuk santri selain hukuman yang mempermalukan dirinya?" kata-kata itu sontak keluar dari lisanku. Suasana mulai hening tak ada teriakan para santri yang meraunginya lagi.
"Kamu, mau di takzir juga? Ini sudah peraturan disini!"
"Peraturan macam apa ini?"
"Kamu!!" ucap Ustadzah Arumi mengarahkan rotannya padaku.
"Tasss!"
Suara itu terdengar lagi ketika aku memalingkan mukaku dan menutup mataku. Ku lihat rotan itu ada dalam genggaman Gus Zein yang berada tepat di depanku.
"Apa sampean mendidik para santri dengan cara mengayunkan rotan seperti ini?" ucap Gus Zein yang nampak marah kepada Ustadzah Arumi.
"Ngapunten Gus" ucap Ustadzah Arumi dengan menundukkan pandangannya.
"Kamu, bersihkan wajah sampean, jangan di ulangi lagi. Izin pengurus jika akan meninggalkan pondok. Ini juga berlaku untuk kalian semua,"
"Nggih Gus," jawab para mbak Santri dengan serentak.
"Ustadzah Arumi, ikut saya ke ndalem," ucap Gus Zein dengan tegas.
Matanya masih melirik ke arahku. Entah setelah ini apa yang akan beliau perbuat kepadaku. Aku dan Amel menghampiri santri yang di takzir dan ontak Ia memelukku.
"Syukron, sampean sudah menolongku," ucapnya masih dengan air mata yang semakin jelas saja
"Lain kali jangan di ulangi nggih Mbak."
"Nggih, InsyaaAllah."
"Ayo, di bersihkan riyen wajahnya Mbak."
"Nggih."
Kami mengikutinya dan membantu membersihkan coretan yang menodai wajahnya.
"Sampaian kenapa, kok pulang ndak Ijin?" ucapku padanya yang masih berderai air mata. Ia pun menceritakannya.
"Seminggu lalu, aku di beritahukan bahwa bapak sakit keras, sejak saat itu aku tak bisa fokus dengan ngajiku, aku selalu kepikiran dengan keadaan bapak disana. Ibuk meninggalkanku ketika aku masih bayi. Ibuk tega pergi dengan laki-laki lain hanya karena masalah ekonomi."
"Aku disini atas derai air mata bapak yang memohon kepada Kyai Faqih agar aku dapat mondok disini. Alhamdulillah, beliau orang yang sangat baik sekali. Aku tak pernah di tarik sepeser pun dari kantongku."
"Aku bekerja di Pesantren ini, untuk menghidupi keperluanku selama di Pesantren ini. Aku bekerja di tailor dekat Pesantren ini. Agar bapak tak perlu mengirim uang untukku tapi sebaliknya."
Aku hanyut dalam kisahnya. Ya Allah, aku sangat beruntung keluargaku lengkap dan sayang kepadaku sedangkan dia, hidup dengan embel-embel kasihan di tangan orang lain.
"Oh, ya namaku Nurul panggil saja Nur" ucapnya menyeka air matanya.
"Semoga cahaya selalu menerangi setiap langkahmu Nur seperti namamu," ucapku memeluknya.
"Aku Kayla dan ini sahabatku Amelia," terangku padanya dan mencoba membuat suasana yang tenang dan nyaman untuknya. "oh ya, kamu sudah makan?" ucapku padanya dan Ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah ayo kita makan, kebetulan tadi Abah memberiku makanan, semoga kalian suka, ya."aku pun membuka rantang kecil yang tadi di bawa Amelia saat ku berseteru dengan Ustadzah Rumi.
"Wah, asem-asem jawa!" seru Amelia.
"Nur, ayo makan!" ajakku nampak Nur sungkan untuk mengambil makananku. "ayo Nur" ajakku lagi.
Nur lalu menyodorkan gayung untuk menjadi alas nasi. Aku tak membiarkannya makan dengan gayung. Meskipun itu sudah biasa di lakukan santri pada umumnya. Tak ada piring, gayung, nampan, emberpun jadi.
"Sampean hebat, bisa membuat Ustadzah Arumi di marahi Gus Zein," ucap Nur dengan nada yang senang.
"Aku tak bermaksud membuat Ustadzah Arumi di marahi Gus Zein, aku hanya tak tega melihat santri di perlakukan seperti itu," paparku kepada Nur.
"Tapi tadi sampean di belain Gus Zein," ujarnya sumringah menatapku. Gus Zein memang selalu menjadi perhatian di kalangn santriwati. Tapi, bagiku itu biasa saja karena itu adalah hal yang wajar di dalam lingkungan Pesantren.
"Hmm, itu hanya kebetulan saja," ucapku melanjutkan makanku.
"Tapi sepertinya Gus Zein membelamu dengan tulus di depan Ustadzah Arumi," pekik Amelia
"Sudahlah, gak baik makan sambil ngomong, nanti kesedak," ucapku mengalihkan pembicaraan.
"Tapi gak apa-apa sih, kalau Gus Zein suka sama Ning Kayla," celoteh Amelia hampir membuatku tersedak
Hmmm, Amelia ih, sudah berapa kali aku mengingatkanmu jangan panggil Ning. Kulihat Nur berfikir dengan ucapan Amelia. "gerutuku menatap Amelia"