POV Kang Ali.
Aku memandangi putri kecil Kyai Ja'far yang tertidur lelap. Manis, cantik dan polos itulah Kayla Nadhifa Almaira. Seorang hafidzoh, putri kyai yang terpandang.
Walaupun aku mempunyai harapan pada dirinya. Tapi, keminderanku pada keluarganya sangatlah besar. Mengingat aku hanya menumpang di ndalem Kyai Ja'far.
"Ning, Ning Kayla," ucapku membuka pintu di sebelahnya. Ia pun terbangun dari mimpinya.
Jarang-jarang kami dapat pergi berdua saja.
"Kang, teng pundi niki?" ucapnya dengan mata yang masih sipit.
"Ning Kayla, dulu pengen mriki to?"
"Remen Kang?"
"Nggih ayo turun!"
Kami pun turun dan menikmati keindahan deburan ombak di pesisir Pantai Remen Tuban. Mungkin Ia akan terlambat saat pulang ke Pesantren.
Tapi, biarlah. Tak baik juga Ia di Penjara Suci untuk waktu yang lama tanpa hiburan. Nampak wajah yang bahagia tersirat dalam pandnganku.
Wajah yang mungil dulu..
Kini menjadi wajah remaja yang cantik jelita...
Tutur yang bawel dan manja dulu..
Kini menjadi lembut dan lugas...
Gadis kecilku yang dulu..
Kini menjadi wanita yang sholiha..
Gadis kecilku yang dulu..
Kin menjadi seorang pecinta Ayat cinta-Nya..
Gadis Kecilku yang dulu..
Kini menjadi permata indah yang memberi ketenangan saat menatap penuh makna...
"Kang Ali," ucapnya menaik turunkan telapak tangannya di depan mataku. Malu? Pasti.
"Jangan ngelamun nanti di bawa Nyi Roro Kidul lo Kang," celetuk Kayla dan berlari menuju bibir pantai.
"Haha, iki pantai Utara nduk dudu pantai selatan, haha" aku hanya tertawa mendengar perkataannya.
Dasar Ning Kayla, aku masih memandanginya. Gadis bersarung yang elok parasnya bermain dengan deburan ombak kecil yang menyapu setiap lelahnya. Aku pun mendekatinya.
Ku lihat wajahnya di penuhi percikan air laut. Cantik natural tanpa make up dengan setelan pakaian khas santri, duh Ning Kayla, imanku sedikit tergoyahkan hari ini, memandang sarung yang basah seperempat kaki.
Astaghfirullah fikiranku, ampuni dalem Ya Allah.
"Kang Ali," ucapnya memercikkan air laut kepadaku.
"Awas yo!" kami pun bermain air. Basah? Biarkan aku tak peduli. Saat-saat seperti ini adalah angan yang setiap kali hinggap dalam benakku saat terakhir kali aku menjahilinya ketika Ia dihukum neneknya.
"Kang Ali," ucapnya tertawa gurih dan berlari. Aku pun mengejarnya, bak kisah percintaan di sinetron berlari-lari mengitari bibir pantai bercanda dan tertawa bersama.
"Adduh..!!" kakiku seperti tersengat sesuatu. Ku lihat satu anak ubur-ubur dekat dengan kakiku.
Ku lihat Ning Kayla berhenti dan menghampiriku bukannya menolong malah menertawakan. Ning Kayla! Hmm! Aku tak bisa marah kepadanya.
"Kang," ucapnya menyodorkan tangannya dan aku pun meraihnya.
"Maaf ya Kang, gara-gara Kayla, Lang Ali seperti ini"
Aku hanya tersenyum padanya dan memandanginya mengobati luka yang ada di jempolku.
Lembut sentuhan tangannya. Ketulusan dan perhatiannya. Astaghfirullah, Ali itu putri yimu sendiri.
"Kang, masih bisa nyertir ?"
"Yo bisa nduk, memang kamu bisa nyetir?" candaku padanya.
"Yo ndak bisa" ucapnya.
"Haha"
"Ih, Kang Ali."
"Kang, sampun sore sanget niki."
Aku tau Ia mengisyaratkan untuk kembali ke Pesantren. Karena hari semakin sore akhirnya aku memutuskan untuk mengantarnya kembali ke Pesantren.
Sekitar badha isya kami sampai ke Pesantren Kyai Faqih.
"Alhamdulillah dereng jam Kang, Aman."
Aku paham betul pintu asrama akan di tutup pada jam 9. Meskipun Ning Kayla bebas masuk jam berapapun karena Ia pengurus di Pesantren ini.
Tapi aku paham Ning Kayla seorang santriwati yang baik, dan selalu taat pada peraturan meskipun Ia sudah menjadi senior di Pesantren ini.
"Ning Kayla."
"Nggih Kang."
"Matur suwun nggih"
"Sami-sami Kang."
Ia pun turun dari mobil
"Ning Kayla,"
"Nggih Kang"
Aku pun turun dan menghampirinya.
"Semangat nggih, mutqinkan hafalan Ning Kayla."
"Nggih Kang."
Aku memberikan sesuatu padanya. Ya, orang gabut dimanapun bisa berkarya. Rangkaian kerang yang sengaja ku rangkai menjadi sebuah gelang ku berikan padanya.
"Niki, untuk Ning Kayla"
"Eh, kapan Kang Ali ndamele?"
"Suka?"
"Remen Kang, bagus indah."
"Coba di pakai."
Ia pun memakai gelang yang kuberikan. Cantik dan menyatu dengan kulitnya. MasyaaAllah senyumanmu nduk. ibarat kopi tak perlu menggunakan gula. Jiwa jombloku meronta Ya Allah.
Bayangan nakal tersirat dalam otakku. Menatap, memeluknya, menciumnya. Ali..!! Sadar..!!
"Sampun Kang?"
"Sampun Ning,"
"Oh nggih, Kang Ali nyepeng mriki mawon riyen, niku tasik sakit to (oh ya, Kang Ali nginap disini saja dulu, itu masih sakit kan)?"
"Ora usah gak opo-opo (tidak usah tidak apa-apa),"
"Ampun mantuk riyen nggih, Kang Faiz!" ucapnya memanggil seseorang. Muka biasa saja masih tampan aku.
"Asrama putra tasik wonten kamar kosong kan?"
"Wonten Ning,"
"Tolong, niki Ustad Ali badhe nyepeng pesantren,"
"Oh nggih, saget."
Aku pun mengikuti arah santri itu ke arah pesantren putra.
"Oh nggih, dalem Faiz Ustad,"
"Oh nggih,"
Ustad, ku rasa Ia paham aku adalah salah satu pengajar di Pesantren Kyai Ja'far Abah Ning Kayla. Kami pun menuju ruangan ketua pengurus putra yang tak lain ruangan Gus Ghoffar.
"Loh Ustad Ali,"
"Nggih Gus,"
"Ada apa Gus?"
"Niki Ustad Ali badhe nyepeng mriki,"
"Oh, nggih-nggih. Teng ndalem mawon."
"Mboten Gus, teng asrama mawon"
"Lo ndak pantes Ustad,"
"Mboten nopo-nopo teng Asrama mawon."
Faiz pun mengantarkanku ke kamar asrama yang kosong di antara para santri Mambausshofa.
Suasana yang dingin menyeruak masuk ke seluruh tubuhku. Inilah pesantren lantai pun dapat menjadi alas untuk tidur. Kulihat kiri dan kanan santri tidur di lantai. Mungkin karena asrama yang lain belum sempat di bangun atau mungkin ini cara pesantren mendidik santrinya. Namun kurasa ini adalah keliru.
Seorang santri berhak tidur di tempat yang layak agar otak dan fisiknya bekerja dengan bagus. Jika langsung terkena udara seperti ini santri akan banyak yang masuk angin.
Hari yang sangat menyenangkan. Ketika otak telah terpenuhi kapasitasnya untuk berfikir. Kini sudah serasa kosong dan siap menerima benih-benih ilmu dari Sang Guru.
Aku pun menuju ke dalam Asrama. Terlihat semua santri sibuk dengan muraja'ah dan setoran hafalannya.
Tiba-tiba, "Ning Kayla Nadhifa Almaira, kemana saja anti ?" ucap Amelia membuatku kaget.
"Eh, Astaghfirullah. Kebiasaan sampean selalu membuat kaget"
"Kamu juga sih, aku nunggu dari tadi Kayla. Kemana aja sih kamu? Tuh para santri juga nungguin kamu mau lalaran"
"Astaghfirullah" kulihat barisan panjang santri di meja tempatku biasa menyimak hafalan.
Aku pun segera kesana dan meminta ma'af pada mereka karena terlambat menyimak hafalan mereka.
"Apakah begini tanggung jawabmu sebagai pengurus?" suara itu sangat menyayat telingaku. Sakit tapi tak berdarah.
Sebenarnya pengurus bebas mau pulang jam berapa, selalu dia. Sang anak Kyai yang menyebalkan. Selalu mencari kesalahanku sejak Ia mengetahui aku dekat dengan seorang ikhwan sekalipun itu dengan keluargaku sendiri yang tidak lain Kang Ali.